Tuesday, March 27, 2012

Menyusuri Pulau Panikiang

Azan Ashar baru saja berlalu, ketika kami meninggalkan sungai Madello. Kami sempat tertahan di pinggir pantai. Air masih surut, hingga harus menunggu pasang untuk menggerakkan perahu. Upaya Ilo dan Pak Kama, pemilik perahu untuk mendorongnya berakhir sia-sia. Beberapa ratus meter didepan kami, juga ada beberapa perahu yang terdiam. Mereka mengalami hal yang sama. Air hanya sebatas lutut.
Matahari perlahan menarik diri ketika air mulai meninggi. Dengan sebilah bambu Ilo, menggerakkan perahu. Pelan-pelan, akhirnya perahu bisa bergerak, menuju Pulau Panikiang. Pulau itu bisa dilihat dari Madello. Butuh 15 menit untuk sampai di pulau itu, pada batas normal air laut. air laut akan surut sejak pukul 14.00 hingga 17.00, sehingga waktu-waktu itu masyarakat akan mengeluarkan perahu sebelum waktu tersebut.
Awalnya Pulau Panikiang merupakan gusung, gundukan pasir putih, seiring waktu pasir tersebut bertambah menjadi daratan yang bentuknya memanjang. Pelan-pelan tanaman bakau mulai tumbuh. Pulau tersebut kemudian menjadi tempat persinggahan pa’belle. Mereka akan berdiam semalam di pulau tersebut, sambil menunggu hasil belle.
“Masyarakat awalnya takut berdiam di pulau ini, dulunya disini banyak nano . Kalau ada yang datang ke pulau ini mereka akan diambil oleh nano. Tahun 40an waktu jaman penjajahan belanda A.Mattalatta pernah sembunyi di Tembo’e, sebelah timurnya sudah ada rumah waktu itu. Saya sudah generasi keempat yang menghuni pulau ini.” demikian cerita Pak Abu Nawar kepala Kampung tentang sejarah awal Pulau tersebut.
Paniki berarti kelelawar. Pulau tersebut dihuni ribuan kelelawar. Kelelawar hitam dan coklat. Kelelawar hitam menurut cerita Pak Abu Nawar, yang juga biasa dipanggil Pak Buna, kelelawar berasal dari Kab.Soppeng. ketika kelelawar di Soppeng menghilang, mereka bermigrasi ke Pulau Panikiang. Kelelawar di Panikiang belum dilindungi. Terkadang ada orang luar yang datang dan menembak kelelawar. Ada juga orang-orang yang menjaringnya. Kelelawar hitam sudah berkurang, kembali ke Soppeng. Di Kabupaten Soppeng telah ada peraturan yang melarang menembak atau mengambil kelelawar, kecuali untuk alasan tertentu dan seizin aparat yang berwenang. Kelelawar oleh banyak masyarakat digunakan sebagai obat asma.
Menurut Pak Buna yang juga imam di Kampung tersebut , bahwa kelelawar hitam tak seperti kelelawar coklat. Kelelawar hitam akan mematuk buah dan daun mangrove hingga habis. Mereka tak suka bernaung dibalik rimbunya dedaunan,hingga terkadang membunuh mangrovenya. Beda dengan kelelawar coklat yang suka dengan daun-daun yang rimbun hingga tak menganggu pertumbuhan mangrove.
Bakau yang ada di Pulau Panikiang, sangat lebat. Ketika pulau tersebut mulai di huni ada dua orang tokoh masyarakat yang menanami pulau tersebut dengan mangrove. Pak Dalle menanami mangrove di Tembo’e, sedangkan Pak Salle, orang tua Pak Buna menanam di kampung Masigi (Mesjid). Bakau tersebut dulunya dimanfaatkan masyarakat sebagai kayu bakar, ada juga yang memanfaatkan sebagai arang, hasilnya mereka jual ke daratan. Setelah adanya larangan penebangan mangrove, pekerjaan penduduk pulau bergantung pada hasil tangkapan. Pernah sekali Kepala Kampung menebang pohon bakau yang dia tanam, namun mendapat peringatan dari Badan Dinas Lingkungan Hidup. Beliau sebelumnya tidak mengetahui adanya peraturan tersebut, hingga surat pemberitahuan tersebut disampaikan kepadanya.
Ada beberapa jenis bakau yang hidup didaerah tersebut. Rhizopora (bangko/bakau), Avicennia (api-api), sala-sala. pada tahun 60an buah sala-sala oleh penduduk pulau diolah menjadi makanan pengganti nasi. Sala’-sala’ mengandung karbohidrat.
“waktu itu sangat sulit mendapatkan nasi, jadi masyarakat kadang makan buah sala’-sala’, tapi sekarang masyarakat sudah tidak makan lagi. Susah sekali di olah. Harus dikukus dulu, baru dikeringkan, setelah itu dimasak seperti nasi” tutur Pak Buna.
“Sekarang tidak adami yang makan, sudah banyak beras dijual” tambahnya kemudian.
Profesi nelayan telah dilakoni masyarakat sejak dulu. Dari Pa’belle, menjaring ikan terbang, namun sekarang sebagian nelayan menangkap cumi-cumi hingga ke pangkep. Ada juga warga pendatang dari Mandar. Mereka bisa tinggal di pulau itu hingga 3 bulan. Anak dan istri mereka juga diikutsertakan. Mereka mengambil ikan dengan menombaknya. Untuk menombak ikan nelayan tersebut harus menyelam dikedalaman air. Mereka mendapatkan ikan baronang, yang sebagian besar dikirim ke Mandar untuk dijual. Dalam pengirimannya mereka harus membayar 30.000,- untuk setiap gabusnya.
“saya pulang pergiji ke Mandar. Disana juga tinggal dipulau sama seperti disini. Anak-anak ada disana juga” ujar Ibu Eda, ketika kami berbincang-bincang usai FGD dengan beberapa ibu-ibu. Ibu Eda sehari-hari melakukan pekerjaan rumah, mencuci, memasak, mengambil air disumur. Istri-istri nelayan dari Mandar tidak memiliki pekerjaan sambilan untuk mengisi waktu lowong mereka. Salah satu alasannya juga karena mereka tak menetap di pulau tersebut.
Nelayan mandar awalnya hanya ada satu orang, namun karena hasil tangkapan disana, ikutlah beberapa keluarga. Mereka kemudian meminta izin pada kepala Kampung untuk membuat rumah di pulau tersebut. Rumah mereka, merupakan rumah-rumah kecil beratapkan daun nipah. Mereka pelan-pelan beradaptasi dengan masyarakat tetap yang menggunakan bahasa bugis.
Perempuan tanpa akses
Dalam forum FGD yang dilaksanakan, tim RCL Lemsa menggali informasi mengenai keseharian penduduk. Mereka masih malu-malu menjelaskan kehidupannya. Ibu Hadijah, seorang Janda tua hidup bersama anak perempuannya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya ibu Hadija mencari kerang. Ia satu-satunya pencari kerang di kampung tersebut.
“Tidak ada pekerjaan lain nak, jadi ini saja yang bisa dilakukan biar bisa makan” ujar Ibu Hadija.
Pernah juga ada tamu dari luar yang datang dan meminta dimasakkan Sala’-sala, namun sayangnya ibu Hasmawati yang memasaknya tak mencicipi sala’-sala tersebut. Penduduk Panikiang belum mengolah hasil dari hutan bakau. Parappa dan buah api-api juga banyak sekali disana. Hanya saja masyarakat tidak tahu bagaimana mengolahnya.
“oh, dimakan itu buah parappe?” tanya seorang ibu. Ibu-ibu di kampung tersebut, hampir tak memiliki aktivitas diluar pekerjaan rumahnya. Paling banyak masyarakat hanya memelihara itik atau ayam. Namun, kedua hewan piaraan tersebut tidak dapat berkembang biak dengan baik. pakan ayam dan itik masih mengandalkan dedak, yang sangat susah dipulau. Masalah lain yang diungkapkan peserta tersebut adalah susahnya air tawar di pulau tersebut. Satu-satunya sumber air dari sumur disamping mesjid.
“pagi-pagi kita harus berebut air, sedikit sekaliji air sumurnya. “ ujar iIbu Suhra, istri Pak Buna. untuk air minum, penduduk pulau harus mengambilnya di Takkalasi. “biasa juga kita bawa cucian kesana” tutur seorang Ibu peserta FGD.
Selain masalah air, persoalan kesehatan belum terjawab di pulau tersebut. Tidak adanya tenaga kesehatan yang tinggal di pulau tersebut, membuat perempuan mengalami kerentanan terhadap kondisi kesehatannya. Tak jarang perempuan harus melahirkan sebelum bidan desanya sampai di pulau.
“kalau mau imunisasi dan periksa kesehatan kita harus ke Madello” ujar Ibu hasmawati.
“bidan datang kesini kalau dipanggilpi, jadi kalau mau melahirkan biasa ditemani orang tuaji, kadang bayinya lahir duluan” tambahnya kemudian. Bayi yang baru lahir tak bisa langsung dibawa ke Madello untuk diperiksa ataupun pemberian imunisasi.
“nanti umur tiga bulan baru bayinya dibawa ke posyandu di Madello” ujar ibu Hasmawati. Akses untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatanpun sangat sulit. Ketika ada warga yang sakit mereka juga harus ke Madello untuk memeriksakan kesehatannya.
“dokter biasa datang, tapi setahun sekali. Kalau datang kita diperiksa semua dan tidak dibayarji” tambah seorang ibu peserta FGD.
Perempuan kampung Panikiang, masih sangat lugu, hidup untuk mendampingi suaminya. Dinas perikanan pernah membentuk kelompok perempuan, untuk membuat abon ikan, namun realisasinya belum ada hingga saat ini.
“dari bulan 3 dibentuk kelompoknya, tapi tidak pernahmi lagi datang itu orang perikanan.” Demikian seorang ibu bercerita. Satu-satunya kelompok di desa tersebut yang aktif adalah kelompok majlis ta’lim. Pada pembuatan kalender harian, sebagian ibu-ibu menghabiskan waktunya di siang.
Perempuan pulau yang tak mampu mandiri secara ekonomi, pun tak memiliki keterampilan akan mengalami kerentanan. Kerentanan tersebut terutama terjadi ketika suami atau laki-laki kepala kelurganya tak mampu lagi memberi nafkah. Ibu hadija menjadi potret masalah tersebut. Ketiadaan keterampilan dan akses membuatnya tak punya pilihan lain. Usia yang harusnya duduk tenang dirumah, tak bisa dirasakannya.
Beberapa Ibu terlihat mulai mengantuk, matahari diatas pulau. Tak lama lagi jemputan kami akan tiba. Ibu-ibu berpamitan. Pada pembuatan kalender harian tadi, mereka akan tidur siang. Aktivitas akan kembali dimulai sore nanti. Memasak dan mengurus anak-anak mereka.

Rumah sakit ke puskesmas

Karena tak pernah menetap disatu tempat, aku tak bisa melakukan pengobatan dengan baik. Sepulang dari selatan, aku mendapat panggilan ke utara. Etta dan ponakan kecilku mulai merindu, ada juga diskusi kecil dengan anak muda di Sengkang. Aku harus menyelesaikan beberapa urusan. Bergerak ke utara selalu menyenangkan, rumah itu adalah tempat ternyaman, walau masih saja omelan ibu tentang kerjaku yang tak jelas harus kudengar.
Sabtu adalah bagian dari akhir pekan yang tenang. Unit rawat jalan rumah sakit tak ramai. Tak ada pasien yang sedang menunggu. Aku sendirian. Hari itu aku mengomel sepanjang hari. Masuk ruang itu, tak mendapat sambutan menyenangkan. Beberapa petugas sibuk di depan meja registrasi. Aku mendekat, dan mereka memintaku menunggu. Aku tak tahu apa yang harus kutunggu, sementara tak seorangpun yang dilayaninya. Ah, mereka seharusnya mendahulukanku. 30 menit menunggu aku berpindah ke orang yang disebelahnya. Ia bertanya padaku apa aku membawa surat rujukan dan akan berobat ke dokter mana? Aku bilang ini pertama kalinya aku ke rumah sakit ini dan hendak periksa ke dokter ahli dalam. Dokternya sedang ke Makassar kalau tak salah. Ke dokter umum saja kalau begitu. Ia kembali memintaku menunggu. Lebih sejam menunggu aku mulai gelisah dan emosi. Sejak dulu aku tak pernah nyaman berada di rumah sakit, sehebat dan sebesar apapun rumah sakit itu, aku punya cerita tak mengenakkan.
Sepasangan suami istri masuk ke ruangan itu, mereka langsung menuju meja registrasi. Petugas itu bertanya dengan lembut mau ketemu dengan dokter siapa dan meminta kartu askes milik mereka. Ia menyapanya dengan sangat hormat. Aku sempat mendengar sapaan Pak Haji, dan emosiku tak lagi bisa tertahan. Aku mengajak adikku keluar setelah menatap tajam petugas itu.
Pukul 10 pagi lewat sedikit, puskesmas masih buka. Puskesmas tempe menjadi pilihan terdekat. Aku mau ketemu dokter hari ini. Secepatnya mengarah kesana. Berharap dokternya masih ada.
Beruntung dokternya masih ada. Didalam juga masih banyak pasien yang tersisa bersama anak-anak mereka. Mungkin lagi jadwal imunisasi. Aku segera ke tempat pendaftaran, namun selembar karton bertuliskan tutup terpampang. Harusnya masih buka. Aku berpindah ke sebelah dan menyampaikan protes, kenapa secepat itu mereka menutup pendaftaran padahal belum waktunya. Akhirnya orang itu menyuruh seseorang melayaniku. Satu urusan selesai, sekarang harus melangkah masuk ke ruang tunggu. Seorang teman lama kukenali sedang memeriksa tekanan darah pasien sebelum masuk ke ruang periksa dokter. Aku mendekat dan memberikan mapku. Ia tersenyum mengenaliku, kami sedikit berbincang, mengenang masa lalu ketika masih sekolah. aku satu sekolah di SMU dengannya, tapi kami beda kelas. Sekarang ia telah mempunyai dua orang anak dan menjadi PNS di puskesmas itu. ia langsung menyuruhku masuk ke ruang periksa. Katanya dokter tak lama lagi akan keluar.
Bercerita tentang keluhanku, dan akhinrya aku meminta ia melakukan pengecekan asam urat dalam darahku. Dari temanku aku mendengar ia mempunyai alat pengetes asam urat. Aku telah mencurigai penyakit ini , setelah mantra itu gagal mendeteksi penyakitku. Aku perlu bukti. Dari tes itu kadar asam uratku 6,7. Melewati ambang batas. Untuk perempuan kadar normal asam urat dalam darah adalah 2 -6. Pantas saja aku tak bisa berjalan. Dokter itu lebih baik dari petugas kesehatan yang kutemui hari ini. Beberapa anjuran makanan yang harus kuhindari ia sebutkan. Ia juga menyesal, karena usiaku masih sangat muda untuk menderita penyakit yang satu ini.
Dokter itu cukup menjadi pereda emosiku setelah tak mendapat pelayanan dari rumah sakit. Petugas terkadang merasa dirinya sangat hebat dan dibutuhkan, hingga ia bisa bersikap seenaknya pada pasien.

Monday, March 26, 2012

Dari alergi hingga penyakit dalam

Minggu kedua desember adalah awal aku mulai menginjakkan kaki untuk berobat sendiri ke petugas medis. Aku mulai dari mantri kesehatan, atas rekomendasi seorang kawan. Aku tak ingin memulai pada pengobatan yang langsung ke ahlinya, karena tubuh tak akan mempan pada obat-obatan ala puskesmas.
Semenjak di Barru badanku gatal dan membengkak. Aku juga flu dan batuk. Pesisir barat selalu terguyur hujan dan cuaca sangat dingin. Bukan sekali dua kali aku harus melawan hujan dan melanjutkan kerja. Akhirnya kuputuskan langsung kembali ke Makassar setelah membereskan kerjaku. Dua hari meringkuk di rumah hijau, tanpa punya kekuatan berjalan dan dilanda insomnia. Padahal aku punya jam tidur yang sangat teratur. Diatas jam 10 mataku akan terlelap hingga subuh.
Desember penuh dengan kesibukan. Berbagai agenda harus diselesaikan. Juga undangan jalan-jalan ke Butta Panrita Lopi, tak akan kulewatkan yang ini. Sejak kuliah, salah satu daerah yang paling ingin kukunjungi adalah daerah Kajang, walau pada akhirnya tak sampai kesana. Aku hanya sampai di Tamatto dengan berbagai alasan yang masuk akal.
Untuk kesana, aku ingin sehat agar tak melewatkan setiap moment berharga dalam setiap perjalanan yang kulakukan. Kali inipun aku tak ingin hal itu terjadi. aku harus sembuh dari segala penyakit. Aku masih punya satu minggu sebelum 18 desember.
Menjelang magrib wawan mengantarku ke tempat praktek langganannya. Katanya sejak kecil mantra kesehatan itu telah menjadi dokternya. Setiap sakit ia akan berobat kesana. Aku setuju dan berharap bisa cepat sembuh dari alergi ini. Tempat itu ternyata memang ramai. Sesak dengan pasien walau cuaca tetap saja tak bersahabat. 5 orang menunggu di depanku. Ada ibu yang membawa gadis ciliknya yang sedang flu, bapak-bapak, hingga anak muda dan mahasiswa. Tempat ini sepertinya bisa kupercaya.
Setelah bercerita tentang sakit yang kurasa. Ia memegang pergelangan kakiku dan sesekali menekannya. Aku alergi katanya, ia menyuruhku mengingat semua makanan yang kukonsumsi seminggu itu. aku bukan orang yang alergi pada makanan. Pola makanku selama di Barru mengikut pada pemilik rumah yang kutempati. Daerah pesisir selalu menjadi gudang seafood segar di tambah kangkung segar dari samping rumah. Satu-satunya hal baru yang kucicipi adalah telur asin rempah.
Ini bukan alergi makanan kataku. Mungkin hal lain, dalam seminggu aku bisa mendatangi tiga penjuru mata angin Sulawesi Selatan, dari utara, barat hingga ke selatan. Cuacanya tak ada yang sama. Utara sangat panas sedangkan barat dan selatan sedang terguyur hujan dan dingin. Apa karena itu tanyaku? Ia memberi beberapa obat dan sebuah bedak penahan alergi. Katanya aku akan baik dalam 3 hari.
Dengan rutin kuhabiskan obat itu, tentu saja aku ingin cepat sembuh dan memulai perjalanan baru. Tiga hari berlalu, tak ada perubahan, kakiku tetap bengkak dan sakit. Tetap saja susah tidur, untung flu dan batuknya mulai berkurang. Aku kembali ke mantri itu. Malam itu tak cukup ramai, aku tak harus menunggu lama. Setelah menyampaikan keluhanku, ia hanya menyarankan satu hal, meminta saya ke dokter ahli dalam. Aku pulang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Aku juga tak bisa langsung ke rumah sakit. Esok pagi harus berangkat ke selatan, perjalanan ini tak bisa ditunda dan aku melawan sakit.

Wednesday, March 21, 2012

Saatnya Uji Lab

Aku harus tes darah, itu hal yang paling ingin kulakukan sejak kejadian kemarin.
Untuk pertama kalinya aku sangat ingin tahu tentang sakitku. Selalu saja susah bangun pagi, apalagi ketika cuaca tak bersahabat. Tubuhku akan sangat berat untuk bergerak, bukan karena malas. Tapi memang terasa sakit. Pukul 10.00 hujan mereda. Adikku mengantarku ke ATM, dompetku tak terisi. Aku mengambil 6 lembar 50 ribuan. Aku pikir itu cukup untuk chek up. Rumah sakit terlihat sepi. Di bagian pendaftaran tak ada calon pasien yang mengantri. Aku sendirian. Nampak didalam beberapa petugas sedang cerita, ada juga yang membolak-balikkan berkas. Aku membunyikan bel di ruangan itu, tapi mereka malah menyuruhku menunggu. Fisikku sangat lemah, aku tak punya cukup tenaga untuk berdiri dan menunggu di ruang itu. aku mulai emosi, seharusnya pasien di nomorsatukan. Aku tak akan berkunjung ke rumah sakit, bila tak benar-benar sakit. Mungkin mereka akan membuat pasien menunggu hingga pingsan dan bahkan mungkin mati.
Akhirnya salah seorang petugas mendekat, menanyakan aku akan berobat ke poli mana? Interna aku menjawabnya singkat. Ia kemudian menanyakan nama, tanggal lahir, alamat dan kelengkapan lainnya. Ia juga menanyakan apa aku menggunakan askes atau yang lainnya. Umum kataku, jika menggunakan jamkesmas atau jamkesda, pelayanannya tentu berbeda pikirku, lagi pula sangat rumit, harus ke puskesmas dulu untuk periksa dan beruntung jika dikasih rujukan. Aku ingin tahu peyakitku secepat mungkin, dan jika menggunakan kesehatan gratis itu aku akan butuh waktu lama dan menghabiskan tenagaku.
Di depan poli interna pasien duduk berjejeran, kurang lebih 10 orang, dan tampaknya aku yang termuda. Beberapa orang tua Nampak di temani anaknya. Ah, penyakit tak lagi mengenal usia. Jika dulu beberapa penyakit hanya terjadi pada orang yang lebih tua, namun sekarang anak muda bahkan anak kecilpun bisa menderita.
Batuk dan flu juga telah menggangguku sejak pulang dari Barru kemarin, angin malam dan dingin sepertinya menjadi pemicu, tentu selain tubuhku yang memang sensitive. Beberapa mahasiswa keperawatan menempati kursi di ruang tunggu, mereka tak ada aktifitas. Rumah sakit ini tak seramai rumah sakit milik pemerintah. Rumah sakit swasta tentu lebih mahal, saya pun berpikir demikian. Tapi rumah sakit milik pemerintah sangat jauh dari tempatku, dan paling tidak aku berharap karena ia swasta aku akan mendapat pelayanan yang lebih baik.
Dalam mata kuliah manajemen pemasaran dulu. Rumah sakitpun adalah penjual, dan selayaknya penjual harusnya menjadikan pembeli sebagai ratu. Ada slogan seperti itu, dan setiap pedagang pasti tahu hal ini.
Kenapa sebagian petugas kesehatan tak bisa melakukannya, memberikan pelayanan yang ramah. Beberapa bulan lalu ini telah didiskusikan, bahwa kesembuhan pasien bukan hanya pada pengobatan fisik yang dilakukan, tapi secara psikis pelayanan yang memuaskan, petugas yang ramah akan member energy positif untuk kesembuhan itu.
Dua jam menunggu akhirnya giliranku datang juga. Aku masuk, seorang dokter dan 3 perawat. Menurutku dua diantara mereka sedang praktek. Setelah perawat memeriksa dan mencatat tekanan darahku, dokter itu mendekat. Memeriksa perutku dengan stetoskop dan menanyakan keluhanku. Tanganku selalu gemetaran. Ia mengatakan mungkin asupan kalsium. Ah, rasanya tidak, aku tahu makanan yang kumakan mampu memenuhi kebutuhan kalsiumku. Aku menceritakan semua gejala yang kurasakan, dan mengatakan aku ingin melakukan tes TSH. Aku ingin memastikan penyakitku. Diagnosis dokter terhadap penyakit adalah dengan mendengat keluhan pasiennya, setelah itu baru melakukan pemeriksaan. Satu-satunya hal yang bisa meyakinkanku adalah lewat tes darah itu.
Pernah beberapa kali aku mendatangi puskesmas yang berbeda, di Makassar dan Sengkang, aku menceritakan keluhan yang berbeda, dan aku akan mendapatkan obat yang berbeda pula. Diagnosis penyakit menjadi berbeda karena hal tersebut, jadi sesekali aku berpikir aku sebenarnya bisa mendiagnosis sendiri penyakitku dan menentukan obat apa yang hendak kukonsumsi. Tapi tidak, itu hanya pikiran nakal ketika kepalaku sudah mumet dan tak mendapat hal yang kuinginkan.
Akhirnya aku diantar ke lab oleh mahasiswa yang sedang praktek, sebelumnya perawat di ruang itu telah mengingatkanku untuk menanyakan biaya tes darahnya dulu. Katanya agak mahal. Aku melewati lorong rumah sakit ke arah dalam. Rumah sakit selalu menjadi momok yang menakutkan buat siapapun. Termasuk aku, masuk rumah sakit berarti harus menyiapkan uang yang tak sedikit. Tak akan masalah jika itu berlaku pada orang kaya, tapi bagaimana dengan kalangan menengah ke bawah? Aku termasuk orang yang tak akan mampu menanggung biayanya, tapi aku juga tak akan pasrah diperlakukan seenak hati oleh petugas. Aku manusia, punya akal dan rasa.
Untuk mengecek kadar TSH dalam darahku, aku harus mengeluarkan biaya 190.000,- , belum untuk mengecek kadar asam urat dalam darahku butuh 29.000,- aku jadi ingat dokter langgananku di puskesmas, untuk mengecek asam uratku aku hanya mengeluarkan 15.000 dari kocekku. Cukup jauh bedanya.
Aku takut disuntik, apalagi melihat darah dikeluarkan dari tubuhku. Petugas lab itu mengambil alat suntik baru. Ia memintaku menggulung lengan bajuku dan mencari urat nadi dilengan kiriku. Ah, cukup sakit dan setelah itu kulihat darah mengalir memenuhi tabung alat suntik itu. aku harus menunggu dua hari untuk menunggu hasil lab itu.
Selesai di lab aku kembali ke poli interna, tentu saja aku harus menyelesaikan pembayarannya. Tak seperti di rumah sakit umum yang akan kita bayar diawal pendaftaran. Pada rumah sakit swasta biaya jasa akan diberikan setelah semua proses kita lewati. Masalahnya adalah jika uang yang kita bawa tak mencukupi. Dan aku merasakannya hari itu. uang di dompetku tak cukup. Tak ada lagi biaya untuk menebus obat. Aku terlalu pede ke rumah sakit swasta dengan modal 300 ribu,hehehe…

Monday, March 19, 2012

Kenapa harus tes darah?

Matahari telah melewati puncaknya, perutku mulai teriak. Aku ingin memasak hari itu, namun didapur tak ada bahan sama sekali. Aku tak selalu memasak, hanya ketika menginginkannya, atau ketika pulang dari daerah dan aku rindu masakan tertentu yang tak ada di warung. Aku sangat suka ikan masak buatanku, tak hanya berbahan asam dan kunyit seperti yang ibu ajarkan, tapi menambahinya beberapa bumbu hingga aku menyukainya. Apalagi ditambah mangga mengkal yang di racca.
Aku tak hendak memasak itu. aku suka sayur tumis, tumis sawi pilihanku hari itu, dengan perkedel jagung. Aku meminta adekku ke pasar, ia memintaku menemaninya. Aku sedang tak ingin ke pasar, diluar sangat dingin, dan aku tak tahan dingin. Seorang kawan disampingku kuminta melakukannya, tapi juga tak mau. Ia malas, dingin , dan katanya giginya sedang sakit. Adikku juga tak mau pergi sendiri.
Aku mulai jengkel, tak ada yang mau melakukannya. Akhirnya uang itu kuambil dan masuk ke kamar. Pintu kamar kukunci, menutup jendela dan menurunkan tirai kamarku. Dekat jendelaku ada sebuah meja lengkap dengan kursinya, pagi biasa kuhabiskan disitu, sambil membaca atau sekedar menatap pagi. Aku sedih dan marah. Lapar yang melilit tak terasa lagi. Aku duduk dekat jendela, menahan emosiku.
Sejam terdiam disitu, dengan emosi yang meledak. Aku menangis, tak lagi karena marah pada mereka. Aku marah pada diriku sendiri, marah karena aku selalu tak jelas. Marah karena hal-hal kecil. Karena adikku sering menunda sesuatu yang kuminta, marah karena melihat adikku main game dan tak peduli padaku. Marah karena ia tak mau memasakkan mie untukku.
Aku mengingat semua hal yang kulakukan beberapa bulan terakhir, dan emosiku selalu meledak-ledak. Aku kadang menangis sendiri tanpa sebab, aku mengira itu karena sindrom pra menstruasi. beberapa kawan sering mengatakan kenapa aku jadi sangat sensitive, dan aku baru menyadarinya.
Sebuah pesan singkat masuk di hpku “baik-baikjeQ?”
Tangisku tambah membuncah hingga sarung yang kugunakan basah. Bulan lalu kakakku menegur, tanganku selalu gemetaran. Ketika chek up di dokter puskesmas, aku menanyakannya. Katanya gejala hipertiroid, dan untuk memastikannya harus melakukan tes darah.
Aku telah menjelajahi dunia maya untuk mengetahui penyakit itu. belajar gejala-gejalannya. Dan aku sadar, beberapa gejalanya ada padaku.
Aku sangat sensitive akhir-akhir ini, aku selalu tak tahan panas dan dengan gampang berkeringat padahal orang disampingku biasa-biasa saja. Aku juga tak bisa berkonsentrasi, dulu aku pikir ini karena aku cepat bosan dan ingin selalu mendapatkan hal-hal baru.
Aku menangis, karena merasa tubuhku tak bersahabat denganku, aku menangis menyadari jika usahaku menaikkan berat badanku tak pernah berhasil karena penyakit ini. Tapi hal yang paling berat dan tak kusukai adalah karena menjadi sensitive dan tak bisa menstabilkan emosiku. Aku tak ingin kerja-kerjaku terganggu, aku tak ingin membuat nyaman orang-orang yang ada di sekelilingku.
Aku mengirim pesan singkat, bercerita pada seorang kawan. Ia menguatkanku, dan memintaku bercerita pada orang-orang yang ada di rumah ini. Agar mereka tahu dan bisa memahamiku. Aku janji akan melakukannya setelah memastikan sakit ini. Aku melakukan tes darah. Aku tak ingin sakitku menyakiti orang lain. Aku bukan lagi gadis manja yang dulu suka mengeluh.

Sunday, March 18, 2012

Aku tak akan kalah (1)

Ini kisah tak menyenangkan, bukan untuk berbagi keluh, tapi agar kita sama-sama belajar. Pengalaman selalu menjadi guru yang baik, dan ini pelajaran berharga untukku, setelah segala teori yang kudapat dari bangku kuliah, atau buku-buku yang kubaca agar bisa berbagi ilmu dengan ibu-ibu di Barru dan anak muda penuh semangat di Sengkang.
Sejak mei bergabung pada program RCL, dan hal paling nyambung dengan teori kuliahku adalah pelajaran kesehatan reproduksi pada empat desa di kab.Pangkep dan Barru. aku juga belajar bersama 60 anak muda Sengkang pada sebuah pelajaran bernama Promosi Kesehatan.
Bicara kesehatan reproduksi pada kondisi pedesaan adalah hal yang sangat tabu. Berbicara bagaimana system reproduksi perempuan bekerja. Perempuan dan laki-laki, saling melengkapi. Perbedaan seks yang semua orang tau, tak perlu dijelaskan panjang bagaimana seorang laki-laki dan perempuan berbeda, atau apa perbedaan diantara keduanya. Bertanya gender atau seks pada Om Google, akan ada daftar panjang tulisan yang bisa kita buka.
Jadi aku tak perlu menjelaskan tentang hal itu. pada ibu-ibu pun demikian, mereka bisa membedakan sendiri. Mereka tau ketika anak gadis telah mengalami haid pertamanya maka mereka telah bisa melahirkan anak.
System reproduksi bermula ketika kita memasuki tahap pubertas, demikian kujelaskan pada mereka. Mendengar kata puber, mereka tau satu hal, pada masa itu anak mereka jatuh cinta, menyukai lawan jenisnya. Itu satu-satunya hal yang mereka tangkap. Padahal tahap pubertas tak sekedar ketika gadis mulai jatuh cinta.
Aku ingat seorang gadis 15 tahun yang ikut Sekolah perempuan tersipu malu-malu ketika aku membahas masalah ini. Pernah juga sekali aku bercerita pada etta tentang aktifitas yang kulakukan di Barru, belajar kesehatan reproduksi bersama ibu-ibu. Beliau menegurku, katanya apa aku tak malu membicarakan hal tersebut, padahal etta yang tak ikut Sekolah tersebut malu mendengarnya,hehehe…. Aku pernah merasakannya ketika kuliah. Merasa malu membicarakan tentang tubuh kita didepan orang banyak. Beberapa tahun lalu aku ikut Baksos Korpala di desa Erelembang, (aku juga menulis tentang hal tersebut). Waktu itu seorang ibu bertanya padaku, bayinya tak mau menyusu padanya, sementara mau menyusu pada perempuan lain. Ibu itu sangat sedih. Aku menjawabnya malu-malu dengan muka memerah.
Sebenarnya ini bukan ini yang hendak kucerita,hehehe…
Sekarang telah masuk bulan kedua, tubuhku sangat tak bersahabat. Terkena sedikit hujan dan cuaca dingin akan membuatku flu dan batuk akan mengganggu selama beberapa minggu. Payahnya batuk tak hanya membuat tidurku tak nyenyak, tapi mengganggu orang-orang yang ada didekatku. Sangat tidak enak. Sejak dulu, aku tak pernah peduli dengan tubuhku, apalagi hanya demam dan flu. Itu tak pernah mengganggu aktifitasku. Buatku kedua penyakit ini hanya angin lalu yang akan lewat dengan sendirinya. Hal ini membuatku tak peduli jika teman-temanku mengalami hal yang sama. Padahal setiap orang berbeda. Sekali waktu pacar sahabatku marah besar, aku sahabat yang tak peduli katanya. ketika sahabatku sedang demam, aku menganggapnya hal biasa, tak menanyakan keadaannya, apalagi menjenguknya. Kalau mengingat hal ini, aku akan minta maaf dalam hati.
Bertahun-tahun aku tak pernah mengkonsumsi obat-obat kimia. Aku tak ingin bergantung pada obat-obatan ketika sakit. Aku selalu membiarkan penyakit sembuh dengan sendirinya. Selain itu aku selalu berpikir sehat atau sakit adalah sugesti. Tetap saja aku merasa tubuhku baik-baik saja.

18 Maret 2012
pagi pertama setelah membaca kertas itu

Saturday, March 17, 2012

Seorang Nenek dan Aksi Tolak Kenaikan BBM

Hujan mengguyur Makassar pagi ini, cukup deras dan membuat mata enggan terbuka. yang lain masih terlelap ketika aku membuka mata. Paling nyaman melanjutkan tidur. Aku tak melakukannya, walau sangat menginginkannya. Hari ini aku harus chek up ke dokter, selain itu ada meeting di kantor. Tapi hal paling penting, 12 maret kemarin semua sepakat hari ini turun aksi menolak kenaikan BBM dengan estimasi massa 500 orang. Jam 10 pagi perjanjiannya. Berkumpul di bawah fly over.
Bukan hanya mahasiswa, ada buruh, miskin kota, petani, nelayan, semua bergabung. Tak ada sekat. Kenaikan BBM akan membunuh kita semua.
Jam 10 pagi hujan bukannya mereda, tapi bertambah deras. Dua minggu lalu, sebuah celoteh “ hujan dan revolusi”. Hujan terkadang menghambat kerja itu, walau petani selalu bergembira menyambut hujan.
Aku terlambat kesana bukan karena hujan, tapi kelamaan mengikuti prosedur rumah sakit, dan harus antri dengan pasien lainnya. Angka di Hpku telah melewati angka 11, menuju ke fly over segera. Untung kendaraan tak terlalu macet. Mungkin massanya belum seberapa, mungkin mereka terhalang hujan dan mahasiswa masih harus menunggu jam kuliah.
Bergantian perwakilan setiap organ orasi. Dengan semangat membara mereka menyerukan penolakan BBM. Dan aku tahu sebagian dari penumpang pete-pete akan mengomel karena terhambat. Supir pete-pete protes karena bensin mereka terbuang percuma menunggu macet. Orang-orang dengan mobil mewah pasti kalah, mungkin sebagian dari mereka berpikir, makanya jangan miskin, agar tak terpengaruh pada kenaikan BBM. Sesekali aku melihat muka mereka tak bersahabat melintasi kami.
Aku menjadi lebih bersabar ketika menumpang di pete-pete dan mendengar omelan itu. sejak dulu aku menjadi pelaku, hingga saat ini aksi jalanan masih menjadi pilihan perlawanan, tentu dengan hal lainnya.
Aku tetap menjadi bagian dari aksi ini, walau tak lagi seperti dulu, berdiri dibarisan paling depan, membagikan selebaran dan pernyataan sikap. Aku memilih duduk diatas sebuah motor milik massa. Seorang nenek melintas ditengah kami. Sejenak ia singgah dan membaca spanduk hijau bertuliskan penolakan BBM dan kenaikan TDL. Raut mukanya menyisakan cerita tentang kerasnya hidup. Ia tak lagi berjalan sempurna, sebelah kakinya sedikit terseok. Ia melintas didepanku dan berhenti pada sebuah kardus bekas teh gelas yang berisi ribuan. Di bagian depannya ada tulisan “logistic aksi” dibuat untuk membeli air kemasan pelepas dahaga setelah teriak. Nenek itu lama berdiri disana, ia membuka dompetnya, mencari sesuatu. Dari atas motor kuperhatikan tingkahnya. Juga kulihat pada dompet yang dibuka lebih banyak berisi kertas putih. Lembar berharga itu tak banyak disana.
Ia mengambil selembar dua ribuan yang terlipat dengan baik, diantara kertas putih itu, memasukkannya dengan pelan kedalam kotak, dan berlalu dengan sumringah.
“ia mungkin malaikat” kelakar seorang teman.
Ada haru yang menyusup. Sebagian orang menganggap aksi jalanan tak berguna, juga ada banyak orang yang mencela aksi kami, namun selalu saja ada orang-orang yang peduli. Angka dua ribu mungkin tak berarti sama sekali buat mereka. Tapi aku, kita, dan mereka telah kalah oleh nenek itu.
Pemerintah telah mencekik rakyatnya dengan menaikkan BBM dengan alasan menghindari pembengkakan anggaran Negara, padahal keuntungan yang tak sedikitpun mereka dapatkan dari kenaikan harga minyak. Tapi nenek itu telah mengajarkan pada kita bagaimana mengorbankan hartanya untuk orang-orang yang ada disekitarnya. Seharusnya pemerintah juga belajar pada Nenek itu.

“Maka bangkitlah rakyat Indonesia untuk merebut kembali lading-ladang minyak yang telah dikuasai asing. Tegakkan kedaulatan energy ditangan rakyat Indonesia karena sector energy adalah milik rakyat itu sendiri, bukan orang asing. “

(segala hormat dan takzim untukmu, walau tak mengenalmu, tapi kau telah memberiku pelajaran berharga hari ini)

Rumah Rakyat, 15 Maret 2012

Thursday, March 8, 2012

Surat untuk Etta

Untuk bunda tercinta…
Segala takzim dan hormatku untukmu…

Ibu…
Hari ini bukan hari ibu, tapi aku ingin menulis surat untukmu. Aku ingin membacakannya didepan semua orang untuk menghormati segala upaya yang telah kau perbuat untukku. hari ini, hari perempuan. Jutaan perempuan di dunia merayakannya, merayakan kemerdekaan mereka. Di Makassar ada beberapa aksi, perempuan, anak-anak, mahasiswa semua bergabung. Aku tak berada diantara mereka.
Ibu, hari ini aku ingin menulis surat untukmu, menceritakan seluruh kesah yang membuatku sesak.
Bbeberapa hari yang lalu seorang kawan mengirim pesan singkat untukku. “apa persiapan untuk hari perempuan?” , aku tak punya persiapan apapun bu… bahkan untuk sebuah tulisan. Aku bingung, apa yang harus aku persiapkan untuk hari perempuan. Hari ini aku hanya ingin bercerita padamu bu… perempuan terkuat yang pernah kutemui.
Ibu, aku tahu aku bukan siapa-siapa bahkan tak punya hak atas diriku sendiri, tapi kini semuanya telah berubah. Aku bukan lagi anak pingitan yang hanya menunggu jodoh datang dan dinikahkan. Aku ingat bagaimana dulu aku dilarang kuliah hingga semua orang menganggapku pembangkang. Aku bukan gadis baik-baik katanya. Ibu, engkau telah mendidikku menjadi perempuan. aku telah menjadi perempuan mandiri. Ibu, aku harus berterima kasih padamu atas kebebasan dan kepercayaan yang telah kau berikan padaku. Kepercayaan yang sangat mahal bu. Aku tak akan pernah menukarnya dengan apapun.
Aku butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun itu. Aku butuh waktu setahun untuk mendapatkan ijin kuliah, delapan tahun meyakinkanmu untuk memilih jodohku sendiri, dan aku tak akan menyiakan semua kesempatan itu bu. Aku mencintaimu dan sangat bersyukur dilahirkan dari rahimmu.
Ibu aku sangat menyayangimu. Ibu biarkan aku menjadi diriku sendiri untuk selamanya. Ibu aku tak butuh gaji yang tinggi atau pekerjaan tetap yang mendapatkan gaji rutin setiap akhir bulan. aku tak butuh calon suami yang kaya raya tapi membelengguku. aku tak butuh karier tinggi hingga membuatku melupakan keluargaku. Aku hanya ingin menjadi sepertimu, melahirkan perempuan-perempuan kuat yang akan mengubah dunia….
Selamat hari perempuan bu…

Makassar, 8 Maret 2012



Hormatku
anakmu

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

“setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin (UU No.39 tentang HAM pasal 9)”

Dari banyaknya jenis kekerasan yang terjadi , kekerasan dalam rumah tangga merupaka salah satu kekerasan yang paling sering terjadi.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terjadi kepada siapa saja didalam rumah tangga, termasuk istri, suami, anak, mertua, keponakan, dan bahkan pembantu. Namun dalam banyak literature ditemukan bahka KDRT lebih difokuskan pada perempuan saja.
Jika dirunut secara historis, kekerasan terhadap perempuan merupakan perwujudan ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan hambatan bagi kemajuan mereka. Berbagai fakta sejarah peradaban dunia telah merekam betapa perempuan seringkali diperlakukan secara tidak manusiawi dan menjadi objek eksploitasi oleh sebagian besar kaum laki-laki.
Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib wanita sangat menyedihkan. Mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak waris pun tidak ada. Pada puncak peradaban Yunani, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan sastra/seni Patung-patung telanjang yang terlihat di negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu. Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah "Dewi Cinta" yang terkenal dalam peradaban Yunani
Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki. Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
Dalam sejarah peradaban Hindu, hingga Abad ke 6 Masehi, perempuan dianggap sebagai sesajen bagi para dewa. Begitu juga dengan sejarah peradaban Yahudi, Pra abad ke-6, perempuan diangap sebagai sumber laknat dan malapetaka karena menyebabkan Adam terusir dari surga. Hal yang sama juga pernah terjadi dalam sejarah peradaban besar seperti Arab, Hindu, dan China, perempuan dianggap sebagai makhluk tak berguna, remeh, bahkan mereka berhak dibunuh. Sebelum datangnya Islam perempuan di Arab tidak mempunyai posisi tawar. Mereka tak jauh beda dengan binatang. Mempunyai anak perempuan justru menjadi aib pada saat itu dan harus dikuburkan.
Ringkasnya, fakta tindak kekerasan terhadap perempuan setua dengan lahirnya peradaban manusia. Namun, ironisnya kekerasan terhadap perempuan ternyata berlaku hingga zaman modern. Studi kasus yang dilakukan oleh beberapa lembaga independen menyatakan bahwasanya Abad Modern kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik, psikis maupun seksual masih marak terjadi khususnya dalam ranah domestik. Fakta inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
’kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya kesalahan laki-laki dan perempuan tapi kesalahan sejarah” ungkap Sjamsiah Achmada komisioner Komnas Perempuan ketika bertandang ke Makassar 4 april kemarin.
Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut UU PDKRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
Studi mengenai KDRT yang dilakukan oleh WHO di 10 negara, yaitu: bangladesh, brazil, ethiopia, jepang, namibia, peru, samoa, serbia-motengro, thailand, dan tanzania menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan suami merupakan bentuk kekerasan yang paling sering terjadi pada kehidupan seorang wanita, bahkan lebih sering dibandingkan kekerasan atau perkosaan yang dilakukan oleh orang asing maupun orang yang dikenal. Studi yang melibatkan lebih dari 24.000 wanita sebagai responden tersebut melaporkan adanya dampak besar dari kekerasan fisik dan seksual oleh suami dan pasangannya. Fenomena ini telah menimbulkan dampak pada status kesehatan wanita diseluruh dunia. Bahkan jumlah pasangan yang melakukan kekerasan terhadap perempuan lebih banyak lagi. Studi ini menunjukkan bahwa peempuan jauh lebih berisiko dirumah dibandingkan dijalan, dan iniberpengaruh langsung terhadap kesehatan perempuan.
Berdasarkan studi kasus yang dilakukan oleh Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2006, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia setiap tahunnya tercatat mengalami peningkatan yang cukup tajam. Pada tahun 2005 kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 20.391, naik 45 persen dari tahun 2004 sebanyak 14.020. Sebelumnya, tahun 2003 sebanyak 5.934 kasus, dan tahun 2002 sebanyak 5.163 kasus.
Dari total 20.391 kasus yang terjadi pada tahun 2005, 82 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dari berbagai kasus tersebut, kekerasan terhadap perempuan tidak mengenal latar belakang umur, pekerjaan, dan jenis pendidikan. Korban kekerasan yang berusia 25 hingga 40 tahun dengan jumlah kasus 4.506. Pendidikan tinggi SLTA dengan 2.649 kasus. Sedangkan yang paling banyak menimpa ibu rumah tangga, yakni 9.298 kasus atau 45 persen dari seluruh kasus.
Penyebab utama untuk tahun 2008 yang ditemukan oleh Komnas Perempuan karena faktor ekonomi. ” cikal bakal KDRT itu dari faktor ekonomi” lanjut Sjamsiah Achmad.
Bila dilihat secara hitungan angka. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, kasus KDRT dalam keluarga miskin banyak dipicu oleh hal ini.
Akar masalah
Kasus Kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan serius yang disebabkan oleh berbagai hal yang berkait erat satu sama lainnya. Musdah Mulia dalam Muslimah Reformis (Mizan, 2004) berpendapat tentang akar masalah kekerasan terhadap perempuan. Pertama, ketimpangan gender. Laki-laki dianggap sebagai makhluk superior, lebih cakap dan lebih hebat dari pada perempuan yang dianggap makhluk inferior, lemah, kelas dua. Ketidakseimbangan relasi kekuasaan inilah yang menyebabkan perempuan kerap tidak berdaya dihadapan lakli-laki.
Kedua, penegakan hukum yang lemah. Meskipun berbagai peraturan telah dibuat, salah satu contohnya adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), namun dalam praktiknya belum bisa menekan angka kekerasan dalam rumah tangga. UU KDRT memiliki kelemahan di tingkat pelaksanaan karena kurang adanya sosialisi ke seluruh lapisan masyarakat bawah.
Ketiga, dominasi nilai-nilai patriarkhi. Konstruk budaya masyarakat melalui sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berlaku secara alamiah dan didukung dengan penilaian agama dan hukum adat yang memberikan otoritas lebih kepada laki-laki daripada perempuan mengakibatkan perempuan terpinggirkan dan menjadi objek kekerasan kaum laki-laki.
Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif jender adalah untuk memberikan apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan tersebut terletak pada kekuasaan hubungan yang tidak seimbang antara pria dan perempuan yang terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh pria. Sebagaimana disampaikan oleh Sally E. Merry, “Kekerasan adalah… suatu tanda dari perjuangan untuk memelihara beberapa fantasi dari identitas dan kekuasaan. Kekerasan muncul, dalam analisa tersebut, sebagai sensitifitas jender dan jenis kelamin”
KDRT memposisikan pria jauh lebih berkuasa dibanding wanita. Ada sikap egois yang terbangun untuk memperlihatkan kekuatan dan kelemahan perempuan. Perempuan yang masih dianggap sebagai orang kedua/pelayan dalam rumah tangga membuatnya rentan mendapatkan perlakuan keras oleh suaminya.
Perjuangan melawan KDRT
‘Perjuangan’ penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasar sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia layanan korban kekerasan. Di Provinsi Banten misalnya, hingga pertengahan tahun 2004 terdapat 5.426 perempuan yang dilaporkan menjadi korban tindak kekerasan (KTK). 90 persen diantaranya menjadi korban kekerasan karena berkerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri (Tempo Interaktif, 3/5/04).
Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
Di Makassar perjuangan melawan KDRT banyak dilakukan oleh aktivis-aktivis perempuan yang tergabung dalam LSM yang khusus menangani masalah perempuan. Akibatnya kemudian KDRT masih dianggap sebagai masalah perempuan saja. Dalam upaya penyelesaian kasus KDRT harusnya tiadk dipahami oleh satu pihak saja. Tapi pria juga punya tangguing jawab untuk melakukannya.
KDRT adalah masalah bersama, jadi tidak serta merta melmparkan kesalahan pada satu pihak saja. Untuk menghapus KDRT yang harus dilakukan adalah bagaimana menjadikan perempuan dan laki-laki sebagai mitra. Nah ini harus dipahami bersama. Perjuangan yang hanya dilakukan oleh perempuan tak akan selesai jika tak ada kesadaran dari pria.
Peran Paralegal
Persolan Rumah Tangga sampai saat ini oleh sebagian kalangan masih ditabukan. Urusan rumah tangga adalah bagian dari dapur rumah tangga. Mengekspos keluar berarti membuka aib keluarga. Masyarakat timur sampai sekarang ini masih menganut paham nrimo, pelayan bagi suaminya. Hali ini juga diperkuat oleh dalil-dalil agama yang tidak pernah diselesaikan.
Mengatasi ketidakterbukaan masyarakat adalah peran paralegal untuk melakukan pendekatan. Paralegal sebagai bagian tak terpisah dari masyarakat memberi akses yang lebih luas untuk menyelesaikan masalah-maslaah KDRT yang dihadapi dilapangan. Kasus KDRT dikatakan meningkat setelah adanya UU PKDRT, hal ini seperti fenomena gunung es yang baru kelihatan setelah sekian lama.
UU PKDRT sudah ada sejak tahun 2004 tapi dalam implikasinya belum ada hasil yang nampak. ”perempuan harus nurut sama suaminya, dalam islam juga seperti itu” ungkap Ika (mahasiswa semester akhir).
Dalam buku nikah sebenarnya ada pasal-pasal hak dan kewajiban istri, namun tidak pernah dibaca. Buku nikah hanya menjadi prasyarat pernikahan, padahal esensi hubungan suami istri tercantum dalam buku tersebut.
Satu-satunya perempuan di Indonesia yang pernah bekerja di PBB Sjamsiah Ahmad mengatakan ”Memberdayakan NGO dan juga pemerintah yangharus dilakukan. Yang paling punya andil adalah paralegal. Masyarakat tahu ada UUPDKRT tapi banyak yang tidak paham’. Lanjutnya” kita tidak perlu berkoar-koar di luar negeri, tapi menyadarkan masyarakat yang tidak tahu.”

salah satu tulisan yang pernah dimuat di buletin "Paralegal" LBH Makassar