Praak… tamparan itu terus menghantuiku.
Mengganggu tidurku. Aku memilih untuk tidak pacaran, jika hanya untuk mendapat
tamparan itu. Laki-laki itu melukaiku semalam. Lebih dari luka memar di pipi
kananku. Tamparan pertama yang kudapat,
justru dari laki-laki yang (tak) menyayangiku.
Ah… benarkah ia menyayangiku setelah semua yang dilakukannya padaku. Setelah
semua malam yang kami habiskan bersama. Tahun ketujuh yang kuhabiskan
bersamanya. Seiring waktu, di penghujung studiku. Ia telah menemaniku sejak
awal, dan tak sekalipun ia pernah melayangkan tangannya padaku, termasuk
menghadiahiku dengan kata-kata kotor.
Pukul tiga dini
hari, ditemani kokok ayam. Ia meninggalkanku, dan aku tak mau kalah. Aku
meninggalkan kosan itu. Aku punya banyak teman di Makassar. Pasti ada satu yang
mau menerima tamu dini hari. Pagi masih lama, dan aku tak bisa menunggu hingga
mentari menghangatkan pagiku. Hatiku masih beku, dingin dan kaku. Matahari atau
apapun di dunia ini, tak akan mampu mencairkannya.
Rumah sahabatku,
rumah yang selalu terbuka untuk siapapun yang pulang malam dan tak menemukan
tempat untuk merebahkan kepala. Aku membawa
motorku kesana, tanpa pelindung sedikitpun. Dinginnya malam tak lagi kurasa,
amarah telah mendekam dalam dada. Memanaskan malam. Untung jalanan sangat sepi.
Aku bisa lebih cepat sampai kesana. Sahabatku telah terlelap, walau rumahnya
tak terkunci, seperti tahu aku datang malam ini.
Sahabatku telah
lelap bersama mimpinya. Namun, ia akhirnya terbangun dan membukakan pintu
kamarnya untukku. Ia memegang tanganku yang dingin hingga ke tulang-tulang. Ia
menatapku dengan tatapan sayu penuh tanya.
“ katanya sakit,
kenapa keluyuran jam segini?” ada nada protes pada ucapannya.
“sakitku lebih
dari sakit fisik yang kurasakan. Saya bertengkar dengannya”
Sahabatku
berjuang agar matanya tak terkatup, dan mendengar cerita-ceritaku. Ia hanya
diam. Tak hendak bersuara, ia mendengarku sepenuh hati.
Aku bertengkar
dengannya. Masalah yang sangat sepele. Aku bertanya kemana ia semalam, hingga
tak ingat waktu, bahkan untuk berbagi pesan singkat denganku. Ia marah karena
aku hendak bertemu dengan temanku. Ia menuduhku selingkuh, padahal aku tau
justru ia yang melakukannya.
Empat hari yang
lalu aku sakit. Demam tinggi, mungkin gejala tifoid. Bahkan untuk bangunpun
terasa berat. Apalagi menyelesaikan
semua kerjaanku. Pakaian yang bau apek. Piring menumpuk kotor tak dibersihkan.
Sarang laba-laba mulai membuat rumahnya di dalam kamarku. Lantai yang penuh
debu, hingga ia berinisiatif membersihkannya. Menyapu lantai, membersihkan
laba-laba, mencuci piring dan menanak nasi. Namun, ia marah karena melakukan
itu, rasa lapar mungkin yang menggerakkannya. Itu pekerjaan perempuan katanya.
Ia juga tak pernah bertanya aku sakit apa,
atau menanyakan apakah aku butuh sesuatu. Ia tak peduli sama sekali. Ia hanya
peduli pada perutnya. Rasa lapar yang menggigit. Setiap malam ia keluyuran dengan sepeda
motorku, dan membiarkanku sendirian. Ia menjenguk temannya di Rumah Sakit,
sementara pacarnya hanya mampu menggigit bibir menahan sakit.
Ia selalu
menuntutku ada disampingnya, setiap saat. Namun, ia tak pernah melakukannya
padaku. Ia pergi semau hatinya. Tanpa pernah pamit, atau mengatakan kemana
tujuannya. Dan ia marah ketika aku bertanya padanya. Sekali lagi karena aku
perempuan dan ia laki-laki. Perempuan harus menjaga rumah sementara ia
laki-laki bebas kemana saja. Ah… ini pacaran, bukan ikatan perkawinan.
Sahabatku
terdiam, namun dari tatapannya aku tahu ia protes padaku.
“apa kau masih
mencintainya?” sahabatku bertanya.
“ia telah
menghapus cinta itu dengan kebencian, ia melakukannya.” Ujarku.
Aku tak tahu
cinta yang selama ini kujaga untuknya, telah raib malam ini. mengingatnya pun
membuatku muak. Cinta itu hilang sepanjang jalan tadi bersama embun. Dan besok
mentari pagi akan menguapkannya hingga tak tersisa untukku. Akupun bertanya
benarkah ia mencintaiku setelah semua rasa sakit yang ia berikan. Mencintai
untuk membuat bahagia, tapi kenapa ini malah sebaliknya. Kami hanya mendapat
kesakitan. Mungkin ego telah menghilangkan segala rasa yang ia simpan untukku. Atau
semua hanya kepura-puraan.
Sahabatku
kembali lelap. Ia tak kuasa lagi menahan matanya untuk mendengar
cerita-ceritaku. Aku merebahkan diri disampingnya. Mengistirahatkan raga dan
pikiranku.
Berhari-hari aku
mengurung diri di rumah sahabatku. Rumahku tak pernah kutengok. Mungkin ia
masih disana. Atau telah pergi menemui perempuan-perempuannya. Seperti yang ia
katakan padaku dalam sebuah pesan singkat. Telah berapa laki-laki kau dapat? Apakah mereka
telah memuaskanmu? Ia pacar
pertamaku. aku menyukai sikapnya yang cuek. Ia tak pernah memperhatikan
penampilannya seperti orang-orang pada umumnya. Rambut berombak yang terurai
panjang. wajah yang tegas dan keras. Walau tak punya pekerjaan, aku bisa
menerimanya. Ia benci dengan keteraturan. Hidup
yang mengalir seperti air. Kemana ia terbawa arus, ia akan ikut. Kami
sama kerasnya. Aku yang dulu hidup merdeka, bebas seperti burung. Terbang
kemana angin membawanya. Iapun demikian, dari kota-kekota, tanpa tujuan jelas.
Hanya melampiaskan hasrat. Bebas. Namun,
setahun terakhir ia mengurungku. Aku tak sebebas dulu. Untuk ke warungpun harus
izin padanya. Ia memintaku tinggal dirumah, menunggunya dating seperti seorang
istri yang menunggu suaminya datang.
Ia mencariku
kemana-mana. Mendatangi setiap rumah temanku. Ia seperti kesetanan. Datang dan
memaki teman-temanku. Ia tak menemukanku. Teman-temanku silih berganti
menanyakan kabarku. Mereka bingung dengan kedatangannya yang tidak bersahabat. Aku
menghilang selama berhari-hari. Walau, tak jauh dari mereka. Aku hanya
menenangkan diri di rumah ini. Tak ada yang tahu, aku sembunyi dirumah ini.
Rumah bersama milik sahabatku.
Namun,
pada akhirnya Ia menemukanku. Saat menyelesaikan urusan kampusku. Dosenku mengejar.
Memintaku menyelesaikan tugas akhirku. Ah… laki-laki itu Berlutut didepanku. Ia
menangis-nangis memohon ampun. Namun, hatiku telah membatu. Tangisnya tak mampu
membersihkan lukaku, mengembalikan cinta yang telah menguap setiap pagi. Setiap
mengingat tamparan itu, seluruh harga diriku meluruh. Tamparan untuk kaumku
harus dibayar dengan darah. Tamparan membuat kita tak berharga lagi. Dan ia
telah memberikan hadiah itu. Walau, sakitnya tak lagi kurasakan. Aku hanya
mampu menitikkan air mata, sekali. Dan setelah itu tak ada lagi tangis
untuknya.
Ia
merengek seperti anak kecil. Berjam-jam hingga badanku terasa kaku. Ia tak mau
melepasku sebelum aku kembali padanya. Benarkah
cinta yang menggerakkannya untuk melakukan ini semua. Aku mencari pada
tatapannya, namun tak kutemukan. Air matanya telah membasahi pakaianku. Ia
menangis terlalu lama. Namun, aku tak peduli. Aku tetap bertahan. Aku menolak
untuk kembali padanya. Sikapnya telah menghantuiku, mengganggu tidurku.
Merendahkanku hingga dititik terendah.
Ia
mengambil batu besar dan
menghantamkan ke kepalanya. ia mungkin muak, karena aku tak bergeming. Atau
mencari iba, agar aku kembali padanya. Darah menetes dari sela-sela rambutnya.
Tak lama ia tak sadarkan diri. Aku hanya menatapnya. Tak ada lagi rasa, bahkan
untuk iba sedikitpun.