Friday, December 21, 2012

Cinta pada Sebotol Obat dan Tikar Lontar


Hari ini  22 desember, diperingati sebagai hari ibu. Pasti ada banyak acara yang dibuat untuk peringatan itu. Aksi bagi-bagi bunga, diskusi dengan tema perempuan, dan kegiatan positif lainnya. Ada juga adikku yang hendak membelikan kado untuk ibunya. Aku tak punya kado untuk etta , Aku hanya ingin menulis malam ini dengan penuh ribuan terima kasih yang tak akan mampu aku sampaikan pada etta.
Aku menulis, walaupun tahu etta tak akan bisa membaca tulisan ini. Tak ada akses internet di rumahku. Etta juga tak mengenal bangku sekolah seperti aku. Tak bisa baca tulis, tapi etta adalah guru terhebat yang ada di dunia.
Aku baru saja mengeluarkan seluruh isi tasku setelah menempuh perjalanan panjang dari Sengkang.  Masih ada sejuta rindu yang belum tuntas. Rumah selalu menjadi tempat menyenangkan untuk melepas lelah dan menghabiskan waktu sepanjang hari. Setumpuk pekerjaan yang kubawa ke Sengkang tak selesai karena waktu selalu saja tak cukup untuk berbagi.  Seminggu masih sangat kurang. Aku masih ingin seminggu lagi dan lagi.
Aku menemukan botol obat yang diselip di sela-sela buku dan pakaianku. Aku ingin menangis, haru menyeruak membuatku kembali merindukan etta. Obat itu sejenis minyak gosok, cairan berwarna merah yang sangat harum. Kata etta kalau tubuh kita sakit obat itu akan panas dan pedis, kalau tak sakit dia tak akan mempunyai efek apa-apa, selainnya baunya yang sangat nyaman.
Seminggu di Sengkang, etta akan membalurkannya ke tubuhku. Setiap malam, ketika aku meringis menahan sakit dan tak kuat berjalan, atau ketika tubuhku sangat lelah di depan komputer.  Asam urat  masih bertengger manis dan mengganggu aktifitasku apalagi setelah perjalanan jauh yang melelahkan.    
Obat itu tak dijual di toko-toko obat yang ada di Sengkang. Setiap enam bulan sekali , ada penjual keliling dari Makassar yang membawa obat tersebut. Pemiliknya berjualan dengan menggunakan mobil, berkeliling desa. Sekali aku pernah mendapati etta berlari mengejarnya. Etta tak pernah membelinya dalam jumlah banyak. Selalu membeli sebotol dan menggunakannya dengan tepat.
Aku ingat kemarin etta mencari botol bekas untuk menyimpan obat itu. Aku tahu etta juga tak bisa berpisah jauh dari obat gosoknya. Bagaimana etta  bisa menahan sakitnya. Etta mungkin tak bisa tidur lelap malam ini , dan malam-malam selanjutnya akan seperti itu. Etta sangat butuh obat itu, dan sekarang telah berpindah tangan padaku. Rasanya aku ingin pulang dan memeluknya erat. berterima kasih untuk cinta yang tak bisa aku balas.
Aku menemukan ribuan cinta malam ini. aku tahu setiap ibu mencintai anaknya. cinta yang tak bisa dibalas. kadang kita lupa dan larut pada setiap mimpi yang kita bangun. Hari ini aku terbangun, bahwa ada orang yang menungguku pulang, yang mendoakan keselamatan dan kesehatanku setiap. Yang bernazar puasa setiap mendengar aku sakit.
Dulu ada pohon lontar tumbuh di belakang rumah nenekku. pohon yang telah ada puluhan tahun lalu. telah ada jauh sebelum aku lahir. Usianya membuat ditebang sebagai satu-satunya pilihan. Etta mengambil daun lontarnya. menganyamnya menjadi tikar yang cantik.
Etta membuatkan satu untukku. Tikar dengan aroma yang sangat khas, sehingga kamarku menjadi harum. Harum daun lontar yang belum sepenuhnya kering. Lontar oleh sebagian masyarakat dipercaya bisa menangkal pengaruh jahat , ilmu hitam dan teman-temannya.  Etta membuatkannya dengan alas an yang sama.
Tikar itu sangat kecil, tak cukup untuk seluruh tubuhku. Ukurannya sangat imut, tak melebihi tinggi badanku. Aku membawanya ke Makassar. Aku merasakan cinta pada setiap helai daun lontar. kubayangkan etta menganyam dengan harapan menggunakannya akan membuatku sehat seperti dulu.
Hari ini hari ibu, tapi tidak semua ibu di dunia ini tahu kalau setiap tanggal 22 desember diperingati  sebagai hari ibu. Etta juga tak tahu. Hari ini, besok, lusa, semua sama saja. Etta tetap akan menghabiskan waktunya di rumah.
Rasanya aku ingin pulang, membawa kembali botol obat itu. Sekarang aku jauh lebih sehat, bukan karena obat itu. Tapi karena aku tahu ada rindu yang akan terus menarikku pulang. Aku punya rumah, rumah yang sebenar-benarnya. Rumah dengan jutaan mimpi yang telah kubangun sejak kecil.
Aku ingin pulang tanpa harus menunggu Hari Ibu. Aku ingin pulang untuk ribuan maaf atas cinta yang tak bisa kubalas. Untuk setiap mimpi etta yang belum bisa kuwujudkan.

Aku belajar bahwa cinta menjadi sangat indah dengan kesederhanaannya.
terima kasih untuk Cinta yang selalu ada untukku. 
Selamat Hari Ibu...

Wednesday, November 21, 2012

Pacarku Rani


Sejak seseorang memberikan nomor HPku pada gadis itu, ia sering menelponku. kami menjadi sangat akrab. Setiap malam ia akan bercerita hingga matahari perlahan menampakkan diri di bagian timur rumahku. Ah, apa ini pantas aku sebut rumah, sedang yang aku tempati hanya sebuah kamar berukuran 3 x 4. Tak  ada kasur. Pakainku teronggok begitu saja dalam ransel yang telah usang. Hanya sebuah tas besar berisi kain dagangan disudut kamar.
Aku berada jauh dari kampung. Sebagai seorang pemuda kampungku, sebuah keharusan untuk tidak tinggal dirumah. Pemuda dikampungku tak pernah tinggal di desa. Mereka  berkelana ke daerah lain untuk mencari peruntungannya dengan menjual kain dan sarung. Aku telah setahun lebih berada di daerah kalimantan, dan telah mendapatkan sebuah sepeda motor baru yang dicicil tiap bulan.
Rani, nama gadis itu. Sekalipun belum pernah melihat wajahnya, tapi aku sangat menyukai suaranya. Dari ceritanya ia seorang karyawan di sebuah toko pakaian . Kami masih satu daerah. Nasehat-nasehatnya selalu bisa membuatku tenang. Setiap malam ketika ia menelponku. Aku hanya bisa membayangkan bagaimana wajah gadis itu. Apakah wajahnya secantik  suaranya yang merdu. Orangnya mungkin telah dewasa. Usia kami memang sudah cukup matang. Usiaku tak kurang dari 26 tahun, dan mungkin Rani tak jauh beda denganku. Rani selalu memanggilku kakak, ntah siapa yang lebih tua.  Ia telah berulang kali memintaku kembali. Aku tak punya alasan pasti, tak mungkin kukatakan motorku membuatku tertinggal di tempat ini. Ia tak setuju aku menyicil motor disini. Katanya itu akan membuat aku tinggal lebih lama.  .
Seperti biasa malam ini ia menelponku.  Kami bercerita banyak, tentang adikku yang sedang kuliah, juga memakai jilbab seperti rani. Walau tak pernah bertemu dengan rani aku sangat mengaguminya. Sangat sulit menemukan gadis berjilbab di daerahku. Kebanyakan yang menggunakannya adalah anak pesantren dan mereka yang sedang kuliah. Apa ia seperti adikku ya? tak pernah melepas jilbabnya kecuali dirumah. Ia seperti adikku yang selalu menasehatiku, kecuali untuk begadang sampai subuh tak pernah ada larangan. Ia rela menghabiskan waktu tidurnya untuk bercerita denganku.
Aku orang yang paling sulit jatuh cinta pada perempuan. Aku sebenarnya tak terlalu pusing dengan kecantikan fisiknya. Aku membutuhkan gadis  sederhana dan sangat perhatian dan sangat sulit menemukannya saat ini, apalagi gadis-gadis belia seumuran adikku. Sangat sulit dipercaya. Mereka lebih banyak yang main-main.
Malam ini aku memintanya menjadi kekasihku. Ia telah menarikku sedemikian dalam, sehingga aku selalu merindukan suaranya di setiap malam. Ia tak menjawab permintaanku,  malah memintaku berpikir kembali. Aku belum pernah melihat bagaimana wajahnya, begitu alasannya. Aku tau aku tak begitu mengenalnya. Ia bertanya bagaimana kalau ia tak secantik yang aku bayangkan. Aku tak peduli, karena aku telah jatuh cinta dan itu semakin menyiksaku.
Seminggu ia tak pernah menelponku. Apa rani marah padaku, HPnya tak pernah aktif. Aku jadi kebingungan sendiri. Dengan setia aku menunggu deringan hp setiap malam, juga berusaha menelponnya.  semoga ia mau mengangkat telponku dan melanjutkan cerita cerita yang telah tertunda. Tahun depan aku akan kembali. Aku akan melamarnya. Aku telah yakin dengan pilihanku. Aku tak peduli wajahnya seperti apa. Kata-katanya telah menjadi nyanyian pengantar tidurku.
Tidak tahan dengan kerinduanku, akhirnya aku menelpon adikku. Ia menertawakanku, mengatakan aku sudah cukup tua untuk jatuh cinta. Tau apa dia tentang   cinta, atau mungkin adikku juga telah jatuh cinta pada teman kuliahnya tapi tak berani mengatakannya padaku. Seperti rani, ia menasehatiku. Bagaimana kalau rani tak seperti yang aku harapkan. Aku akan kecewa dan sakit hati. Ah, adikku, sifatnya sangat mirip denganmu, dan semoga kecantikannya pun sepertimu.
Aku memberikan alamat dan no handphone rani. Adikku janji akan mencarikannya. Ia akan pulang jumat nanti, katanya ia memang sudah rindu pada keluargaku. Andai boleh aku ingin memutar waktu dan sekarang adikku telah berada di rumah, tapi itu tidak mungkin.
Aku bersemangat mengeluarkan motorku. Keinginan untuk pulang semakin besar. Hari ini aku akan masuk ke perbatasan malaysia, menjual barang disana mendapatkan untung yang lumayan. Nilai tukar mata uangnya lebih tinggi, jadi untungnya bisa dua kali lipat. Tiga jam naik motor akhirnya aku sampai ke daerah perbatasan. Ntah apa  nama kampungnya, tapi aku tidak peduli. Yang aku butuhkan orang-orang yang mau membeli barang-barangku.
Aku istirahat sebentar di sebuah warung, setelah letihku hilang aku mulai memasuki rumah rumah penduduk satu persatu. Mereka menyambutku dengan baik. Sangat mudah menjual kain batik karena itu sangat langka disana. Beberapa barangku telah terjual. Hari belum lagi sore, masih ada waktu beberapa jam untuk berkeliling.  
Aku masih sempat memasuki sepuluh rumah sebelum jarum jam tangaku menunjuk angka 4. Sudah saatnya kembali ke rumah. Aku tidak bisa menginap di tempat ini, disini  tak ada penginapan, selain itu juga tidak ada surat izin masuk ke negara lain.
Aku kembali ke warung tadi dan menikmati segelas kopi , mengisi perutku dengan semangkuk mie. Kalau adikku tahu aku makan mie lagi, ia pasti mengomel dengan sangat panjang. Ia akan berceramah betapa tidak baiknya mie untuk aku. Tapi aku tidak peduli, mie makanan yang paling murah sehingga aku bisa mengirit pengeluaranku.
Langit mulai gelap, awan hitam dan tebal sepertinya tak mampu lagi menahan bebannya. Mengambil  uang  dari dompet  dan membayar makanan. Aku segera melarikan motor kembali ke rumah. Belum setengah jalan hujan telah mengguyur. Terpaksa berhenti di tengah jalan. Jas hujan yang kubeli kemarin sore menjadi pembungkus barang daganganku. Aku tak ingin daganganku tersentuh air. Hanya sebuah jaket yang membungkus badanku. Tak perlu waktu lama untuk basah kuyup .
Hujan sangat deras, Air bagai di tumpahkan dari langit. Tubuhku sangat sakit, air tak ubahnya kerikil-kerikil kecil yang dilemparkan. Dua jam aku harus menderita menahan sakit dan dingin. Aku sampai dirumah ketika azan isya telah dikumandangkan. Perjalanan tadi sangat melelahkan. Sampai di rumah aku bersin-bersin, suhu tubuhku mulai tak normal. Sepertinya demam akan menyerang. Semangkuk mie kembali menemani malamku. Aku tak mampu lagi memasak nasi. Kali ini ada telur setengah matang yang menemaninya. Setelah mangkuknya berisi udara kosong, aku mencari sebutir parasetamol di ranselku. Adikku bulan lalu mengirim obat dan multivitamin.
Deringan handphone membangunkan aku. Malam telah larut, tadi aku langsung tertidur setelah makan obat. Suhu badanku kembali  normal. Handphoneku belum berhenti berdering. Dari adikku, tumben ia menelponku malam-malam, biasanya aku yang harus menghubunginya. Ia mendengar suaraku yang parau. Aku tidak bisa membohonginya kalau aku sedang demam. Ia selalu punya firasat yang kuat. Aku tidak dibolehkan begadang malam ini. Begadang akan memperparah sakitku, jadi kalau aku mau cepat sembuh aku harus tidur lebih awal dan besok tiadk boleh keluar. Aku harus kembali ke Malaysia besok. Hari ini aku mendapat untung yang lumayan, bisa sekali bayar cicilan motorku. Ia memintaku me non aktifkan Hpku, katanya biar tidak ada yang menggangguku. Aku tidak akan melakukannya, siapa tau rani mau menghubungiku.
Setengah jam aku medengar ocehannya, aku tidak membantahnya, karena ia memang lebih tahu. Katanya kurang tidur yang membuat kondisi fisikku lemah, jadinya gampang sakit. Ia memintaku istirahat.

###

Dua bulan kemudian aku kembali ke kampung. Aku akan tinggal disana selama sebulan, setelah itu kembali lagi ke kalimantan. Aku dan rani telah berpacaran tanpa pernah bertatap muka. Adikku sangat kaget, katanya aku terlalu ceroboh.  rani sangat senang mendengar kabar aku akan pulang bgitupun keluargaku. Jadwal keberangkatanku belum diketahui siapapu. Aku akan muncul begitu saja di depan kost adikku. Bersama kembali ke kampung. Semuanya telah aku atur. Sudah setahun lebih aku tak melihat mereka, aku sangat merindukannya.
Sampai di rumah kelurgaku berkumpul. Ibu menangis haru bertemu denganku. Kebahagian itu berubah ketika aku mengatakan aku akan kembali ke kalimantan. Mereka melarangku kembali kesana. Aku terpaksa menceritakan cicilan motorku. Selama ini hanya aku dan adikku yang tahu. Adikku bisa juga menyimpan rahasia. Setelah semuanya istirahat aku mendekati adikku dan memaksanya cerita tentang rani. Ia tidak mau bercerita. Aku disuruh melihatnya sendiri. besok aku akan memaksanya menemaniku menemui rani. Ia telah duluan mengenalnya.
Aku ke tempat kerjanya bersama adikku. Ia tak tahu kalau aku akan menemuinya hari ini. Adikku menunjukkan toko tempat rani bekerja. Rani bekerja pada keluarganya sendiri. ia dipercaya mengelola toko itu. Toko itu sangat sepi. Karyawannya hanya duduk bercerita di depan pintu. Aku memperhatikan satu persatu tiga gadis itu. Mungkin salah satu diantaranya adalah rani. Aku tidak akan menyesal. Wajah ketiganya lumayan manis. Salah satunya terkesan genit. Mungkin cewek yang lebih pendiam itu adalah rani.  Salah satunya berdiri melayaniku. Gadis yang pendiam itu. Apa ia raniku? Adikku telah muncul. Kami memang sengaja tidak masuk bersamaan, bahkan pura-pura tidak kenal.
“Rani kemana?”adikku bertanya.
“Tidak tau” jawab salah seorang gadis.
Aku mendengar pembicaraan mereka. Rani sedang keluar, kerumah teman katanya. aku jadi lesu, aku tidak bisa menemui rani. Aku mencari baju yang cocok tapi tak ada lagi yang sesuai seleraku. Setelah sedikit berbasa-basi pada karyawan yang menemaniku, aku keluar dari toko itu. Tak lama adikku menyusul.
Kami menyusuri jalanan. Aku mengajak adikku ke rumah rani. ia tidak mau, katanya rani tidak ada di rumah. Rani  bisa di temui di rumahnya sebentar malam. Berputar-putar tanpa arah di kota. Depan sebuah toko, adikku menarik masuk.  Kemarin aku janji akan membelikannya sebuah baju. Ia sibuk mencari baju, dari rak yang satu ke yang lain. Setengah jam berada dalam toko. belum ada satu bajupun yang menarik minatnya. Adikku keluar dengan wajah cemberut.
Sebuah sepeda motor baru terparkir depan halaman. Adikku terus ke warung. Seorang perempuan setengah baya duduk sendirian di ruang tamu. aku melihatnya sekilas. Perempuan itu kelebihan berat badan beberapa kilogram. Wajahnya merah keunguan. Pasti ia banyak menggunakan bedak pemutih yang membuat kulit terkelupas. Aku mengingat kakakku pernah menggunakannya . Sebulan wajahnya sangat putih tapi setelah beberapa lama terkena sinar matahari, wajahnya tak lagi putih. Mungkin tamu kakakku.
Aku terus ke kamar. Melihat handphoneku yang tadi sedang di chass. Baterainya sudah penuh.
“ran…aku tadi ke tempatmu, kamu lagi dimana?”aku mengirim pesan singkat.
Tak lama sebuah pesan masuk. Aku membacanya. Sekarang aku dirumahmu, kamu kemana sih, udah sejam aku menunggu. Cepat pulang ya…
“dia rani…”pikirku. Aku tertunduk lesu. Semuanya jauh dari yang aku bayangkan. Ini yang dimaksud adikku. Aku memang ceroboh.
Aku menemuinya dan meminta maaf karena tak mengenalinya. Adikku datang juga. ia duduk di sampingku  menemani rani ngobrol. Aku kebingungan sendiri. ntah apa yang ada dipikiranku. Semuanya jadi kacau.  Rani ternyata seumuran kakakku. Tak lama terdengar ibu memanggil adikku.
Kami kembali berdua di ruang tamu. setengah jam adikku tak keluar-keluar juga. aku kira ibu tadi memanggil adik membawakan minum untuk kami. Aku masuk ke dalam, wajah ibu dan kakak cemberut, mereka duduk terpaku depan TV. Aku masuk ke kamar adikku, ia sibuk dengan bacaannya.
“ibu melarangku buat minum, ibu tidak suka, katanya rani tidak cocok”
Tidak cukup sejam aku ngobrol dengan rani, ia sepertinya sadar kalau penghuni rumah itu tak menyukainya.
Aku tahu ibu dan kakak tak menyetujui hubungan kami.

Thursday, September 13, 2012

Karena tak bisa baca tulis


Namanya Dg.Nali, tapi kami tak pernah menyebut nama itu. Kami memanggilnya Mache, kalau mencarinya kami menyebut Mamanya Sudding. Mereka sekeluarga tinggal di belakang BTN Asal mula. Dulu tempat itu adalah rawa-rawa yang sangat hijau, tapi sekarang pelan-pelan telah dibangun menjadi perumahan. Rumahnya tentu tak seperti yang lain, rumah panggung sederhana yang tinggi tiangnya tak lebih dari semester diatas tanah.
Jum’at sore minggu lalu kami berkumpul di pinggir danau UNHAS. Saya, Ibhe, Taufik, Anca, Gina, Tamy, Kak Tenry dan Aliph. Berbincang lepas karena lama tak bertemu sejak lebaran. Taufik bercerita kalau ia pernah ke Sekolah KAMI. ada masalah dengan Dg.Gassing, suami Dg.Nali. motor yang mereka cicil 21 bulan lalu diambil paksa oleh perusahaan financenya. Ponakannya menngendarai motor itu, dan diambil ditengah jalan. Katanya sudah 10 bulan nunggak.  Bukan hanya Dg.Gassing, keluarganya Bagas juga jadi korban penipuan. Motornya juga sementara dicari oleh collector finance.
Kami mendengar cerita Dg.Nali, akhir 2010 keluarga itu mengeluarkan motor Honda. Ponakannya Rahman, menunjukkan seorang keluarganya, tempat ia mengambil motor. Namanya Sulkifli, bekerja sebagai buruh di pelabuhan. Karena mereka tak punya kartu keluarga dan KTP tentu tak bisa melakukannya sendiri, apalagi dengan kondisi rumah yang sangat sederhana. Tentu, tak akan lolos verifikasi finance. Motor itu atas nama Sulkifli, tagihan motor ia minta setiap bulan. Mace tak pernah telat membayarnya, karena takut motornya bermasalah. Selalu pula dia mengingatkan Sulkifli agar tak membodoh-bodohinya.
Mache membayar 560.000 setiap bulan, itu dikumpulkan dari hasil memulung sekeluarga. Mace, Pace, nenek, Sudding, Sultan dan Rahul. Sesekali uang yang mereka kumpulkan tak cukup, sehingga harus mencari pinjaman lain. Motor itu satu-satunya harta berharga dalam rumah itu. Dikumpulkan dari kerja keras sepanjang hari, berkeliling UNHAS dan perumahan untuk mengumpulkan botol-botol dan gelas air kemasan.
Aku melihat bukti-bukti pembayarannya Bersama Anca, Taufik dan Ibhe. 10 tanda bukti masih berasal dari finance, tapi setelah itu bukti yang diberikan ke Dg.Nali adalah fotocopian dari pembayaran ke 10. Tak ada yang beda, begitu terus setiap bulan.
Dg.nali dan Dg.Gassing tak bisa baca tulis, dan mereka baru memeperlihatkan bukti itu setelah motornya ditarik. Mace sama sekali tak paham, bahkan juga tak tahu nama finance tempatnya mengeluarkan motor.
Semua berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan Mache pada Sulkifli. Sebenarnya Syamsuddin anak tertua sudah lancar baca tulis, bahkan pernah menginjak bangku sekolah. Syamsuddin mengaku tak pernah melihat bukti pembayaran itu. Mace menyimpannya sendiri, ia sangat percaya pada SUlkifli.
Kami menemani Mache ke LBH, disana mungkin  mendapat harapan agar hak mereka bisa kembali.  
Kali ini mereka belajar, bahwa baca tulis demikian penting. Mereka kehilangan kerja keras selama 10 bulan, hanya karena tak bisa membaca bukti kertas yang diberikan Sulkifli. 

akhirnya ada waktu untuk berbagi cerita
Semangat kawan, langkah kita tak akan berhenti disini
14 September 2012

Saturday, August 25, 2012

Catatan dari Polongbangkeng (edisi riset 3)


Makkio menepati janjinya. Ia datang ke rumah Dg.Imba Bersama beberapa orang. Kecapinya dibawa serta. Kami akan merekam cerita perjuangan sejarah perampasan tanah dan pembentukan organisasi Serikat Tani Polongbangkeng.
Makkio adalah salah seorang petani yang tak bertanah. Ia menceritakan perjuangan hidupnya lewat nyanyian dan petikan kecapi. Tanahnya telah di rampas ketika terjadi perampasan tanah untuk perkebunan tebu. Dia dipaksa untuk menerima ganti rugi. Jika ganti rugi tak diterima maka ia akan ditembaki dan dituduh PKI.
Setelah tak punya tanah, Makkio harus meninggalkan barugayya untuk bisa menghidupi keluarganya. Ia tak mau anak-ananya tak sekolah, tapi tinggal di kampong tanpa tanah sama saja dengan bunuh diri.
Pemerintah telah merampas tanahnya. Membangun perkebunan tebu , menyengsarakan semua rakyat Polongbangkeng.
Enam tahun Makkio bekerja di Malaysia. Menjadi buruh agar bisa mengirim uang untuk anak-anaknya. Makkio bercerita kesyukurannya karena Serikat tani polongbangkeng terbentuk. Ia dapat ikut memperjuangkan haknya agar dikembalikan pemerintah.
Begitu memperlihatkan wajahnya, ia langsung meminta segelas kopi kental tanpa gula. Sejak masuknya PTPN XIV dan merampas paksa tanahnya, sejak itu Makkio tak mau lagi mengkonsumsi gula pasir. Ia sedang mabuk. Untuk dapat memainkan kecapinya, ia memang tidak bisa dalam kondisi normal. Semakin mabuk akan semakin bagus petikan dan nyanyiannya.
Dua jam Makkio bercerita tentang mirisnya hidup Takalar. Masyarakat bertahun-tahun harus hidup seadanya. Ada yang menggali batu di gunung,  menanam jagung di hutan, pergi mencari sisa-sisa panen di daerah lain. Menahan malu untuk mendapatkan sisa panen. Menjadi buruh, menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Sekarang Makkio kembali ke Takalar dan ikut berjuang Bersama anggota STP lainnya. Ia diajak oleh Dg.Tutu dan sangat rajin mengikuti setiap pertemuan dan agenda STP.
Sekarang Makkio menjadi pengembala sapi. ia memiliki beberapa ekor sapi yang setiap hari dibawanya keluar. Di Barugayya sedang marak pencurian sapi. Hampir setiap malam ia harus menjaga sapinya agar aman dari tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Ia sangat mencintai keseniannya dan selalu bernyanyi Bersama kawan-kawannya sambil mengembala sapi. menggunakan kecapi atau gambus dan menyanyikan peristiwa hidupnya.

Hari ini telah lengkap dengan nyanyian Makkio dan teman-temannya.
12 agustus 2012

Tuesday, August 14, 2012

Catatan dari Polongbangkeng (edisi riset 2)


Bahagia itu sederhana. Kata-kata yang sangat aku sukai. Membuat hidupku penuh rasa syukur. Aku mencintainya seperti mencintai setiap laku yang memberiku beribu bahagia. Hari ketiga di Polongbangkeng. Setelah menghabiskan siang dengan bermalas-malasan di bale-bale kolong rumah Dg.Imba. Sore, jalan-jalan keliling kampong. Hari ini hendak melanjutkan wawancara, dan meminta Makkio untuk bertutur tentang sejarah perjuangannya lewat petikan kecapinya.
Aku dan Achoz menuju rumah Makkio. Kami tak tahu betul rumahnya. Achoz sekali pernah kesana. Jadi kami singgah bertanya pada warga. Kami berhenti didepan sebuah rumah panggung besar. dua perempuan sedang duduk dibale-bale. Seorang bayi terlelap dalam buaian ibunya. rumah Makkio ternyata. Tapi sayang ia tidak sedang di rumah. Menurut istrinya, sedang mengembala di dekat villa Bupati. 
Di jalan kami bertemu dengan Talassa, seorang pemuda Barugayya yang sering kutemui ikut rapat bersama warga. Ia mengantar kami ke tempat Makkio. Dua motor melaju kesana, dan didekat villa, Talassa bertemu temannya. Laki-laki itu dari tempatnya Makkio. ia berputar arah mengantar kami kesana. Ada juga Dg. Tojeng yang hendak pulang dan diajak jalan. Jadilah empat motor beriringan.
Jalannya tak menyenangkan. Bukan lagi melewati aspal yang mulus. Jalan bebatuan yang dikiri kanannya hutan . ini juga bukan lagi hutan alam, karena disela-selanya ada tanaman masyarakat. Lebih layak dikatakan kebun.
Masyarakat Polongbangkeng untuk bertahan hidup memang menanam tanaman disela-sela tanaman hutan. Hal ini karena tanah yang mereka miliki puluhan tahun telah menjadi lahan tebu.
Petikan gambus terdengar dari jauh. Tak ada rumah, hanya ada tanah lapang dan sebuah gubuk gembala. Disana beberapa orang berkumpul dan menyanyi mengikuti dawai gambus. Makkio salah satu diantaranya.
Aroma tuak tercium. Perutku agak mual.  Makkio mengajak kami salaman. Yang lain juga mendekati kami. Aku menyambut uluran tangan itu. Aku ingat semalam teman-teman bercerita, untuk dapat bernyanyi dengan baik Makkio harus minum tuak. Ia menawari Achoz untuk ikut minum. Untung kawanku ini sangat rajin puasa.
aku memintanya memetik kecapinya disitu, tapi tidak ia bawa. Katanya sedang menggembala sapi. Jadi hanya ada satu kecapi. Ia berjanji malam nanti akan datang ke tempatku menginap untuk memetik kecapinya dan bertutur sejarah perjuangan Serikat Tani Polongbangkeng.
Namun, gambus dipetik kembali dan bergantian mereka bernyanyi. Dua orang bercerita Tanah di Polongbangkeng sangat luas tapi telah diambil oleh PTPN XIV dan menyisakan sengsara buat rakyat. Bergantian mereka bernyanyi bercerita padaku. tapi sayang sekali aku hanya mengerti beberapa kata. petikan yang menggambarkan perihnya hidup setelah tanah mereka dirampas.
Seorang petani lain muncul membawa seember timun yang sangat segar. Sebelum pulang ia memberikan timun itu kami bawa pulang. Aku menolaknya, tapi mereka sangat ngotot kami harus terima. Dg.Tojeng akhirnya membawa timun itu. Aku berterima kasih sebelum pulang dan meminta Makkio untuk datang Bersama teman-temannya.
Aku sangat terharu, seember timun itu tentu akan bernilai di pasar. Tapi petani adalah orang paling sederhana yang sangat tulus.
Sepulangnya kami singgah di danau. Dg.talla berjalan dengan beberapa ekor ikan yang diikat satu. Sebelah tangannya membawa jaring. Ia berjalan mendekati kami dan menyerahkan semua ikan hasil tangkapannya.  Kami menolak halus. Tapi ia juga berkeras memberi ikan itu. Katanya ia masih bisa menangkap ikan untuk dirinya.  
Aku membawa ikan itu  ke rumah Dg.Imba, tempat kami menginap semalam. Bahagia tak dapat kugambarkan hari ini. Petani sederhana dengan hidup yang sangat sulit, namun tak berpikir panjang untuk berbagi.Terima kasih, hari ini aku belajar bahwa berbagi itu tak butuh banyak harta. Dan mereka jauh lebih kaya dibanding orang-orang berduit penguasa PTPN.

lepas menikmati timun dan ikan nila terlezat...
12 Agustus 2012

Catatan dari Polongbangkeng (edisi riset 1)

Hari kedua di Polongbangkeng. Sebenarnya hendak istirahat, Polongbangkeng telah menjadi bagian yang selalu mengingatkanku pada rumah sebenarnya di Sengkang. Bertemu dengan ibu-ibu yang selalu menyambut ramah. Bapak-bapak yang akan bercerita padaku panjang lebar dengan bahasa Makassar. Dan aku dengan payah berusaha untuk mengerti.
Ada riset yang dilakukan WALHI Sulsel, kawan-kawan telah mengumpulkan data sekunder sejak awal Agustus. Data kesehatan, kemiskinan, pendidikan, pekerjaan, semua dikumpul dengan penuh semangat. Ramadhan bukan penghalang, bekerja sambil beribadah jauh lebih baik. Dampaknya sangat baik. Dua kawan baikku akhirnya rajin berkunjung ke mesjid shalat tarwih dan subuh.
Petani adalah orang yang sangat disiplin. Menghabiskan waktu sepanjang malam untuk diskusi tentang perjuangan organisasi, bangun sahur dan menunggu subuh. Setelah itu meninggalkan rumah melakukan berbagai pekerjaan. Dan aku,  Bersama ketiga kawanku dengan alas an kurang tidur terlelap hingga matahari semakin meninggi dan dingin Takalar telah menguap. Aku sangat malu sebenarnya, tapi tak mampu menahan kantuk dan melengkapi kekurangan tidurku. Sejak dulu aku percaya, aku harus tidur 8 jam sehari untuk bisa lebih sehat.
Telah kususun rencana semalam. Hari ini aku akan mendengar cerita dari beberapa orang-orang tua yang menyaksikan perampasan tanah yang dilakukan oleh PTPN XIV Takalar.
Siangnya di posko STP telah ada Dg.Nyampa, Dg.Serang, dan beberapa orang lainnya yang belum aku kenal namanya. Aku mengajak Dg.Nyampa cerita. Mendengarkan sebagian dari kisah hidupnya. Dg.Serang juga telah menceritakan banyak hal padaku tentang hidupnya. ini kali kedua aku tinggal lama di Polongbangkeng. Dan aku ingin mendengar cerita sebanyak mungkin dari mereka yang telah melewati masa-masa suram perampasan tanah yang dilakukan PTPN XIV.
Ini bukan satu-satunya tempat masyarakat di rampas tanahnya atas nama pembangunan.  Dg.Mayang, seorang ibu yang telah berumur 80 tahunan bercerita dengan bahasa Makassar. Dulu mereka dikejar, dicari-cari, kalau tak ada di rumah akan dicari dijalan-jalan. Mereka disuruh datang ke kantor pemerintah desa. Jika tidak menerima uang ganti rugi label PKI akan dilekatkan pada mereka. Masa-masa itu sangat suram, polisi ada dimana-mana.
Aku jadi teringat tahun 2009 lalu, memasuki Polongbangkeng akan membuat jantungku berdegup lebih kencang. Menyaksikan brimob dengan senjata lengkap berjaga di sepanjang jalan Polongbangkeng. Seragam hitam dan senjata laras panjang. Petani yang harus bersembunyi di hutan. Saat itu jauh lebih menakutkan.
Kehidupan petani setelah perampasan tanah jauh sangat miskin. Tak ada lagi tanah yang bisa ditanami. Tak ada pekerjaan lain. Sebagian harus keluar dari desa ke daerah lain untuk bertahan hidup. Makan jagung dan ubi adalah hal biasa yang harus mereka lakoni. Bahkan aku mendapat cerita sepasang suami istri harus menggunakan satu sarung untuk berdua.
kami menghabiskan siang di bale-bale kolong rumah bapak Ila, sambil menunggu acara buka puasa yang diadakan LBH Makassar. Aku mendapat banyak cerita hari ini, mendengar cerita miris yang membuatku terus bersyukur karena hari ini aku kembali belajar pada ibu-ibu dengan semangat yang tak pupus untuk merebut kembali tanahnya.
Usai shalat  tarwih, kami bergerak ke desa Barugayya. Ada diskusi kampong dengan petani malam ini. Pukul 21.00 kami sampai di Barugayya. di Barugayya jauh lebih dingin dibandingkan Timbuseng. Letaknya dipinggiran sebuah bukit.
Lepas diskusi kampong dan mata ini masih saja bersinar terang.
11 agustus 2012

Thursday, July 26, 2012

Mencari Tanah Baru


Kemarin aku ke Sekolah KAMI, Bersama Rahi. bukan untuk mengajar. Telah ada teman-teman yang selalu mengajar. Membagikan waktunya sejam dua jam untuk mengajar anak-anak di Sekolah KAMI. Aku hanya ingin berbagi cerita dengan warga. Beberapa hari lalu mereka mendapat instruksi. Sebelum lebaran rumah-rumah itu harus dibongkar. Pemilik tanah akan menimbung tanahnya setelah lebaran. Mereka akan mulai membangun. Mungkin membangun rumah-rumah kost. Sekarang memang marak, investasi jangka panjang rumah kost untuk mahasiswa yang tinggal dekat kampus. Dua kampus besar berada di dekat tempat tinggal pemulung. UNHAS dan Politeknik. Ada 13 rumah yang akan dibongkar. Rumah-rumah yang terbuat dari barang-barang sisa. Tripleks, bamboo, serpihan kayu, bekas spanduk.
Rumah-rumah itu, rumah para pemulung. Salah saru rumah baru seminggu berdiri. Satu rumah lagi baru sebulan berdiri. Selalu seperti itu. Mereka pasrah. Tak ada pilihan lain. Kembali ke kampong? Tak mungkin. Tak ada rumah dan tanah. Menetap di Makassar, satu-satunya pilihan bertahan hidup.
“Wulan mau pindah kemana?” aku bertanya pada salah satu anak yang sering belajar Bersama kami.
“ke dekat danau kak, di dekat penjual pulsa.” Katanya singkat.
Wah, bisa jadi masalah baru. Pindah ke dekat danau. Tak mungkin pihak Unhas memberi izin. Dg.Baha rencananya akan pindah ke dekat sumur dalam kompleks kuburan. “wah, tidak takut Pak. Aku saja kalau lewat malam disana kadang dumba’dumba” kataku padanya. Hanya ada sedikit pilihan katanya. Ada beberapa keluarga lain yang akan ikut pindah kesana. Alternative lain, mereka akan pindah ke dekat tempat sampat.
Ada banyak tanah kosong dekat UNHAS. Mereka merencanakan akan menghadap Pak RT untuk minta izin. Tapi lahan itu telah memiliki pemilik. Mencoba mengusahakannya pada banyak tempat. Tapi pemiliknya tak ingin ada bangunan diatas tanah mereka.  
Tanah telah dikapling-kapling. Bukan hanya satu orang. Sebidang sawah bisa jadi memiliki dua sertifikat hak milik. Hampir semua tanah di Makassar bersengketa. Telah dimiliki pengusaha dan orang-orang berduit. Ntah bagaimana caranya tanah yang rawa-rawa mempunyai pemilik.  Tanah yang ditempat Dg.Paso sampai sekarang belum ada kejelasan. Aku pernah menulis soal itu.
Dua hari yang lalu mereka ke Rektorat. Delapan warga Bersama Rahi. Mama’ bercerita. Ada yang mengira mereka mau minta sembako. Sebagian yang lain berpikir mereka akan demo. Mereka risih dan malu. Walau memulung mereka pantang meminta.
Pertemuan dengan beberapa warga hari itu, tak member banyak pilihan. Satu-satunya tanah yang bisa dipinjam adalah milik Dg.Gaffar, bos mereka. Syaratnya satu harus ada pemulung dalam rumah tersebut. Saya lupa cerita, sekarang tak semuanya memulung. Beberapa orang telah beralih jadi cleaning service di UNHAS dan Rumah sakit. Namun tanah berukuran 20 x 10 meter itu telah ada 3 rumah yang berdiri, empat dengan Sekolah. Jika itu pilihannya, semua bangunan itu harus dibongkar dan ditata ulang. Tak boleh ada yang dirugikan. 
 Tamalanrea, menjemput senja Ramadhan
24 juli 2012