Tuesday, March 27, 2012

Menyusuri Pulau Panikiang

Azan Ashar baru saja berlalu, ketika kami meninggalkan sungai Madello. Kami sempat tertahan di pinggir pantai. Air masih surut, hingga harus menunggu pasang untuk menggerakkan perahu. Upaya Ilo dan Pak Kama, pemilik perahu untuk mendorongnya berakhir sia-sia. Beberapa ratus meter didepan kami, juga ada beberapa perahu yang terdiam. Mereka mengalami hal yang sama. Air hanya sebatas lutut.
Matahari perlahan menarik diri ketika air mulai meninggi. Dengan sebilah bambu Ilo, menggerakkan perahu. Pelan-pelan, akhirnya perahu bisa bergerak, menuju Pulau Panikiang. Pulau itu bisa dilihat dari Madello. Butuh 15 menit untuk sampai di pulau itu, pada batas normal air laut. air laut akan surut sejak pukul 14.00 hingga 17.00, sehingga waktu-waktu itu masyarakat akan mengeluarkan perahu sebelum waktu tersebut.
Awalnya Pulau Panikiang merupakan gusung, gundukan pasir putih, seiring waktu pasir tersebut bertambah menjadi daratan yang bentuknya memanjang. Pelan-pelan tanaman bakau mulai tumbuh. Pulau tersebut kemudian menjadi tempat persinggahan pa’belle. Mereka akan berdiam semalam di pulau tersebut, sambil menunggu hasil belle.
“Masyarakat awalnya takut berdiam di pulau ini, dulunya disini banyak nano . Kalau ada yang datang ke pulau ini mereka akan diambil oleh nano. Tahun 40an waktu jaman penjajahan belanda A.Mattalatta pernah sembunyi di Tembo’e, sebelah timurnya sudah ada rumah waktu itu. Saya sudah generasi keempat yang menghuni pulau ini.” demikian cerita Pak Abu Nawar kepala Kampung tentang sejarah awal Pulau tersebut.
Paniki berarti kelelawar. Pulau tersebut dihuni ribuan kelelawar. Kelelawar hitam dan coklat. Kelelawar hitam menurut cerita Pak Abu Nawar, yang juga biasa dipanggil Pak Buna, kelelawar berasal dari Kab.Soppeng. ketika kelelawar di Soppeng menghilang, mereka bermigrasi ke Pulau Panikiang. Kelelawar di Panikiang belum dilindungi. Terkadang ada orang luar yang datang dan menembak kelelawar. Ada juga orang-orang yang menjaringnya. Kelelawar hitam sudah berkurang, kembali ke Soppeng. Di Kabupaten Soppeng telah ada peraturan yang melarang menembak atau mengambil kelelawar, kecuali untuk alasan tertentu dan seizin aparat yang berwenang. Kelelawar oleh banyak masyarakat digunakan sebagai obat asma.
Menurut Pak Buna yang juga imam di Kampung tersebut , bahwa kelelawar hitam tak seperti kelelawar coklat. Kelelawar hitam akan mematuk buah dan daun mangrove hingga habis. Mereka tak suka bernaung dibalik rimbunya dedaunan,hingga terkadang membunuh mangrovenya. Beda dengan kelelawar coklat yang suka dengan daun-daun yang rimbun hingga tak menganggu pertumbuhan mangrove.
Bakau yang ada di Pulau Panikiang, sangat lebat. Ketika pulau tersebut mulai di huni ada dua orang tokoh masyarakat yang menanami pulau tersebut dengan mangrove. Pak Dalle menanami mangrove di Tembo’e, sedangkan Pak Salle, orang tua Pak Buna menanam di kampung Masigi (Mesjid). Bakau tersebut dulunya dimanfaatkan masyarakat sebagai kayu bakar, ada juga yang memanfaatkan sebagai arang, hasilnya mereka jual ke daratan. Setelah adanya larangan penebangan mangrove, pekerjaan penduduk pulau bergantung pada hasil tangkapan. Pernah sekali Kepala Kampung menebang pohon bakau yang dia tanam, namun mendapat peringatan dari Badan Dinas Lingkungan Hidup. Beliau sebelumnya tidak mengetahui adanya peraturan tersebut, hingga surat pemberitahuan tersebut disampaikan kepadanya.
Ada beberapa jenis bakau yang hidup didaerah tersebut. Rhizopora (bangko/bakau), Avicennia (api-api), sala-sala. pada tahun 60an buah sala-sala oleh penduduk pulau diolah menjadi makanan pengganti nasi. Sala’-sala’ mengandung karbohidrat.
“waktu itu sangat sulit mendapatkan nasi, jadi masyarakat kadang makan buah sala’-sala’, tapi sekarang masyarakat sudah tidak makan lagi. Susah sekali di olah. Harus dikukus dulu, baru dikeringkan, setelah itu dimasak seperti nasi” tutur Pak Buna.
“Sekarang tidak adami yang makan, sudah banyak beras dijual” tambahnya kemudian.
Profesi nelayan telah dilakoni masyarakat sejak dulu. Dari Pa’belle, menjaring ikan terbang, namun sekarang sebagian nelayan menangkap cumi-cumi hingga ke pangkep. Ada juga warga pendatang dari Mandar. Mereka bisa tinggal di pulau itu hingga 3 bulan. Anak dan istri mereka juga diikutsertakan. Mereka mengambil ikan dengan menombaknya. Untuk menombak ikan nelayan tersebut harus menyelam dikedalaman air. Mereka mendapatkan ikan baronang, yang sebagian besar dikirim ke Mandar untuk dijual. Dalam pengirimannya mereka harus membayar 30.000,- untuk setiap gabusnya.
“saya pulang pergiji ke Mandar. Disana juga tinggal dipulau sama seperti disini. Anak-anak ada disana juga” ujar Ibu Eda, ketika kami berbincang-bincang usai FGD dengan beberapa ibu-ibu. Ibu Eda sehari-hari melakukan pekerjaan rumah, mencuci, memasak, mengambil air disumur. Istri-istri nelayan dari Mandar tidak memiliki pekerjaan sambilan untuk mengisi waktu lowong mereka. Salah satu alasannya juga karena mereka tak menetap di pulau tersebut.
Nelayan mandar awalnya hanya ada satu orang, namun karena hasil tangkapan disana, ikutlah beberapa keluarga. Mereka kemudian meminta izin pada kepala Kampung untuk membuat rumah di pulau tersebut. Rumah mereka, merupakan rumah-rumah kecil beratapkan daun nipah. Mereka pelan-pelan beradaptasi dengan masyarakat tetap yang menggunakan bahasa bugis.
Perempuan tanpa akses
Dalam forum FGD yang dilaksanakan, tim RCL Lemsa menggali informasi mengenai keseharian penduduk. Mereka masih malu-malu menjelaskan kehidupannya. Ibu Hadijah, seorang Janda tua hidup bersama anak perempuannya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya ibu Hadija mencari kerang. Ia satu-satunya pencari kerang di kampung tersebut.
“Tidak ada pekerjaan lain nak, jadi ini saja yang bisa dilakukan biar bisa makan” ujar Ibu Hadija.
Pernah juga ada tamu dari luar yang datang dan meminta dimasakkan Sala’-sala, namun sayangnya ibu Hasmawati yang memasaknya tak mencicipi sala’-sala tersebut. Penduduk Panikiang belum mengolah hasil dari hutan bakau. Parappa dan buah api-api juga banyak sekali disana. Hanya saja masyarakat tidak tahu bagaimana mengolahnya.
“oh, dimakan itu buah parappe?” tanya seorang ibu. Ibu-ibu di kampung tersebut, hampir tak memiliki aktivitas diluar pekerjaan rumahnya. Paling banyak masyarakat hanya memelihara itik atau ayam. Namun, kedua hewan piaraan tersebut tidak dapat berkembang biak dengan baik. pakan ayam dan itik masih mengandalkan dedak, yang sangat susah dipulau. Masalah lain yang diungkapkan peserta tersebut adalah susahnya air tawar di pulau tersebut. Satu-satunya sumber air dari sumur disamping mesjid.
“pagi-pagi kita harus berebut air, sedikit sekaliji air sumurnya. “ ujar iIbu Suhra, istri Pak Buna. untuk air minum, penduduk pulau harus mengambilnya di Takkalasi. “biasa juga kita bawa cucian kesana” tutur seorang Ibu peserta FGD.
Selain masalah air, persoalan kesehatan belum terjawab di pulau tersebut. Tidak adanya tenaga kesehatan yang tinggal di pulau tersebut, membuat perempuan mengalami kerentanan terhadap kondisi kesehatannya. Tak jarang perempuan harus melahirkan sebelum bidan desanya sampai di pulau.
“kalau mau imunisasi dan periksa kesehatan kita harus ke Madello” ujar Ibu hasmawati.
“bidan datang kesini kalau dipanggilpi, jadi kalau mau melahirkan biasa ditemani orang tuaji, kadang bayinya lahir duluan” tambahnya kemudian. Bayi yang baru lahir tak bisa langsung dibawa ke Madello untuk diperiksa ataupun pemberian imunisasi.
“nanti umur tiga bulan baru bayinya dibawa ke posyandu di Madello” ujar ibu Hasmawati. Akses untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatanpun sangat sulit. Ketika ada warga yang sakit mereka juga harus ke Madello untuk memeriksakan kesehatannya.
“dokter biasa datang, tapi setahun sekali. Kalau datang kita diperiksa semua dan tidak dibayarji” tambah seorang ibu peserta FGD.
Perempuan kampung Panikiang, masih sangat lugu, hidup untuk mendampingi suaminya. Dinas perikanan pernah membentuk kelompok perempuan, untuk membuat abon ikan, namun realisasinya belum ada hingga saat ini.
“dari bulan 3 dibentuk kelompoknya, tapi tidak pernahmi lagi datang itu orang perikanan.” Demikian seorang ibu bercerita. Satu-satunya kelompok di desa tersebut yang aktif adalah kelompok majlis ta’lim. Pada pembuatan kalender harian, sebagian ibu-ibu menghabiskan waktunya di siang.
Perempuan pulau yang tak mampu mandiri secara ekonomi, pun tak memiliki keterampilan akan mengalami kerentanan. Kerentanan tersebut terutama terjadi ketika suami atau laki-laki kepala kelurganya tak mampu lagi memberi nafkah. Ibu hadija menjadi potret masalah tersebut. Ketiadaan keterampilan dan akses membuatnya tak punya pilihan lain. Usia yang harusnya duduk tenang dirumah, tak bisa dirasakannya.
Beberapa Ibu terlihat mulai mengantuk, matahari diatas pulau. Tak lama lagi jemputan kami akan tiba. Ibu-ibu berpamitan. Pada pembuatan kalender harian tadi, mereka akan tidur siang. Aktivitas akan kembali dimulai sore nanti. Memasak dan mengurus anak-anak mereka.