Thursday, March 8, 2012

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

“setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin (UU No.39 tentang HAM pasal 9)”

Dari banyaknya jenis kekerasan yang terjadi , kekerasan dalam rumah tangga merupaka salah satu kekerasan yang paling sering terjadi.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terjadi kepada siapa saja didalam rumah tangga, termasuk istri, suami, anak, mertua, keponakan, dan bahkan pembantu. Namun dalam banyak literature ditemukan bahka KDRT lebih difokuskan pada perempuan saja.
Jika dirunut secara historis, kekerasan terhadap perempuan merupakan perwujudan ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan hambatan bagi kemajuan mereka. Berbagai fakta sejarah peradaban dunia telah merekam betapa perempuan seringkali diperlakukan secara tidak manusiawi dan menjadi objek eksploitasi oleh sebagian besar kaum laki-laki.
Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib wanita sangat menyedihkan. Mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak waris pun tidak ada. Pada puncak peradaban Yunani, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan sastra/seni Patung-patung telanjang yang terlihat di negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu. Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah "Dewi Cinta" yang terkenal dalam peradaban Yunani
Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki. Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
Dalam sejarah peradaban Hindu, hingga Abad ke 6 Masehi, perempuan dianggap sebagai sesajen bagi para dewa. Begitu juga dengan sejarah peradaban Yahudi, Pra abad ke-6, perempuan diangap sebagai sumber laknat dan malapetaka karena menyebabkan Adam terusir dari surga. Hal yang sama juga pernah terjadi dalam sejarah peradaban besar seperti Arab, Hindu, dan China, perempuan dianggap sebagai makhluk tak berguna, remeh, bahkan mereka berhak dibunuh. Sebelum datangnya Islam perempuan di Arab tidak mempunyai posisi tawar. Mereka tak jauh beda dengan binatang. Mempunyai anak perempuan justru menjadi aib pada saat itu dan harus dikuburkan.
Ringkasnya, fakta tindak kekerasan terhadap perempuan setua dengan lahirnya peradaban manusia. Namun, ironisnya kekerasan terhadap perempuan ternyata berlaku hingga zaman modern. Studi kasus yang dilakukan oleh beberapa lembaga independen menyatakan bahwasanya Abad Modern kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik, psikis maupun seksual masih marak terjadi khususnya dalam ranah domestik. Fakta inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
’kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya kesalahan laki-laki dan perempuan tapi kesalahan sejarah” ungkap Sjamsiah Achmada komisioner Komnas Perempuan ketika bertandang ke Makassar 4 april kemarin.
Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut UU PDKRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
Studi mengenai KDRT yang dilakukan oleh WHO di 10 negara, yaitu: bangladesh, brazil, ethiopia, jepang, namibia, peru, samoa, serbia-motengro, thailand, dan tanzania menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan suami merupakan bentuk kekerasan yang paling sering terjadi pada kehidupan seorang wanita, bahkan lebih sering dibandingkan kekerasan atau perkosaan yang dilakukan oleh orang asing maupun orang yang dikenal. Studi yang melibatkan lebih dari 24.000 wanita sebagai responden tersebut melaporkan adanya dampak besar dari kekerasan fisik dan seksual oleh suami dan pasangannya. Fenomena ini telah menimbulkan dampak pada status kesehatan wanita diseluruh dunia. Bahkan jumlah pasangan yang melakukan kekerasan terhadap perempuan lebih banyak lagi. Studi ini menunjukkan bahwa peempuan jauh lebih berisiko dirumah dibandingkan dijalan, dan iniberpengaruh langsung terhadap kesehatan perempuan.
Berdasarkan studi kasus yang dilakukan oleh Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2006, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia setiap tahunnya tercatat mengalami peningkatan yang cukup tajam. Pada tahun 2005 kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 20.391, naik 45 persen dari tahun 2004 sebanyak 14.020. Sebelumnya, tahun 2003 sebanyak 5.934 kasus, dan tahun 2002 sebanyak 5.163 kasus.
Dari total 20.391 kasus yang terjadi pada tahun 2005, 82 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dari berbagai kasus tersebut, kekerasan terhadap perempuan tidak mengenal latar belakang umur, pekerjaan, dan jenis pendidikan. Korban kekerasan yang berusia 25 hingga 40 tahun dengan jumlah kasus 4.506. Pendidikan tinggi SLTA dengan 2.649 kasus. Sedangkan yang paling banyak menimpa ibu rumah tangga, yakni 9.298 kasus atau 45 persen dari seluruh kasus.
Penyebab utama untuk tahun 2008 yang ditemukan oleh Komnas Perempuan karena faktor ekonomi. ” cikal bakal KDRT itu dari faktor ekonomi” lanjut Sjamsiah Achmad.
Bila dilihat secara hitungan angka. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, kasus KDRT dalam keluarga miskin banyak dipicu oleh hal ini.
Akar masalah
Kasus Kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan serius yang disebabkan oleh berbagai hal yang berkait erat satu sama lainnya. Musdah Mulia dalam Muslimah Reformis (Mizan, 2004) berpendapat tentang akar masalah kekerasan terhadap perempuan. Pertama, ketimpangan gender. Laki-laki dianggap sebagai makhluk superior, lebih cakap dan lebih hebat dari pada perempuan yang dianggap makhluk inferior, lemah, kelas dua. Ketidakseimbangan relasi kekuasaan inilah yang menyebabkan perempuan kerap tidak berdaya dihadapan lakli-laki.
Kedua, penegakan hukum yang lemah. Meskipun berbagai peraturan telah dibuat, salah satu contohnya adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), namun dalam praktiknya belum bisa menekan angka kekerasan dalam rumah tangga. UU KDRT memiliki kelemahan di tingkat pelaksanaan karena kurang adanya sosialisi ke seluruh lapisan masyarakat bawah.
Ketiga, dominasi nilai-nilai patriarkhi. Konstruk budaya masyarakat melalui sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berlaku secara alamiah dan didukung dengan penilaian agama dan hukum adat yang memberikan otoritas lebih kepada laki-laki daripada perempuan mengakibatkan perempuan terpinggirkan dan menjadi objek kekerasan kaum laki-laki.
Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif jender adalah untuk memberikan apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan tersebut terletak pada kekuasaan hubungan yang tidak seimbang antara pria dan perempuan yang terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh pria. Sebagaimana disampaikan oleh Sally E. Merry, “Kekerasan adalah… suatu tanda dari perjuangan untuk memelihara beberapa fantasi dari identitas dan kekuasaan. Kekerasan muncul, dalam analisa tersebut, sebagai sensitifitas jender dan jenis kelamin”
KDRT memposisikan pria jauh lebih berkuasa dibanding wanita. Ada sikap egois yang terbangun untuk memperlihatkan kekuatan dan kelemahan perempuan. Perempuan yang masih dianggap sebagai orang kedua/pelayan dalam rumah tangga membuatnya rentan mendapatkan perlakuan keras oleh suaminya.
Perjuangan melawan KDRT
‘Perjuangan’ penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasar sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia layanan korban kekerasan. Di Provinsi Banten misalnya, hingga pertengahan tahun 2004 terdapat 5.426 perempuan yang dilaporkan menjadi korban tindak kekerasan (KTK). 90 persen diantaranya menjadi korban kekerasan karena berkerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri (Tempo Interaktif, 3/5/04).
Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
Di Makassar perjuangan melawan KDRT banyak dilakukan oleh aktivis-aktivis perempuan yang tergabung dalam LSM yang khusus menangani masalah perempuan. Akibatnya kemudian KDRT masih dianggap sebagai masalah perempuan saja. Dalam upaya penyelesaian kasus KDRT harusnya tiadk dipahami oleh satu pihak saja. Tapi pria juga punya tangguing jawab untuk melakukannya.
KDRT adalah masalah bersama, jadi tidak serta merta melmparkan kesalahan pada satu pihak saja. Untuk menghapus KDRT yang harus dilakukan adalah bagaimana menjadikan perempuan dan laki-laki sebagai mitra. Nah ini harus dipahami bersama. Perjuangan yang hanya dilakukan oleh perempuan tak akan selesai jika tak ada kesadaran dari pria.
Peran Paralegal
Persolan Rumah Tangga sampai saat ini oleh sebagian kalangan masih ditabukan. Urusan rumah tangga adalah bagian dari dapur rumah tangga. Mengekspos keluar berarti membuka aib keluarga. Masyarakat timur sampai sekarang ini masih menganut paham nrimo, pelayan bagi suaminya. Hali ini juga diperkuat oleh dalil-dalil agama yang tidak pernah diselesaikan.
Mengatasi ketidakterbukaan masyarakat adalah peran paralegal untuk melakukan pendekatan. Paralegal sebagai bagian tak terpisah dari masyarakat memberi akses yang lebih luas untuk menyelesaikan masalah-maslaah KDRT yang dihadapi dilapangan. Kasus KDRT dikatakan meningkat setelah adanya UU PKDRT, hal ini seperti fenomena gunung es yang baru kelihatan setelah sekian lama.
UU PKDRT sudah ada sejak tahun 2004 tapi dalam implikasinya belum ada hasil yang nampak. ”perempuan harus nurut sama suaminya, dalam islam juga seperti itu” ungkap Ika (mahasiswa semester akhir).
Dalam buku nikah sebenarnya ada pasal-pasal hak dan kewajiban istri, namun tidak pernah dibaca. Buku nikah hanya menjadi prasyarat pernikahan, padahal esensi hubungan suami istri tercantum dalam buku tersebut.
Satu-satunya perempuan di Indonesia yang pernah bekerja di PBB Sjamsiah Ahmad mengatakan ”Memberdayakan NGO dan juga pemerintah yangharus dilakukan. Yang paling punya andil adalah paralegal. Masyarakat tahu ada UUPDKRT tapi banyak yang tidak paham’. Lanjutnya” kita tidak perlu berkoar-koar di luar negeri, tapi menyadarkan masyarakat yang tidak tahu.”

salah satu tulisan yang pernah dimuat di buletin "Paralegal" LBH Makassar