Wednesday, January 9, 2013

Tentang hujan dan banjir


Hampir seminggu saya berada disini. Kamar segi empat yang kusebut rumah. Makassar sedang diguyur hujan dan aku malas keluar. Beberapa hari aku keluar namun menghasilkan lelah yang berkepanjangan. Tubuh yang menghangat. Kepala yang berdenyut keras seakan mau pecah. Menambah pakaian basah dan kotor. Jalanan macet karena banjir dimana mana. Jipratan air hujan bercampur air got.
Aih, tak ada yang menyenangkan, selain menikmati rinai hujan didalam kamar. Mendengar music kesukaanku. Mendekam dibalik hangatnya selimut. Membaca hingga mata terasa berat kemudian menggantinya dengan tontonan menarik dari film film lebay yang ku copy dari teman temanku.
Makassar diselimuti awan gelap dan hujan yang deras. Banjir dimana mana, hampir  seluruh daerah di Sulsel. Sulsel dalam Kondisi darurat ekologis, demikian kami menyebutnya. Adikku di kost-an mengirim pesan singkat ia terjebak macet di Pangkep, sejak sore  berteduh di Pertamina. Salah satu sungai besar di Pangkep meluap. Katanya mereka mungkin tertahan sampai pagi. Seorang kawan di Jeneponto menulis status di walk facebooknya, banjir menggenangi kampungnya. Sisa tiga anak tangga dan rumah mereka akan tersapu air. Berita di TV empat titik di kota Makassar paling parah, air setinggi dada orang dewasa. Masyarakat harus dievakuasi menggunakan perahu karet. Kantorku juga tak luput, Rumah Hijau kebanjiran, bukan hanya sehari, tapi dua hari penghuninya harus sibuk membersihkan. Kostku juga tak mau kalah,  beberapa kamar harus ditongkrongi karena air meresap hingga ke tembok tembok kamar. Untung kamarku tak jadi korban.
Seingatku aku pernah merasakan hujan yang lebih parah. Ini baru dua hari hujan dan berita banjir harus memenuhi semua ruang. Dunia maya, televise, radio, media cetak, semua. Aku mengenang musim hujan yang pernah kulewati di Makassar. Dulu, kalau musim hujan aku tak suka membawa tas dan segala jenis barang yang akan basah ketika musim hujan. Aku selalu menggunakan pakaian kebangganku. Jeans, kaos oblong, jaket dan sandal jepit serta beberapa lembar rupiah di kantong. Aku tak mau repot, kalau mau pulang ke rumah aku tak punya beban. Tak ada yang aku khawatirkan akan basah. Aku akan menikmati hujan dengan jalan kaki pulang ke rumah.
Berhari hari hujan juga tak membuatku takut. Aku jarang mendengar berita banjir. Satu satunya banjir yang kudengar adalah dari rumahku di Sengkang. Selebihnya aku menikmati musim hujan. Aku mencintai hujan, mencintai desember seperti lagunya Efek Rumah Kaca.
Sekarang musim hujan menjadi sangat menakutkan. Apakah curah hujannya yang bertambah? Tidak, hujan masih sama, masih seperti dulu. Yang berubah adalah di sepanjang perintis rawa rawa yang dulunya menjadi daerah resapan air, kini berganti menjadi  pohon pohon beton yang akan membawa air masuk ke jalanan. Tak lagi banyak ruang untuk resapan air. Pembangunan Makassar berlangsung terus menerus, pusat perbelanjaan, perumahan mewah, perhotelan. Sayangnya pembangunan itu tak beriringan dengan perbaikan drainase.
Kompleks gubernuran yang menjadi salah satu pemukiman mewah di Makassar telah menjadi langganan banjir 3 tahun terakhir. Rumah rumah mewah namun tanpa pembuangan yang beres, tanpa taman hijau, semuanya telah menjadi taman beton.
Hujan masih sama, yang beda adalah pohon pohon terus tergerus di hulu. Jangan salahkan hujan ketika banjir memenuhi halaman rumah, memenuhi jalanan, meluapkan sungai, membuat macet. Salahkan mereka yang serakah menebang hutan, menggunduli gunung, mengganti kawasan karst menjadi kawasan tambang.
Di maros Pangkep terdapat dua perusahaan besar penghasil semen. Berkali kali aku menemukan kebanggan mereka di papan pinggir jalan Tol Makassar, kebanggaan atas pembangunan tol tersebut menggunakan salah satu merk semen (aku lupa namanya) gedung gedung di Makassar pun pasti menggunakan salah satu dari mereka. Jadi gedung gedung yang kita tempati berasal dari pegunungan karst yang ada di maros dan Pangkep.
Aku ingat pernah mengikuti diskusi singkat waktu ikut kegiatannya Korpala di maros. Menurut salah satu pembicara kawasan karst adalah penyimpan cadanngan air. Kita sama sama tahu hutan, pohon adalah pengikat dan penahan air. Sekarang aku berada di salah satu LSM Lingkungan yang ada di Indonesia, banjir telah menjadi masalah dan akan terus terjadi. Pulihkan Indonesia, demi keselamatan hidup rakyat.
Jangan menyalahkan hujan, pun membencinya. Aku masih mencintainya meski pakaianku telah seminggu tak juga mengering. Aku mencintai hujan walau aku mulai merindukan aktifitasku di luar rumah. Aku mencintai hujan  karena air adalah salah satu rahmat terbesar Tuhan dan tanpanya aku, kamu, mereka, kita tak akan bisa hidup.
Sabtu, 5 januari 2013
(Bersama kawan kawan di kost yang sibuk membersihkan rembesan air dikamarnya
Dan aku tetap mencintai hujan)