Wednesday, September 17, 2014

Dua garis merah

Usianya telah memasuki bulan keempat. Aku telah menulis beberapa catatan sejak dirinya memulai hidup dalam rahimku. namanya Khansa Alexa Agranayara. Khansa berarti pejuang perempuan, nama itu juga nama seorang pejuang perempuan sahabat Nabi Muhammad SAW. Alexa berarti pembela rakyat. Agra adalah nama sebuah organisasi massa tempat kami dan kawan kawan berjuang bersama petani untuk mempertahankan haknya, juga nama lain dari matahari. Nayara dalam bahasa arab berarti mulia, dan juga pembawa kedamaian. Nama ini memang sangat panjang, tapi itulah doa dan harapan kami berdua. Semoga kelak seperti namanya akan selalu membela mereka yang terampas haknya.

9 oktober 2013.
Hari ini aku testpack lagi, setelah empat jam menahan kencing. Menurut petunjuk testpacknya sebaiknya menggunakan air kencing pertama setelah bangun tidur. Tapi lagi lagi aku melupakannya. Padahal semalam sudah menahan diri buat testnya pagi ini saja. Hasilnya ada dua garis merah. Tiga hari lalu juga seperti itu, walau warna kedua garis itu berbeda.
Aku hamil. Sungguh aku tak tahu bagaimana perasaanku sebenarnya. Sejak dulu hal yang aku inginkan adalah punya anak.
Hamil menjadi dambaan setiap perempuan, tapi aku sedang menguji diriku, apakah sekarang aku benar benar telah siap. Membayangkan perutku akan membuncit dan bertambah besar setiap hari rasanya aneh. Bagaimana aku bisa naik ke lantai 3 pasca Unhas buat kuliah. Bagaimana dengan tubuhku yang rentan sakit. Bagaimana agar aku tidak terkena flu dan tetap sehat sampai bayiku lahir.
Aku tidak berKB, walaupun juga tidak memprogramkan untuk punya anak. Kata dosen Psikologiku, pada sperma yang dikeluarkan laki laki dan bertemu dengan sel telur perempuan itu telah Tuhan berikan semua hal yang dibutuhkannya. Telah ditetapkan akan jadi apa dia kelak. Telah dilekatkan semua hal yang ia butuhkan untuk tumbuh dan menjadi apa kelak.
Agustus lalu aku ke puskemas depan kompleks. Saat itu aku malah merasa ada janin yang mulai tumbuh di rahimku. Telat seminggu lebih, payudara yang bengkak, emosi tak stabil, mual mual sepanjang hari. Karena bingung apa yang terjadi sementara hasil testpack hanya mempunyai satu garis aku ke puskemas. Setelah membayar 15.000 aku di minta ke bagian KIA. Memasukkan berkas yang diberikan di depan ke ruang tersebut dan menunggu giliran. Antrian cukup banyak. Hampir semua dengan perut buncit. Ada yang masih sangat muda diantar oleh ibunya, sebagian diantar saudara dan suami. Aku sendiri ditemani suami.
“andi nini eryani” namaku di panggil. aku melongokkan pintuku ke ruang itu. Ibu bidannya menyuruhku naik ke timbangan. Menimbang berat badan adalah prosedur pertama yang harus aku lewati. 45 kg kalau tak salah ingat. Selanjutnya mengukur tinggi badan 148 cm.
Setelah selesai bidan itu masu ke ruangan. Aku mengikutinya. Aku duduk di depannya. Ia mencatat namaku pada buku pink untuk ibu hamil. Sudah hamil berapa bulan? Tanyanya padaku.
“ aku tidak tahu bu” jawabku. Aku menjelaskan alasanku datang ke puskesmas. Menjelaskan semua gejala gejala yang aku alami. Aku bingung dan tidak tau harus bertanya ke siapa, jadinya aku ke puskesmas, jelasku pada bidan itu. Dengan ketus dia memberitahuku bahwa harusnya aku tahu dulu hamil atau tidak. Dia juga jengkel karena telah menulis namaku pada buku pink tersebut. Aku mulai emosi, kedatanganku ke puskesmas karena ingin mendapat jawaban yang pasti bukan dapat omelan.
Bayangan bidan itu masih jelas dimukaku. Sejak kemarin aku sudah berpikir untuk kembali memeriksakan diri, tapi baru membayangkan bertemu dengan bidan itu lagi aku sudah malas. Ah, bukannya sembuh dan dapat berkonsultasi dengan baik. Pasti yang ada bertemu dengan muka judes dan menjengkelkan. Sudahlah, lebih baik mencari rumah bersalin dan berkonsultasi dengan dokter kandungan.
Nak, kita sama sama menjaga diri agar tetap sehat dan tak perlu banyak berurusan dengan administrasi rumah sakit dan puskesmas, semoga pula kita memiliki rejeki cukup untuk membayar dokter agar tak perlu menggunakan fasilitas Negara yang tak memberi kenyamanan buat kita. Semoga…
Berharap sehat selalu

Tuesday, June 11, 2013

Gua Batu Hamil (Leang Batu Tianang)

“ini bawakaraengnya salenrang” demikian Dg.Rumpa bercerita tentang Bulu Barakka. Barakka artinya berkah. Bukit itu menjadi salah satu kawasan penopang Salenrang. Karst mampu menyimpan air, hingga kebutuhan air bersih masyarakat selalu terpenuhi. Di bulu barakka sungai pute mengalir hingga selat makassar. Sungai yang mempunyai lebar 5 – 10 meter. Melintasi kawasan karst tersebut lebih indah dari atas jolloro atau lepa-lepa. Dg.Rumpa berjanji akan membawa kami berkeliling menggunakan perahu jolloronya jika kami datang lagi. Tapi perahunya hanya bisa muat untuk 3 orang.
Dg Rumpa, salah satu tetua kampung di dusun rammang-rammang Salenrang. Usianya telah beranjak tua, namun beliau masih kuat memanjati bukit karst tanpa menggunakan pengaman apapun. Beliau menemani kami berkeliling.   Mencari gua dengan lukisan purbakalanya.
Leang batu tianang namanya. Kudengar semalam. Namun, lidahku tak pernah  bisa fasih menggunakan bahasa makassar. Maka kutanyakanlah artinya. Leang dalam bahasa indonesia berarti gua, sedangkan tianang artinya hamil. Gua batu hamil, itulah yang mampu kusebut untuk menunjukkan kemana aku memulai petualangan kecil hari ini. Minggu selalu menyenangkan  untuk itu. Dari kak Iwan salah seorang anggota OPA TRANS kudapat informasi , masyarakatnya menyebut batu hamil karena batunya terus bertambah besar. Batuan tersebut merupakan stalagtit yang masih hidup, maka wajar jika besarnya akan terus bertambah. Aku sadar itulah alasan hingga namanya menjadi Leang Batu Tianang.

Letaknya di Desa salenrang yang memang memiliki kawasan karst yang cukup luas dan bagus. Terhitung karst kelas I, walau sampai hari ini belum ada pengklasifikasian kawasan karst yang diadakan pemerintah.  Memasuki Salenrang kita akan menemukan dinding-dinding karst sepanjang jalan. Teratur dan indah, di sela-sela  area persawahan. Masyarakat Salenrang sedang menuai padi. walau, hasil panen tak lagi seperti dulu. Hasil panen mereka telah berkurang lebih dari separuhnya. Sejak revolusi hijau dicanangkan Soeharto masyarakat berbondong-bondong menggunakan pupuk untuk meningkatkan produksi beras mereka. Hasilnya kesuburan tanah telah berkurang.

Leang batu tianang merupakan gabungan gua dan ceruk yang terletak disisi selatan kaki bukit karst Bulu Barakka’. Kendaraan umum bisa sampai kesana. Jaraknya tak terlalu jauh, kurang lebih 1 km. Menurut cerita Dg.Rumpa, salah satu tetua desa tersebut. Pusat desa salenrang terletak disisi bulu barakka’. Ditempat itu juga terdapat sebuah pekuburan tua. Saat berada di kaki gunung tersebut, beberapa kendaraan pesiarah ramai. Selalu seperti itu jelang ramadhan. Bulu barakka terletak 6 Mdpl di atas permukaan laut. dari salenrang, bulu barakka gampang ditemukan. Bukit tertinggi di kawasan itu. Leang batu tianang memili dasar gua yang berbentuk kekar tiang (Columnas Joint) dengan tinggi jarak antara lantai dan atap gua sekitar 20 meter.
Untuk sampai dimulut gua kami harus berjalan kaki beberapa menit. Tak cukup untuk mengeluarkan keringat. Leang batu tianang tak terlalu dalam, namun kita harus memanjati karst setinggi 2 hingga 3 meter. Kemudian dengan berbungkuk dan merangkak menelusuri tepian bebatuan yang penuh dengan lukisan sederhana karya manusia purba. Ada gambar perahu, anak-anak yang bergandengan tangan, gambar tangan. Lukisannya berwarna merah, dan tak bisa terhapus. Dg Rumpa bahkan pernah menggunakan sikat dan detergen untuk membersihkannya, tapi gambar itu tetap disana. Gambar itu tetap bersembunyi dibalik bukit-bukit karst. Disekelilingnya juga kami temukan kulit-kulit kerang yang mulai merapuh. Sangat banyak pada beberapa titik. Tidak hanya satu tapi ada beberapa jenis. Mungkin mereka pernah hidup disini. 
Puas mengambil gambar, kami berpindah ke tempat lain. Menurut Dg. Rumpa ada satu gua yang didalamnya ada tulisan lontara, bertuliskan empat nama. I Baso, I Lele, I Tola, dan I Abo. Beliau mengira itu mungkin sebuah ramalan. Aku berpikir mungkin orang-orang itu adalah mereka yang berkunjung ke gua itu. Manusia purba belum mengenal tulisan, mereka mengekspresikan diri lewat lukisan yang banyak kita jumpai di kawasan Taman Nasional Bantimurung-bulusaraung. BP3 Makassar bahkan menginventarisir 88 gua pra sejarah sepanjang Maros-Pangke,  35 gua di Pangkep dan 53 gua di maros.
 Pembentukan kawasan karst salenrang , di bentuk dari bukit-bukit gamping pada masa oasen awal hingga miosen tengah dan terjadi di dasar laut purba. Adanya pengaruh tektonik yang disertai meletusnya gunung api purba mengakibatkan terjadinya pengangkatan bukit-bukit gamping yang telah terbentuk di dasar laut. kegiatan pengangkatan ini diperkirakan berlangsung sejak masa miosen akhir sampai paliosen (Sunorto, 1997).

Senang rasanya bisa mengunjungi tempat itu, walau bukan rekreasi. Kawasan karst sepanjang Maros- Pangkep telah dilirik oleh pengusaha baik skala lokal maupun nasional. Di Salenrang pun telah ada perusahaan yang akan membangun pabrik marmer. Mereka akan menambang karst untuk memperkaya diri. Dan tak lama lagi taman batu yang menjadi dinding salenrang akan berganti dengan kubangan-kubangan sisa tambang.
Selalu ada waktu untuk melanjutkan perjalanan…

Upiek, Bungsu yang tomboy



Setiap penggalan kisah yang kutuliskan adalah bagian-bagian penting dalam perjalanan hidupku, dan tanpa mereka aku tak pernah yakin akan berada disini saat ini.
Namanya Upiek, kami berteman sejak SMP, selalu berada di kelas yang sama hingga bangku SMU. Kami tak pernah berpisah hingga melangkah ke Makassar, tapi ini bukan perpisahan yang sesungguhnya. Aku dan Upiek hanya beda kampus. Aku kuliah di Universitas HAmpir Swasta dan dia kuliah di salah satu kampus swasta yang ada di Makassar.
Kita tak pernah bisa mengukur kadar keimanan seseorang, seperti ombak , terkadang pasang kadang pula surut.  Upiek, salah satu siswa terpintar di Sekolah kami.  Aku tak ada apa-apanya dibanding teman-temanku, hanya kemujuran saja yang membawaku UNHAS. Upiek kuliah di STIEM Bongaya, ia mengambil jurusan akuntansi, kalau tak salah. Awal kuliah, aku sering mendapatinya dengan highheels dan polesan berwarna dibibirnya, ia sering menyambangiku sepulang kuliah. Mendatangi pondokan di samping UNHAS.
Tahun kedua, ia melepaskan pakaian itu, mulai ikut kajian pada salah satu organisasi extra kampus, menggunakan gamis dan menutup tubuhnya dengan kerudung yang lebih besar. Sesekali ia akan menceramahiku, dan aku akan tersenyum mendengarnya, mengiyakan tapi tak berbuat banyak. Kami sangat sering berbeda pandangan dalam tiap diskusi. Tentang bagaimana sebaiknya perempuan ketika menikah, bergaul, berpakaian. Tapi itu tak membuat persahabatan kami merapuh.
Etta mengenalnya dengan baik, dan seperti sahabatku yang lain, sangat percaya padanya. Pada pesta perpisahan dengan Rian, kami menghabiskan hari dirumahnya, mengelilingi desanya. ia pernah bercerita jika di desanya ada air terjun dan sungai yang sangat jernih. Karena belum pernah melihat langsung bagaimana air terjun saat itu, kami sepakat menghabiskan hari di rumahnya.
Usai sekolah, dengan pete-pete kami berangkat ke rumah Upiek, 15 menit berkendara akan sampai disana, untuk sampai ke rumahnya kami harus sedikit jalan kaki. Di rumahnya kelapa muda dan makan siang tersedia. Setelah menyelesaikan makanan yang tersedia, hal selanjutnya berjalan menuju sungai yang  jernih itu. jaraknya cukup jauh, kurang lebih satu kilometer. Harus melewati pematang sawah, letaknya di pinggir desa. Sebenarnya bukan air terjun tapi saluran air ke sungai. Letaknya agak tinggi jadilah ia seperti air terjun, tapi kebersamaan membuat semuanya jadi indah. Kamera pocket yang masih menggunakan roll film melengkapi kebahagian kami hari itu. 36 kutip, plus bonusnya  merekam moment berharga hari itu. ntah dimana foto itu sekarang, tapi saya masih mengingat beberapa pose yang diambil waktu itu. di sungai, di warung depan pertigaan sekolah, di rumah upiek.
Rumah lain yang pernah kutempati di Makassar, adalah di BTP Blok K no.420. rumah itu milik kakaknya Upiek, bersama upiek kami menjaganya. Sesekali rumah itu menjadi tempat berkumpul. Memasak dan bercerita hingga subuh. Rumah berlantai 2 dengan 5 kamar. Saya menempati salah satu kamar di lantai 2. Upiek dilantai satu.
Kuhabiskan setahun lebih di rumah itu, hingga aku memilih untuk kembali ke kampus. Anak bungsu yang cukup keras dan menjadi salah satu orang kepercayaan keluarganya. Gadis manis yang selalu menceramahiku ketika pulang malam dan harus kabur pagi-pagi. Ia memintaku menyayangi diriku sendiri.
Sekarang ia berbahagia, di salah satu daerah tertinggi Sulawesi Selatan. Setiap menelponku ia akan mengajakku mendatangi tempatnya. Ia telah merintis usaha setelah menikah. Laki-laki yang kami kenal sejak SMP. Sepupunya sendiri. Laki-laki yang sangat penyabar dan dengan setia membonceng upiek pulang setiap pulang sekolah.
Mereka sedang menanti kelahiran anak keduanya. Sebelumnya pangeran kecil yang cerewet telah menghiasi hari-harinya. Bocah cilik yang membuat etta tertawa bahagia dan tak henti mengajaknya cerita setiap ke Sengkang.
Dan pada setiap kenangan ada bahagia. Seribu bahagia karena telah mengajarkanku banyak hal, dan membiarkanku tak pernah benar-benar sendiri.

Ini Kisah Pembuka Jalur


Masuk tahun ke Sembilan di Makassar, dan menuliskan sepotong ingatan tentang mereka yang telah membawaku hingga ke gerbang ini. Kali ini tentang seorang kawan yang dulu rajin menyabangi  etta tiap minggu, hanya untuk membujuk agar aku bisa kuliah di Makassar.
Ini tentang persahabatan beda angkatan, kami berbeda angkatan, tapi umur kami hanya beda setahun. Pada beberapa tulisan, ia kunamai Rian. Aku mengenalnya sejak kelas 1 SMU, awalnya aku dan seorang teman ikut kursus computer di Sengkang, Rian dan 2 temannya juga ikut. Masih menggunakan program DOS, saat itu juga belum mengenal flasdisk, hardisk internal apalagi laptop. Bahkan Pentium 1 pun mungkin belum ada. Kami masih menggunakan disket besar untuk menyimpan data.
Saat itu untuk mengisi libur ramadhan, selama sebulan. Setelah  kursus, aku dan teman serta kedua kakak kelasku menghabiskan waktu di kamar Rian. Menunggu sore, hingga matahari mulai mengurangi sengatnya.
Sebulan itu membuat kami berlima  akrab. aku mengenal keluarganya dengan baik, 3 bersaudara yang saling menyayangi.
Beberapa kegiatan extra di Sekolah pun menjadi aman, ada 3 orang yang akan menjaga aku dan temanku dengan sangat baik. Aku ingat cerpen pertama yang kutulis, berkisah tentang libur itu, tapi sayang buku yang kutempati menulis hilang di kampus. Kumpulan cerpen yang telah kuketik rapi pun dipinjam seorang senior, dan kemudian hilang. Aku tak punya salinannya, juga file hasil ketikan itu.
Itu awal kedekatakan kami. Setelah mengganti seragam, Rian bergerak ke Makassar, kuliah di Universitas Negeri Hampir Swasta di Makassar. Itu tak membuat kami kehilangan kontak. Setiap minggu kami akan berbalas surat, menanyakan kabar dan bercerita tentang banyak hal, tentang sekolahku, kegiatan extra, tentang teman-temanku.  RIan akan bercerita bagaimana kuliah di Makassar. Ia menceritakan setiap proses yang dilaluinya di kampus.
Aku menjadi mengenal dunia kampus dari cerita-cerita itu, walau RIan bukan aktivis kampus yang sibuk dengan diskusi dan aksi. Rian sibuk dengan kuliah dan sesekali pergi mendaki bersama beberapa temannya.
Menjelang kelas 3 aku mengambil keputusan penting. Harus ke Makassar untuk kuliah. Kumulai membujuk etta agar  mendapat izin. Tapi tak digubris. Aku anak perempuan dari sebuah keluarga, harus tinggal di rumah dan menunggu lamaran. Beraktivitas seperti gadis remaja di kampung. Di kampungku perempuan bekerja menenung sarung, termasuk gadis-gadisnya. Kuliah masih merupakan barang langka untuk keluargaku. Etta tak mendengar setiap bujukanku, tapi sangat mendengar sahabat-sahabatku, upiek, ani, anet.
Setelah bercerita ke Rian, akhirnya hampir setiap akhir pekan ia kembali ke sengkang. Tak meminta etta agar mengizinkanku kuliah. Ia hanya bercerita tentang kuliahnya, bagaimana hidup di Makassar, semua hal yang ia lewati. Hampir setahun mendengar cerita tentang Rian, baik dariku maupun Rian sendiri. Dan aku mendapat izin itu. aku mendapat izin kuliah di Makassar.
Aku mulai membangun mimpi, mulai merakit rencana masa depanku, walau pada akhirnya meleset dari rencana. Di sekolah aku aktif di SISPALA, mengenal beberapa mahasiswa MAPALA, aku juga pernah diskusi dengan dua dosen geografi salah satunya Pak Nur Zakaria Leo. Aku tertarik belajar lingkungan dan Sastra. Dua pilihan yang aku persiapkan di SPMB.
Selama tahun pertamaku di Makassar kuhabiskan banyak waktu dikamarnya, kadang sendirian, mengutak atik komputernya dan menunggu ia kembali dari kampus. Ia menemaniku mendaftar, belajar, mencari ruangan dan merelakan subuhnya untuk mengantarku ujian di kampus Baraya.
26 April kemarin dia ulang tahun dan  telah memiliki keluarga kecil. Ia bahagia,  dan persahabatan itu tak pernah terhenti…

Kali ini secuil ingatan tentang alm. ALAMSYAH SAID



Kami beda dua angkatan, dua bersaudara yang kukenal baik sejak seragam putih abu-abu masih melekat di badanku. Kak Rahmat dan Kak Anca, satu di kelas IPA 1 dan yang satunya di IPS. Keduanya aktif di pramuka, dan beberapa organisasi lainnya. Mereka juga bersama teman-temannya yang jadi panitia MOS (mirip ospek di bangku kuliah), tapi lebih ringan tentunya.
Aku akan bercerita tentang kakaknya, Kak Anca, nama lengkapnya Alamsyah Said. Setiap berkendara (motor) dan melewati sudut sebelum FKM aku pasti mengingatnya, dan merindukan kebersamaan kami. Ia salah seorang, diantara beberapa kawan yang selalu menemaniku di tahun pertama di Makassar.
Berada di daerah baru, tentu kehadiran teman sekampung jadi sangat berarti. Sejak awal mendaftar di UNHAS Kak Anca telah meminta teman-temannya untuk bimbingan khusus untukku. Belajar di kamarnya setiap sore, dengan kawan-kawannya yang tinggal di RAMSIS. Saya masih ingat dia bersama kak Rahmat tinggal di Ramsis blok EF. Dan sejak itu sering kuhabiskan sore ditempat itu. Ia memperkenalkanku pada teman-teman satu bloknya, juga beberapa teman dekat kak Rahmat yang biasa muncul dikamar berukuran 3 x 4 itu.
Kak Anca tak kuliah di UNHAS, melainkan di STIEM Bung. Tempat yang sudah dikenalkannya padaku sejak masih sekolah. Ia dan kawan-kawannya pernah mengadakan pelatihan di Sekolahku, kebetulan saya tergabung di kegiatan pencinta alam (SISPALA GANESA). Hingga di Makassar bahkan setelah kepergiannya  aku masih  sering main ke kampusnya dan tentu ke secret MAPALAnya.
Sering pula ia habiskan waktunya di pintu 2, kerja paruh waktu pada salah satu tempat pengetikan. Tahun 2003 laptop dan computer masih menjadi barang mahal, sehingga tempat pengetikan menjadi laris manis. Aku juga sering diajaknya, bahkan ketika kuliah atas bantuannya aku juga sempat bekerja beberapa bulan di pinggir jalan itu. Ah, sekarang tempat itu sudah tak ada, tak lama lagi pasti berganti jadi bangunan kokoh.
Ia Sulung dari 3 bersaudara. Aku mengenal 3 bersaudara itu dengan baik. Adik bungsunya dua tingkat dibawahku dan pada akhirnya juga kuliah di fakultas yang sama denganku. Ia sangat bertanggung jawab, tapi aku tak tahu banyak soal hubungan asmaranya. Waktunya banyak dihabiskan untuk teman-temannya, termasuk aku.
Mengingat kembali tahun-tahun bersamanya, mengurai memori  9 tahun silam. Tak jarang kami sama-sama tak punya uang, tapi itu malah menjadi moment yang sangat membahagiakan. Membagi sepotong roti untuk mengganjal perut yang lapar, atau ke MAPALA dan menikmati makan siang bersama teman-temannya.
Awal ramadhan 2003 diantar Muche hingga depan terminal daya,  aku pulang ke sengkang. Bertiga dengan Kak Anca dan Atho. Uang kami pas-pasan untuk ongkos bus, tapi hari itu diterminal bus untuk ke sengkang tak ada lagi. Semuanya pulang lebih awal. Ada banyak penumpang seperti kami .  pilihan kami, kembali ke kampus atau membayar kekurangan ongkosnya di Sengkang. Menggunakan mobil kecil (panther) biayanya lebih besar.
Namun, ada Atho yang mengikhlaskan sisa uangnya untuk membayarkan kekurangan itu. Akhirnya ia ke ATM dulu dengan jasa tukang ojek. Itu kebersamaan terakhir yang kuingat dengan Kak Anca.
Beberapa bulan setelahnya, seorang kawan mengabarkan Kak Anca meninggal. Aku terlambat mengetahuinya, saat itu telpon genggam masih sangat jarang. Hanya orang-orang berduit  yang menggunakannya.
Ia kecelakaan di sudut jalan fakultasku, tempat yang selalu membuatku tegang ketika dibonceng olehnya. Aku akan memegangnya erat-erat ketika melewati jalan itu. ia salah seorang kakak terbaik yang pernah kukenal, dan aku yakin Tuhan telah memberi tempat terbaik disisiNYA.

Namanya Sari Noviati

Tiba-tiba pagi ini aku sangat merindukannya…
Namanya Novi, kukenal ia sejak tahun pertamaku di Makassar. Kami tidak satu kampus. Ia kuliah di salah satu kampus tetangga kampusku. Novi berteman baik dengan sahabatku, mereka kuliah di jurusan yang sama. Kuliah pada jurusan elektro program studi listrik, hanya ada lima perempuan pada kelasnya, dan mereka tangguh-tangguh. Termasuk Novi, ia salah satu perempuan kuat yang pernah saya kenal.
Novi merupakan perantau, nenek dan adik laki-laki satu-satunya tinggal di Semarang, sedang ibunya sejak dulu menetap di Jakarta. Novi ikut sepupunya di Makassar, sejak SMP. Selain sekolah ia akan membantu sepupunya mengurusi restoran miliknya. Novi sangat jago masak. Ia selalu menjadi koki yang hebat. Tak heran, ketika bersamanya Novi membuka catering kecil-kecilan. Pelanggannya tentu mahasiswa yang biasa punya  hajatan.
Tahun kedua kuliah, karena sesuatu hal sepupunya harus kembali ke Jakarta. Terpaksa Novi harus mencari rumah lain untuk tinggal. Nah, cerita ini bermula dari sana. Bersama beberapa teman kuliahnya, kemudian menyewa rumah yang kami namai Villa teknik. Ceritaa ini bukan tentang Villa teknik. Suatu hari saya akan bercerita tentang rumah itu. Sekarang saya ingin melepas kerinduanku pada sahabat baikku dengan menulis tentangnya.
Novi, perempuan keras, yang selalu membukakan pintu untukku ketika rumah lain telah tertutup, atau ketika tubuhku sangat membutuhkan tempat untuk merebahkan diri sejenak.
Sekarang Novi tak lagi di Makassar, ia kembali ke Jawa begitu selesai. Awalnya bekerja pada salah satu kantor swasta di Bandung. Sekali waktu aku pernah mengunjunginya. Raut wajah yang tak berubah, tegar , lembut dan keras. Ah, ia salah satu anugrah terindah untukku. Sahabat terbaik yang tak bisa terhapus jejaknya.
Ada banyak cerita tentangnya. Perempuan yang selalu berbagi untukku. Pernah, kami betul-betul sangat miskin, sepeserpun tak ada uang di kantongku. Hari itu Novi memiliki uang 30.000 seingatku, ia berikan setengahnya untukku. Aku sempat menolaknya, namun ia kukuh membaginya untukku. Katanya aku sering diluar, sementara ia menetap di rumah. Aku akan membutuhkan uang itu. Padahal hari itu rumah sedang sepi, sebagian penghuninya menikmati liburan di kampong. Kali lain, kudapati ia bangun menyelimutiku. Aku tak pernah melupakan moment itu. Aku terkadang sangat malas bangun tengah malam untuk mencari selimut, sekalipun dingin sangat menusuk. Novi melakukannya untukku. Ia merelakan kantuknya untuk mencarikan selimut dan menutupi tubuhku yang meringkuk kedinginan.
Novi telah memiliki gadis kecil, gadis yang aku yakin akan tumbuh sekuat ibunya. Gadis yang akan mewujudkan segala mimpi ibunya. Tuhan telah menjawab doa-doanya, memberikan cinta yang pernah ia ikhlaskan.

Tuesday, February 12, 2013

Menikmati Pesisir Galesong



Hari ini, bersama Dewi dan Direktur WALHI Sulsel kami jalan jalan ke desa Galesong Kota. Salah satu desa nelayan yang terletak di Kab. Takalar. Kami janjian dengan Djabal, salah satu pemuda yang tergabung dalam organisasi Gramuda Galesong. Kelompok ini telah berdiri sejak lama, bukan organisasi yang hanya kongkow dipinggir jalan, tapi dengan segudang kegiatan yang bermanfaat untuk anak muda.
Jaraknya cukup jauh dari Makassar, ini menurutku. Untuk sampai ke desa tersebut, kita bisa melewati jalur provinsi ataupun lewat Tanjung. Kami lewat jalur Tanjung, jaraknya lebih dekat dan bisa menikmati aroma pantai yang telah dimodernisasi.
Kami singgah sejenak di rumah Djabal. Kedua orang tuanya sangat ramah. Tak perlu berlama lama. Aroma laut telah tercium. Dari depan rumah Djabal kami dapat melihat pantai. Biru langit terpantul sangat indah. Berempat, kami jalan kaki kesana. Selain bisa olah raga, tentu ini akan lebih ramah. Kami bisa berbagi senyum dengan penduduk setempat.
Walau terbilang dekat dari Makassar tapi suasana desa sangat terasa. Seseorang mengajak singgah di rumahnya, padahal orang itu tak mengenal kami.
Beberapa nelayan menyandarkan perahunya. Mereka baru saja berlabuh. Istri istri menyambut, untuk membantu mengambil peralatan melaut suaminya. Aku berbisik ke Dewi. “ mungkin mereka sangat bahagia dengan hal itu. Pulang, dan istri menyambut ramah di tepi pantai.
Transaksi kecil berlangsung, jual beli ikan hasil tangkapan. Ikan segar tentunya, belum tersentuh dinginnya es batu. Ikan katamba, ikan merah, ikan tompo, tongko tongko (pari). Ikan jenis ini diperoleh dengan memancing. Ikan katamba yang besar biasanya di jual ke restoran. Membeli ikan disini tentu sangat murah. Ikan pari yang kubayangkan sangat mahal, untuk ukuran kecil bisa diperoleh dengan 5.000,- . satu ikat ikan katamba hanya membutuhkan 15.000 -  30.000.
Selain memancing ada juga nelayan yang menggunakan pukat/ jarring. Mereka mendapatkan ikan ikan kecil dalam jumlah banyak. Pendapatan sekali melaut bervariasi, tak menentu. Kadang banyak, kadang sangat sedikit. Pak Mustari, seorang nelayan bercerita kadang mendapat 50.000 – 500.000, jika beruntung mereka bisa mendapat hingga 1 juta rupiah.
Ini tentu tak didapat dengan mudah. Iklim mulai tak menentu. Saat ini musim angin barat, biasanya ini berlangsung di bulan januari hingga februari. Katanya menunggu tahun baru Cina. Saat seperti ini merupakan saat yang sangat sulit buat nelayan. Dg. Tayang panggilan Pak Mustari sudah 5 hari tak turun ke laut. Sebagian nelayan akan menggunakan jasa Pappalele untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jika meminjam 1.000.000,- maka akan dikenakan bunga 20% perbulan. Jadi jika nelayan tak bisa membayarnya, maka bunga itu akan terus bertambah. Sebagian besar nelayan sangat bergantung pada jasa Pappalele.
Pappalele tidak sekedar meminjamkan uang, beberapa nelayan menggunakan perahu miliknya. Hasil yang didapat dari melaut akan di bagi dengan pappalele. 40% dari hasil yang didapat akan di serahkan ke Pappalele, dari 40% ini dibagi lagi. 20 % untuk dikantongi Pappalelenya, sedang 20% lagi simpanan nelayan. Sisa 60% akan dibagi dua oleh nelayan yang melaut. Oh, iya untuk melaut biasanya dalam satu perahu akan ada dua nelayan.
Nelayan tak mampu mengakses perbankan. Untuk mendapatkan pinjaman dari bank mereka harus memenuhi beberapa persyaratan administrasi dan jaminan. “ kalau laut ada sertifikatnya, tentu kita bisa dapat pinjaman dari bank” celoteh Pak Mustari. Sementara pinjaman dari tempat lain hampir tak ada. Ide untuk membangun sebuah koperasi nelayan pernah terlontar oleh salah satu kendidat legislative, tapi sayangnya sampai saat ini belum pernah direalisasikan.
Melaut adalah rutinitas yang dimulai malam hari. Nelayan rata rata berangkat melaut jam 12 malam, sebagian yang lain berangkat jam 1 dini hari. Untuk ke wilayah tangkapan mereka harus menempuh jarak sejauh 30 mil, biasanya ini membutuhkan waktu selama 2 jam.
Dulu tak seperti itu. Di tahun 80an untuk mendapatkan ikan mereka hanya perlu ke pulau Sanrobengi. Jarak tempuhnya ±15 menit. Ikan semakin menjauh, tak jarang nelayan galesong ditangkap petugas Australia. Nelayan tak tahu batas batas wilayah, tak tahu sejauhmana mereka harus melaut.
Selain semakin jauhnya wilayah tangkap, nelayan juga harus berhadapan dengan Parere. Parere menangkap ikan dengan menggunakan perahu besar dan pukat harimau. “ mereka menangkap ikan mulai dari kakek sampai cucu cucunya,” lelucon pak Mustari. kehadiran Pa'Parere sudah ada sejak dulu. “seharusnya ada pembagian wilayah tangkap yang jelas antara nelayan kecil dan Parere.
Untuk menyiasati musim tangkap ikan, sebagian besar nelayan mencari ikan di kab.Barru. mereka terkadang menetap hingga sebulan disana. Sejak dulu nelayan Galesong terkenal pelaut tangguh. Lautan telah mengajarkan bagaimana bertahan hidup.
Jalan jalan itu ditutup dengan sajian sederhana dari Ramli. Salah satu anggota Gramuda Galesong yang berprofesi sebagai nelayan. Ramli dan Fathur ketua Gramuda membakar ikan.  Ikan Pari dengan racikan bumbu rahasia ala Ramli. Nasi hangat, tumis kangkung, ikan bakar pari, ikan layang. 

7 februari 2013
Bahagia itu sederhana.
Terima kasih buat Jabal, Fatur, dan Ramli

Wednesday, January 9, 2013

Tentang hujan dan banjir


Hampir seminggu saya berada disini. Kamar segi empat yang kusebut rumah. Makassar sedang diguyur hujan dan aku malas keluar. Beberapa hari aku keluar namun menghasilkan lelah yang berkepanjangan. Tubuh yang menghangat. Kepala yang berdenyut keras seakan mau pecah. Menambah pakaian basah dan kotor. Jalanan macet karena banjir dimana mana. Jipratan air hujan bercampur air got.
Aih, tak ada yang menyenangkan, selain menikmati rinai hujan didalam kamar. Mendengar music kesukaanku. Mendekam dibalik hangatnya selimut. Membaca hingga mata terasa berat kemudian menggantinya dengan tontonan menarik dari film film lebay yang ku copy dari teman temanku.
Makassar diselimuti awan gelap dan hujan yang deras. Banjir dimana mana, hampir  seluruh daerah di Sulsel. Sulsel dalam Kondisi darurat ekologis, demikian kami menyebutnya. Adikku di kost-an mengirim pesan singkat ia terjebak macet di Pangkep, sejak sore  berteduh di Pertamina. Salah satu sungai besar di Pangkep meluap. Katanya mereka mungkin tertahan sampai pagi. Seorang kawan di Jeneponto menulis status di walk facebooknya, banjir menggenangi kampungnya. Sisa tiga anak tangga dan rumah mereka akan tersapu air. Berita di TV empat titik di kota Makassar paling parah, air setinggi dada orang dewasa. Masyarakat harus dievakuasi menggunakan perahu karet. Kantorku juga tak luput, Rumah Hijau kebanjiran, bukan hanya sehari, tapi dua hari penghuninya harus sibuk membersihkan. Kostku juga tak mau kalah,  beberapa kamar harus ditongkrongi karena air meresap hingga ke tembok tembok kamar. Untung kamarku tak jadi korban.
Seingatku aku pernah merasakan hujan yang lebih parah. Ini baru dua hari hujan dan berita banjir harus memenuhi semua ruang. Dunia maya, televise, radio, media cetak, semua. Aku mengenang musim hujan yang pernah kulewati di Makassar. Dulu, kalau musim hujan aku tak suka membawa tas dan segala jenis barang yang akan basah ketika musim hujan. Aku selalu menggunakan pakaian kebangganku. Jeans, kaos oblong, jaket dan sandal jepit serta beberapa lembar rupiah di kantong. Aku tak mau repot, kalau mau pulang ke rumah aku tak punya beban. Tak ada yang aku khawatirkan akan basah. Aku akan menikmati hujan dengan jalan kaki pulang ke rumah.
Berhari hari hujan juga tak membuatku takut. Aku jarang mendengar berita banjir. Satu satunya banjir yang kudengar adalah dari rumahku di Sengkang. Selebihnya aku menikmati musim hujan. Aku mencintai hujan, mencintai desember seperti lagunya Efek Rumah Kaca.
Sekarang musim hujan menjadi sangat menakutkan. Apakah curah hujannya yang bertambah? Tidak, hujan masih sama, masih seperti dulu. Yang berubah adalah di sepanjang perintis rawa rawa yang dulunya menjadi daerah resapan air, kini berganti menjadi  pohon pohon beton yang akan membawa air masuk ke jalanan. Tak lagi banyak ruang untuk resapan air. Pembangunan Makassar berlangsung terus menerus, pusat perbelanjaan, perumahan mewah, perhotelan. Sayangnya pembangunan itu tak beriringan dengan perbaikan drainase.
Kompleks gubernuran yang menjadi salah satu pemukiman mewah di Makassar telah menjadi langganan banjir 3 tahun terakhir. Rumah rumah mewah namun tanpa pembuangan yang beres, tanpa taman hijau, semuanya telah menjadi taman beton.
Hujan masih sama, yang beda adalah pohon pohon terus tergerus di hulu. Jangan salahkan hujan ketika banjir memenuhi halaman rumah, memenuhi jalanan, meluapkan sungai, membuat macet. Salahkan mereka yang serakah menebang hutan, menggunduli gunung, mengganti kawasan karst menjadi kawasan tambang.
Di maros Pangkep terdapat dua perusahaan besar penghasil semen. Berkali kali aku menemukan kebanggan mereka di papan pinggir jalan Tol Makassar, kebanggaan atas pembangunan tol tersebut menggunakan salah satu merk semen (aku lupa namanya) gedung gedung di Makassar pun pasti menggunakan salah satu dari mereka. Jadi gedung gedung yang kita tempati berasal dari pegunungan karst yang ada di maros dan Pangkep.
Aku ingat pernah mengikuti diskusi singkat waktu ikut kegiatannya Korpala di maros. Menurut salah satu pembicara kawasan karst adalah penyimpan cadanngan air. Kita sama sama tahu hutan, pohon adalah pengikat dan penahan air. Sekarang aku berada di salah satu LSM Lingkungan yang ada di Indonesia, banjir telah menjadi masalah dan akan terus terjadi. Pulihkan Indonesia, demi keselamatan hidup rakyat.
Jangan menyalahkan hujan, pun membencinya. Aku masih mencintainya meski pakaianku telah seminggu tak juga mengering. Aku mencintai hujan walau aku mulai merindukan aktifitasku di luar rumah. Aku mencintai hujan  karena air adalah salah satu rahmat terbesar Tuhan dan tanpanya aku, kamu, mereka, kita tak akan bisa hidup.
Sabtu, 5 januari 2013
(Bersama kawan kawan di kost yang sibuk membersihkan rembesan air dikamarnya
Dan aku tetap mencintai hujan)


Friday, December 21, 2012

Cinta pada Sebotol Obat dan Tikar Lontar


Hari ini  22 desember, diperingati sebagai hari ibu. Pasti ada banyak acara yang dibuat untuk peringatan itu. Aksi bagi-bagi bunga, diskusi dengan tema perempuan, dan kegiatan positif lainnya. Ada juga adikku yang hendak membelikan kado untuk ibunya. Aku tak punya kado untuk etta , Aku hanya ingin menulis malam ini dengan penuh ribuan terima kasih yang tak akan mampu aku sampaikan pada etta.
Aku menulis, walaupun tahu etta tak akan bisa membaca tulisan ini. Tak ada akses internet di rumahku. Etta juga tak mengenal bangku sekolah seperti aku. Tak bisa baca tulis, tapi etta adalah guru terhebat yang ada di dunia.
Aku baru saja mengeluarkan seluruh isi tasku setelah menempuh perjalanan panjang dari Sengkang.  Masih ada sejuta rindu yang belum tuntas. Rumah selalu menjadi tempat menyenangkan untuk melepas lelah dan menghabiskan waktu sepanjang hari. Setumpuk pekerjaan yang kubawa ke Sengkang tak selesai karena waktu selalu saja tak cukup untuk berbagi.  Seminggu masih sangat kurang. Aku masih ingin seminggu lagi dan lagi.
Aku menemukan botol obat yang diselip di sela-sela buku dan pakaianku. Aku ingin menangis, haru menyeruak membuatku kembali merindukan etta. Obat itu sejenis minyak gosok, cairan berwarna merah yang sangat harum. Kata etta kalau tubuh kita sakit obat itu akan panas dan pedis, kalau tak sakit dia tak akan mempunyai efek apa-apa, selainnya baunya yang sangat nyaman.
Seminggu di Sengkang, etta akan membalurkannya ke tubuhku. Setiap malam, ketika aku meringis menahan sakit dan tak kuat berjalan, atau ketika tubuhku sangat lelah di depan komputer.  Asam urat  masih bertengger manis dan mengganggu aktifitasku apalagi setelah perjalanan jauh yang melelahkan.    
Obat itu tak dijual di toko-toko obat yang ada di Sengkang. Setiap enam bulan sekali , ada penjual keliling dari Makassar yang membawa obat tersebut. Pemiliknya berjualan dengan menggunakan mobil, berkeliling desa. Sekali aku pernah mendapati etta berlari mengejarnya. Etta tak pernah membelinya dalam jumlah banyak. Selalu membeli sebotol dan menggunakannya dengan tepat.
Aku ingat kemarin etta mencari botol bekas untuk menyimpan obat itu. Aku tahu etta juga tak bisa berpisah jauh dari obat gosoknya. Bagaimana etta  bisa menahan sakitnya. Etta mungkin tak bisa tidur lelap malam ini , dan malam-malam selanjutnya akan seperti itu. Etta sangat butuh obat itu, dan sekarang telah berpindah tangan padaku. Rasanya aku ingin pulang dan memeluknya erat. berterima kasih untuk cinta yang tak bisa aku balas.
Aku menemukan ribuan cinta malam ini. aku tahu setiap ibu mencintai anaknya. cinta yang tak bisa dibalas. kadang kita lupa dan larut pada setiap mimpi yang kita bangun. Hari ini aku terbangun, bahwa ada orang yang menungguku pulang, yang mendoakan keselamatan dan kesehatanku setiap. Yang bernazar puasa setiap mendengar aku sakit.
Dulu ada pohon lontar tumbuh di belakang rumah nenekku. pohon yang telah ada puluhan tahun lalu. telah ada jauh sebelum aku lahir. Usianya membuat ditebang sebagai satu-satunya pilihan. Etta mengambil daun lontarnya. menganyamnya menjadi tikar yang cantik.
Etta membuatkan satu untukku. Tikar dengan aroma yang sangat khas, sehingga kamarku menjadi harum. Harum daun lontar yang belum sepenuhnya kering. Lontar oleh sebagian masyarakat dipercaya bisa menangkal pengaruh jahat , ilmu hitam dan teman-temannya.  Etta membuatkannya dengan alas an yang sama.
Tikar itu sangat kecil, tak cukup untuk seluruh tubuhku. Ukurannya sangat imut, tak melebihi tinggi badanku. Aku membawanya ke Makassar. Aku merasakan cinta pada setiap helai daun lontar. kubayangkan etta menganyam dengan harapan menggunakannya akan membuatku sehat seperti dulu.
Hari ini hari ibu, tapi tidak semua ibu di dunia ini tahu kalau setiap tanggal 22 desember diperingati  sebagai hari ibu. Etta juga tak tahu. Hari ini, besok, lusa, semua sama saja. Etta tetap akan menghabiskan waktunya di rumah.
Rasanya aku ingin pulang, membawa kembali botol obat itu. Sekarang aku jauh lebih sehat, bukan karena obat itu. Tapi karena aku tahu ada rindu yang akan terus menarikku pulang. Aku punya rumah, rumah yang sebenar-benarnya. Rumah dengan jutaan mimpi yang telah kubangun sejak kecil.
Aku ingin pulang tanpa harus menunggu Hari Ibu. Aku ingin pulang untuk ribuan maaf atas cinta yang tak bisa kubalas. Untuk setiap mimpi etta yang belum bisa kuwujudkan.

Aku belajar bahwa cinta menjadi sangat indah dengan kesederhanaannya.
terima kasih untuk Cinta yang selalu ada untukku. 
Selamat Hari Ibu...