Hampir
seminggu saya berada disini. Kamar segi empat yang kusebut rumah. Makassar
sedang diguyur hujan dan aku malas keluar. Beberapa hari aku keluar namun
menghasilkan lelah yang berkepanjangan. Tubuh yang menghangat. Kepala yang berdenyut
keras seakan mau pecah. Menambah pakaian basah dan kotor. Jalanan macet karena
banjir dimana mana. Jipratan air hujan bercampur air got.
Aih,
tak ada yang menyenangkan, selain menikmati rinai hujan didalam kamar.
Mendengar music kesukaanku. Mendekam dibalik hangatnya selimut. Membaca hingga
mata terasa berat kemudian menggantinya dengan tontonan menarik dari film film
lebay yang ku copy dari teman temanku.
Makassar
diselimuti awan gelap dan hujan yang deras. Banjir dimana mana, hampir seluruh daerah di Sulsel. Sulsel dalam
Kondisi darurat ekologis, demikian kami menyebutnya. Adikku di kost-an mengirim
pesan singkat ia terjebak macet di Pangkep, sejak sore berteduh di Pertamina. Salah satu sungai
besar di Pangkep meluap. Katanya mereka mungkin tertahan sampai pagi. Seorang
kawan di Jeneponto menulis status di walk facebooknya, banjir menggenangi
kampungnya. Sisa tiga anak tangga dan rumah mereka akan tersapu air. Berita di
TV empat titik di kota Makassar paling parah, air setinggi dada orang dewasa.
Masyarakat harus dievakuasi menggunakan perahu karet. Kantorku juga tak luput,
Rumah Hijau kebanjiran, bukan hanya sehari, tapi dua hari penghuninya harus
sibuk membersihkan. Kostku juga tak mau kalah,
beberapa kamar harus ditongkrongi karena air meresap hingga ke tembok
tembok kamar. Untung kamarku tak jadi korban.
Seingatku
aku pernah merasakan hujan yang lebih parah. Ini baru dua hari hujan dan berita
banjir harus memenuhi semua ruang. Dunia maya, televise, radio, media cetak,
semua. Aku mengenang musim hujan yang pernah kulewati di Makassar. Dulu, kalau
musim hujan aku tak suka membawa tas dan segala jenis barang yang akan basah
ketika musim hujan. Aku selalu menggunakan pakaian kebangganku. Jeans, kaos
oblong, jaket dan sandal jepit serta beberapa lembar rupiah di kantong. Aku tak
mau repot, kalau mau pulang ke rumah aku tak punya beban. Tak ada yang aku
khawatirkan akan basah. Aku akan menikmati hujan dengan jalan kaki pulang ke
rumah.
Berhari
hari hujan juga tak membuatku takut. Aku jarang mendengar berita banjir. Satu
satunya banjir yang kudengar adalah dari rumahku di Sengkang. Selebihnya aku
menikmati musim hujan. Aku mencintai hujan, mencintai desember seperti lagunya
Efek Rumah Kaca.
Sekarang
musim hujan menjadi sangat menakutkan. Apakah curah hujannya yang bertambah?
Tidak, hujan masih sama, masih seperti dulu. Yang berubah adalah di sepanjang
perintis rawa rawa yang dulunya menjadi daerah resapan air, kini berganti
menjadi pohon pohon beton yang akan
membawa air masuk ke jalanan. Tak lagi banyak ruang untuk resapan air.
Pembangunan Makassar berlangsung terus menerus, pusat perbelanjaan, perumahan
mewah, perhotelan. Sayangnya pembangunan itu tak beriringan dengan perbaikan
drainase.
Kompleks
gubernuran yang menjadi salah satu pemukiman mewah di Makassar telah menjadi
langganan banjir 3 tahun terakhir. Rumah rumah mewah namun tanpa pembuangan
yang beres, tanpa taman hijau, semuanya telah menjadi taman beton.
Hujan
masih sama, yang beda adalah pohon pohon terus tergerus di hulu. Jangan
salahkan hujan ketika banjir memenuhi halaman rumah, memenuhi jalanan,
meluapkan sungai, membuat macet. Salahkan mereka yang serakah menebang hutan,
menggunduli gunung, mengganti kawasan karst menjadi kawasan tambang.
Di
maros Pangkep terdapat dua perusahaan besar penghasil semen. Berkali kali aku
menemukan kebanggan mereka di papan pinggir jalan Tol Makassar, kebanggaan atas
pembangunan tol tersebut menggunakan salah satu merk semen (aku lupa namanya)
gedung gedung di Makassar pun pasti menggunakan salah satu dari mereka. Jadi
gedung gedung yang kita tempati berasal dari pegunungan karst yang ada di maros
dan Pangkep.
Aku
ingat pernah mengikuti diskusi singkat waktu ikut kegiatannya Korpala di maros.
Menurut salah satu pembicara kawasan karst adalah penyimpan cadanngan air. Kita
sama sama tahu hutan, pohon adalah pengikat dan penahan air. Sekarang aku
berada di salah satu LSM Lingkungan yang ada di Indonesia, banjir telah menjadi
masalah dan akan terus terjadi. Pulihkan Indonesia, demi keselamatan hidup
rakyat.
Jangan
menyalahkan hujan, pun membencinya. Aku masih mencintainya meski pakaianku
telah seminggu tak juga mengering. Aku mencintai hujan walau aku mulai
merindukan aktifitasku di luar rumah. Aku mencintai hujan karena air adalah salah satu rahmat terbesar
Tuhan dan tanpanya aku, kamu, mereka, kita tak akan bisa hidup.
Sabtu, 5 januari 2013
(Bersama
kawan kawan di kost yang sibuk membersihkan rembesan air dikamarnya
Dan
aku tetap mencintai hujan)