Friday, May 25, 2012

Tak sebanding dengan sakit mereka

Ada satu hal bahwa manusia tak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Selalu meminta lebih dan lebih. Selalu saja merasa tak cukup dengan apa yang dimilikinya. Lupa bersyukur.

Makassar selalu saja membuatku merasa, aku tak ada apa-apanya dibanding yang lain. Membuatku untuk selalu ingat aku memiliki segala hal yang mereka tak punya. Setelah terakhir ke dokter ahli, hingga hari ini aku tak lagi menginjak rumah sakit. Pertama karena aku jengkel dengan pernyataan dokter itu tentang sakitku. Banyak menggunakan “mungkin” mungkin diabetes, mungkin hipokalsemia. Harus chek lab keseluruhan agar tahu hasilnya. Dan untuk chek lab biayanya tak sedikit, dan jumlah yang dibutuhkannya tak hanya seratus dua ratus ribu. Aku tak ingin menginjak rumah sakit itu lagi, menghabiskan tabunganku untuk sesuatu yang tak kuketahui hasilnya.

Salah satu hal yang menarik kukerjakan adalah jalan-jalan ke tempat yang aku sukai. Bukan pusat perbelanjaan atau tempat hiburan atau restoran mewah. Aku suka berkunjung ke daerah-daerah yang ditempati kaum urban dan miskin kota. Aku belajar pada anak-anak jalanan, pemulung atau siapapun.
Pada salah satu ruang itu aku akan bertemu dengan orang-orang yang memiliki penyakit jauh lebih parah dariku.
Ketika aku sakit aku masih bisa mengakses rumah sakit dengan mudah, aku punya banyak teman yang bisa kutempati berkonsultasi. Aku punya banyak teman yang selalu bersedia menolongku ketika aku tak lagi mampu membayar biaya pengobatanku. Aku punya pengetahuan dan bisa mengakses dengan mudah tentang sakit yang kuderita. Aku bisa melakukan pencegahan, istirahat di saat aku membutuhkannya. Tapi tidak dengan mereka.

Kemarin sore ketika berkunjung ke rumah warga di Sekolah, salah satu di antara mereka mengatakan suaminya tak bisa membantu. Sedang sakit katanya. Batuk-batuk dan itu sejak lama, badannya semakin kurus demikian ibu itu cerita tentang kondisi suaminya. Ini bukan orang pertama yang kudengar batuk-batuk dan mengalami penurunan berat badan. Bulan lalu, ada kasus yang sama, bapaknya sudah berulang kali ke puskesmas, dan bahkan ke rumah sakit tapi tak sembuh-sembuh.
Itu bronchitis pikirku. Hal ini sangat mungkin terjadi. Warga di sekitar sekolah berprofesi sebagai pemulung. Mereka melakukannya setiap hari, kecuali libur. Mereka bekerja hingga tengah malam, dan tak jarang hingga subuh. Mereka harus mengangkut barang-barang itu dengan mendorong gerobak. Rumah mereka pun mendukung penyakit ini. Rumah dengan bahan-bahan yang tekah dibuang dan tak terpakai. Tripleks bekas, seng, spanduk bekas, kayu dan bamboo bekas sisa bangunan. Daerah yang lembab dan berair. Semua memungkin kan untuk sakit itu. Bronchitis lebih dikenal dengan paru-paru basah. Terjadi karena adanya infeksi pada paru-paru.
Mereka tak bisa mengakses kesehatan dengan mudah, walau sekarang telah ada jamkesda, jamkesmas tapi tak semua orang bisa mendapatkannya.

Lah, emosi saya jadi menanjak naik. Rasanya hendak marah. Marah sejak dulu program kesehatan untuk masyarakat miskin telah berganti-ganti namun tetap hasilnya sama. tidak bisa diakses sama semua orang.

Ah, sudahlah saya harus mengakhiri hari ini, mencari penenang agar emosi tetap stabil.