Kemarin
aku ke Sekolah KAMI, Bersama Rahi. bukan untuk mengajar. Telah ada teman-teman
yang selalu mengajar. Membagikan waktunya sejam dua jam untuk mengajar
anak-anak di Sekolah KAMI. Aku hanya ingin berbagi cerita dengan warga.
Beberapa hari lalu mereka mendapat instruksi. Sebelum lebaran rumah-rumah itu
harus dibongkar. Pemilik tanah akan menimbung tanahnya setelah lebaran. Mereka
akan mulai membangun. Mungkin membangun rumah-rumah kost. Sekarang memang
marak, investasi jangka panjang rumah kost untuk mahasiswa yang tinggal dekat kampus.
Dua kampus besar berada di dekat tempat tinggal pemulung. UNHAS dan Politeknik.
Ada 13 rumah yang akan dibongkar. Rumah-rumah yang terbuat dari barang-barang
sisa. Tripleks, bamboo, serpihan kayu, bekas spanduk.
Rumah-rumah
itu, rumah para pemulung. Salah saru rumah baru seminggu berdiri. Satu rumah
lagi baru sebulan berdiri. Selalu seperti itu. Mereka pasrah. Tak ada pilihan
lain. Kembali ke kampong? Tak mungkin. Tak ada rumah dan tanah. Menetap di
Makassar, satu-satunya pilihan bertahan hidup.
“Wulan
mau pindah kemana?” aku bertanya pada salah satu anak yang sering belajar
Bersama kami.
“ke
dekat danau kak, di dekat penjual pulsa.” Katanya singkat.
Wah,
bisa jadi masalah baru. Pindah ke dekat danau. Tak mungkin pihak Unhas memberi
izin. Dg.Baha rencananya akan pindah ke dekat sumur dalam kompleks kuburan.
“wah, tidak takut Pak. Aku saja kalau lewat malam disana kadang dumba’dumba”
kataku padanya. Hanya ada sedikit pilihan katanya. Ada beberapa keluarga lain
yang akan ikut pindah kesana. Alternative lain, mereka akan pindah ke dekat
tempat sampat.
Ada
banyak tanah kosong dekat UNHAS. Mereka merencanakan akan menghadap Pak RT
untuk minta izin. Tapi lahan itu telah memiliki pemilik. Mencoba
mengusahakannya pada banyak tempat. Tapi pemiliknya tak ingin ada bangunan
diatas tanah mereka.
Tanah
telah dikapling-kapling. Bukan hanya satu orang. Sebidang sawah bisa jadi
memiliki dua sertifikat hak milik. Hampir semua tanah di Makassar bersengketa.
Telah dimiliki pengusaha dan orang-orang berduit. Ntah bagaimana caranya tanah
yang rawa-rawa mempunyai pemilik. Tanah
yang ditempat Dg.Paso sampai sekarang belum ada kejelasan. Aku pernah menulis
soal itu.
Dua
hari yang lalu mereka ke Rektorat. Delapan warga Bersama Rahi. Mama’ bercerita.
Ada yang mengira mereka mau minta sembako. Sebagian yang lain berpikir mereka
akan demo. Mereka risih dan malu. Walau memulung mereka pantang meminta.
Pertemuan
dengan beberapa warga hari itu, tak member banyak pilihan. Satu-satunya tanah
yang bisa dipinjam adalah milik Dg.Gaffar, bos mereka. Syaratnya satu harus ada
pemulung dalam rumah tersebut. Saya lupa cerita, sekarang tak semuanya
memulung. Beberapa orang telah beralih jadi cleaning service di UNHAS dan Rumah
sakit. Namun tanah berukuran 20 x 10 meter itu telah ada 3 rumah yang berdiri,
empat dengan Sekolah. Jika itu pilihannya, semua bangunan itu harus dibongkar
dan ditata ulang. Tak boleh ada yang dirugikan.
Tamalanrea, menjemput senja Ramadhan
24 juli 2012