Thursday, July 26, 2012

Mencari Tanah Baru


Kemarin aku ke Sekolah KAMI, Bersama Rahi. bukan untuk mengajar. Telah ada teman-teman yang selalu mengajar. Membagikan waktunya sejam dua jam untuk mengajar anak-anak di Sekolah KAMI. Aku hanya ingin berbagi cerita dengan warga. Beberapa hari lalu mereka mendapat instruksi. Sebelum lebaran rumah-rumah itu harus dibongkar. Pemilik tanah akan menimbung tanahnya setelah lebaran. Mereka akan mulai membangun. Mungkin membangun rumah-rumah kost. Sekarang memang marak, investasi jangka panjang rumah kost untuk mahasiswa yang tinggal dekat kampus. Dua kampus besar berada di dekat tempat tinggal pemulung. UNHAS dan Politeknik. Ada 13 rumah yang akan dibongkar. Rumah-rumah yang terbuat dari barang-barang sisa. Tripleks, bamboo, serpihan kayu, bekas spanduk.
Rumah-rumah itu, rumah para pemulung. Salah saru rumah baru seminggu berdiri. Satu rumah lagi baru sebulan berdiri. Selalu seperti itu. Mereka pasrah. Tak ada pilihan lain. Kembali ke kampong? Tak mungkin. Tak ada rumah dan tanah. Menetap di Makassar, satu-satunya pilihan bertahan hidup.
“Wulan mau pindah kemana?” aku bertanya pada salah satu anak yang sering belajar Bersama kami.
“ke dekat danau kak, di dekat penjual pulsa.” Katanya singkat.
Wah, bisa jadi masalah baru. Pindah ke dekat danau. Tak mungkin pihak Unhas memberi izin. Dg.Baha rencananya akan pindah ke dekat sumur dalam kompleks kuburan. “wah, tidak takut Pak. Aku saja kalau lewat malam disana kadang dumba’dumba” kataku padanya. Hanya ada sedikit pilihan katanya. Ada beberapa keluarga lain yang akan ikut pindah kesana. Alternative lain, mereka akan pindah ke dekat tempat sampat.
Ada banyak tanah kosong dekat UNHAS. Mereka merencanakan akan menghadap Pak RT untuk minta izin. Tapi lahan itu telah memiliki pemilik. Mencoba mengusahakannya pada banyak tempat. Tapi pemiliknya tak ingin ada bangunan diatas tanah mereka.  
Tanah telah dikapling-kapling. Bukan hanya satu orang. Sebidang sawah bisa jadi memiliki dua sertifikat hak milik. Hampir semua tanah di Makassar bersengketa. Telah dimiliki pengusaha dan orang-orang berduit. Ntah bagaimana caranya tanah yang rawa-rawa mempunyai pemilik.  Tanah yang ditempat Dg.Paso sampai sekarang belum ada kejelasan. Aku pernah menulis soal itu.
Dua hari yang lalu mereka ke Rektorat. Delapan warga Bersama Rahi. Mama’ bercerita. Ada yang mengira mereka mau minta sembako. Sebagian yang lain berpikir mereka akan demo. Mereka risih dan malu. Walau memulung mereka pantang meminta.
Pertemuan dengan beberapa warga hari itu, tak member banyak pilihan. Satu-satunya tanah yang bisa dipinjam adalah milik Dg.Gaffar, bos mereka. Syaratnya satu harus ada pemulung dalam rumah tersebut. Saya lupa cerita, sekarang tak semuanya memulung. Beberapa orang telah beralih jadi cleaning service di UNHAS dan Rumah sakit. Namun tanah berukuran 20 x 10 meter itu telah ada 3 rumah yang berdiri, empat dengan Sekolah. Jika itu pilihannya, semua bangunan itu harus dibongkar dan ditata ulang. Tak boleh ada yang dirugikan. 
 Tamalanrea, menjemput senja Ramadhan
24 juli 2012

Saturday, July 14, 2012

HIV AIDS


Aku mengenal mereka. Belum terlalu lama. Menulis cerita ini rasanya sangat berat. Hal pertama aku tak mendengar cerita ini langsung dari mereka. Aku takut salah, tapi jika aku salah, itu akan menjadi rasa syukur yang sangat besar. Kedua, hal ini terlalu sensitive, aku tak hendak melukai siapapun.
Keluarga dengan enam orang anak yang usianya tak terpaut jauh. Aku salah, belum melakukan apa-apa. Masih bingung mencari jalan yan tepat agar mereka mau brcerita padaku. tapi biarlah aku menulis ini, paling tidak membuatku lega dan bisa bernafas.
Yang bungsu menderita AIDS. Saya mendengarnya dari teman.  Beberapa kali mendiskusikannya. Tapi belum ada hasil, bagaimana pendekatan yang dilakukan agar mereka mau berbagi cerita. Tapi, aku belajar. Merasakan kehidupan mereka, berpikir bagaimana kerasnya hidup yang dijalani.
Keluarga urban yang berasal dari desa. Ada banyak di Makassar, tersebar diberbagai tempat. Tanpa tanah dan rumah yang layak huni, sedang disamping tempat mereka berdiri gedung-gedung bertingkat milik orang kaya. Keluarga yang mendapat hasil dari memungut botol-botol bekas minuman orang-orang berduit.
Ada banyak kita temui di Makassar. Pertama mendengar aku sangat shock, tentu saja. Siapapun yang mendengarnya pasti akan melakukan hal yang sama.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) sebuah penyakit yang menyerang system kekebalan kita setelah terjangkiti virus HIV dalam rentan waktu cukup lama. Lima hingga sepuluh tahun, atau mungkin juga lebih. Penyakit yang hingga hari ini belum ditemukan obatnya. Mungkin harus makan jintan hitam. Saya ingat pada salah satu bagian merk dari obat herbal yang kadang saya konsumsi itu, ada hadist tertulis. Obat bagi seluruh penyakit kecuali kematian.  Mungkin bisa menyembuhkan sakit ini.
Keluarga yang cukup besar. Pernah saya berpikir, kenapa orang tuanya tak menghentikan proses reproduksinya setelah mengetahui penyakit itu. Tapi, mereka bukan orang kaya yang bisa melakukan chek up rutin tiap bulan untuk mendeteksi penyakit mereka. Mereka tak mungkin berkunjung ke pelayanan kesehatan, seperti yang saya lakukan beberapa bulan lalu. Bukankah pelayanan kesehatan tak pernah berpihak pada orang miskin. Kesehatan selalu menjual jasa, dan siapa yang akan mampu membelinya.
Ini pelajaran penting. Bagaimana kenakalan itu bisa menjadi bencana buat keluarga kita. Dengar cerita, dulu ayahnya nakal. Menghabiskan banyak waktu bersama yang lain. Melakukan hubungan tanpa pengaman. Tanpa menyadari resiko yang akan muncul. Ia menularkan penyakit itu ke istrinya lalu ke anak-anaknya. Untung anak pertama mereka lolos. Menjadi satu-satunya yang tak positive, dan suatu hari mungkin akan menjadi satu-satunya penopang.
Beberapa hari lalu aku menangis mengingat hal ini. Membayangkan bocah kecil tak berdosa harus menanggung derita. Semua orang akan mati, dan kita tak pernah tahu seberapa lama umur kita. Tapi ini bukan hanya hidup dan mati. AIDS bukan penyakit yang bisa menular lewat udara. Virus HIV tak bisa bertahan lama di udara terbuka. Penularannya lewat darah, lewat ASI, dan juga lewat cairan vagina atau sperma. Bisa jadi juga lewat jarum suntik atau transfusi darah. Untuk anak-anaknya hal yang palin mungkin adalah lewat ASI. Atau mungkin sejak dalam kandungan.
Penderita AIDS tidak boleh dikucilkan, karena tak akan membuat sekelilingnya tertular dengan mudah. Lingkungan tempat tinggal mereka mengetahui penyakit itu. Mereka menerima hak tersebut. Mereka memberi ruang untuk tinggal bersama. Sementara kita orang-orang yang berada di luar selalu jijik dan tak berempati. Kita tak pernah peduli pada apa yang terjadi disekeliling kita.  

Friday, July 13, 2012

Mubes Serikat Tani Polongbangkeng (4)


Musyawarah Besar II Serikat Tani Polongbangkeng (STP) Takalar
“Perkuat Organisasi, Gelorakan Perjuangan, Gapai cita-cita Kesejahteraan Kaum Tani”
Musyawarah besar bukan hal yang baru. Mahasiswa yang aktif berorganisasi pasti pernah merasakan yang namanya Mubes. Bagaimana dengan Petani?
Petani bukan lagi masyarakat yang hanya mengenal cangkul dan sabit. Berangkat subuh buta dan pulang menjelang sore. Petani pun telah mengorganisir dirinya.
“Organisasi didirikan dalam konflik antara PTPN XIV dengan masyarakat Polongbangkeng. Konflik ini adalah persoalan kepemilikan tanah yasng telah dikelola oleh PTPN XIV Pabrik gula takalar ” Ujar Ahmad Dg.Arsyad.
Petani Polongbangkeng mengadakan Musyawarah Besar II sejak tanggal 9 hingga 10 juli 2012. Organisasi yang menamakan dirinya Serikat Tani Polongbangkeng (STP) Takalar ini terbentuk sejak Musyawarah besar pertama yang diadakan 30 oktober hingga 1 November 2009 di Benteng Somba Opu.  Anggota yang telah terdaftar secara administrasi 463 orang dengan system keanggotaan individu.
STP terbentuk setelah perjalanan panjang dalam memperjuangkan hak petani merebut kembali tanahnya yang dirampas PTPN XIV. Tanah yang telah didiami sejak tahun 40an oleh PTPN XIV dijadikan perkebunan. 4.000 ha tanah petani diubah menjadi kebun tebu. Berbagai upaya terror, intimidasi dilakukan untuk mengambil lahan petani.
Mubes dilaksanakan sebagai upaya memperkuat organisasi. Enam desa telah merapikan diri dan menjadi Ranting dan Badan Persiapan Ranting. Ranting Timbuseng, Ranting Ko’mara, Ranting barugaya, Badan Persiapan Ranting Kampung Beru, Massamaturu dan Parang luara. Bersatu membangun organisasi untuk merebut hak yang telah dirampas.
“Berorganisasi adalah alat. Mengambil tanah meski tanah masyarakat kalau diambis individu tidak akan bisa dilakukan. Seluruh rakyat di Indonesia harus memperkuat organisasi “ tegas Ali DPP AGRA  yang juga ikut pada pelaksanaan MUBES II STP Takalar.
Untuk kelancaran MUBES peserta penuh yang ikut adalah pimpinan Ranting dan Badan Persiapan Ranting dari enam desa. Sedangkan untuk peninjau berasal dari Anggota dan beberapa jaringan STP. Ada Ahmad SH dari Eksekutif WALHI Nasional, Ali dari DPP AGRA, WALHI Sulsel, AGRA Bulukumba, AJI Makassar, Jurnal Celebes, AMAN Sulsel dan beberapa mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia. Sayangnya, undangan dari pemerintah tidak ada yang datang sehingga anggota STP sangat kecewa.
Hari pertama dan kedua MUBES berjalan lancar. Pimpinan sidang terpilih terdiri atas lima orang, Dg.Nyaling, Dg.Mone, Dg.Sijaya, Dg.Tonji dan Dg.Imba. secara bergantian memimpin persidangan. Persidangan yang diadakan dibawah tenda halaman rumah Dg.Ila cukup terbuka. Antusias anggota sangat terlihat. Laki-laki dan perempuan datang dan menyaksikan jalannya MUBES. Mereka tak segan-segan untuk bertanya. Bahasa Makassar dan Indonesia bercampur dan tak menjadi penghalang.
Kepemimpinan dalam Serikat Tani Polongbangkeng sangat berbeda dibanding organisasi tani lainnya. Kepemimpinan tidak terpusat pada satu orang. Ada Sembilan pimpinan yang terpilih. Mewakili setiap ranting dan badan persiapan ranting. Diakhir Musyawarah besar terpilih M. Asryad dg.Nyampa, Idris Dg.Nyali, Rusli Dg.Imba, Abd.Hamid Dg.Mone, Dg. Tonji, Zainuddin Dg.Tutu, Rahman Dg.Sijaya, Sudirman Dg.Buang, dan Mammi Dg.Liwang.
sebelum menutup MUBES II STP Takalar pimpinan sidang memberi kesempatan kepada anggota untuk berbicara. bergantian peserta bercerita tentang perjuangan mereka dan semangat yang tak pernah padam untuk merebut tanah mereka.
Bersatulah Kaum Tani Takalar..!!! Bangkit, Bergerak, Berorganisasi..!!!
Jayalah Kaum Tani..!!!

Sunday, July 8, 2012

Mubes Serikat Tani Polongbangkeng (3)


Sejarah Perjuangan Serikat Tani Polongbangkeng
Tinggal dua hari Musyawarah besar II Serikat Tani Polongbangkeng akan dimulai. Aku terlambat berangkat. Beberapa kawan telah duluan kesana. Mempersiapkan kelengkapan Mubes II Serikat Tani Polongbangkeng. Sabtu malam aku berangkat. Berada ditengah petani adalah hal terbaik untuk mengembalikan semangat. Ibu-ibu dengan ribuan semangat juang. Wajah-wajah tua yang seharusnya istirahat di rumah, namun selalu penuh semangat memperjuangkan tanah. Tanah mereka di rampas PTPN XIV sejak puluhan tahun lalu, jauh sebelum aku lahir.
Aku akan sedikit bercerita tentang Sejarah perjuangan rakyat Polongbangkeng. Harusnya diceritakan sejak awal. Tapi sebenarnya tidak juga, sejak tahun 2009 bersama beberapa lembaga dan individu telah berada disana.
Sejak tahun 1942 rakyat Polongbangkeng telah mendiami tanah-tanah yang ada disana. Mereka menggarap,dan mengolah tanah sejak dulu. Bahkan ditahun 1980 mereka telah mendapatkan surat pengakuan hak dari pemerintah. Rakyat Polongbangkeng mayoritas petani, yang hidup dari tanah nenek moyang mereka.
Ah, cerita sejarah akan ada banyak angka yang kita lihat. Di tahun 1974 mulai tersebar informasi akan adanya rencana untuk membangun perkebunan di Polongbangkeng. Perkebunan tebu. Isu ini tersebar di masyarakat.  Tak butuh waktu lama, empat tahun setelah itu di tahun 1978 sebuah surat lahir dari Bupati Takalar. SK pemberian izin kepada PT Madu Baru untuk melaksanakan rencana pembangunan perkebunan. Pada saat yang pula ditetapkan adanya pemberian ganti rugi Rp. 10,-/ meter persegi. Ini keputusan sepihak yang dikeluarkan pemerintah. Masyarakat menolak dan tetap menggarap lahan mereka. Berbagai upayapun dilakukan untuk mewujudkan perkebunan tebu tersebut. Berbagai intimidasi telah diterima rakyat Polongbangkeng, namun itu tidak menyurutkan perjuangan mereka.
Pada tahun 1980 PT. Madu Baru mengundurkan diri, selanjutnya perkebunan tebu tersebut diambil alih oleh PTPN XIV. Bentuk intimidasi tetap terjadi. Upaya penolakan masyarakat tetap terjadi. Ganti rugi sebesar Rp.60,- permeter persegi kembali ditolak masyarakat. Akhirnya PTPN XIV mengumumkan bahwa uang ganti rugi yang diberikan itu sebagai biaya sewa tanah selama 30 tahun. Akhirnya masyarakat menerima dengan paksa.
Beberapa peristiwa berdarah telah terjadi. Telah ada beberapa nyawa yang harus hilang karena konflik PTPN XIV. Di tahun 2008 terjadi insiden Pakkawa, dua orang kena tembak dan beberapa lainnya terluka. Penangkapan pun terus terjadi. Pada 15 juli 2009 kembali terjadi insiden. 2 orang petani harus ditahan di Polres Takalar. Rakyat Polongbangkeng cemas dan mencekam.
Pada tahun yang sama setelah beberapa organisasi mendampingi rakyat Polongbangkeng. Mahasiswa, LBH Makassar, WALHI Sulsel dan beberapa organisasi lainnya. Atas kesadaran rakyat menyatukan diri mereka dalam sebuah organisasi yang diberi nama Serikat Tani Polongbangkeng (STP) Takalar. STP dibentuk pada Mubes I di benteng Somba Opu pada tanggal 30 Oktober- 1 November 2009.
Organisasi ini terus berjuang hingga saat ini. Telah ada kurang lebih 400 anggota yang bergabung didalamnya. Sebagian tanahpun telah kembali ditangan. Reclaiming bukan sekali dilakukan. Ada ratusan hektar tanah yang telah di Tanami bahkan dinikmati hasilnya.
Tiga tahun lalu, kadang khawatir dan takut ketika memasuki kampong ini. Brimob bisa kita temui di sepanjang jalan. Berjaga-jaga dengan senapan yang terselempang di lengan. Beberapa kawan telah kena pukulan bahkan pernah ditahan aparat hukum.

Mubes Serikat Tani Polongbangkeng Takalar (2)

Dapat tugas lagi. Ke Polongbangkeng tentunya. Ini perjalanan kedua untuk persiapan Mubes STP. Agendanya membagi dua kelompok yang sudah ada. Kali ini kami bertugas di desa Barugaya. Ketua Chivas yang mempunyai seribu nama tak dapat hadir malam ini. Ada screening di kampus orange. Dia jadi steering.  Satu-satunya masalah buatku untuk setiap perjalanan yang menyenangkan adalah setelah bulan ke enam aku masih saja tak bisa mengendarai motor. Harus diantar kemana-mana. Rumah hijau sedang sepi. Aku berangkat sama Budi. Agak telat, tadi aku bertemu dengan teman-teman HIMAJI di Sekolah KAMI.
Kami singgah dulu di rumah Bapak Ila. Orang tua baik hati itu sangat kelelahan. Namun, ditangannya masih ada berkas formulir anggota STP. Ia sedang membenahinya. Bapak Ila bertugas sebagai sekretaris. Beliau memang cukup telaten, dan satu lagi sangat tenang.
Dingin Polongbangkeng membuat mata tak bisa bertahan lama terbuka. Sirat kantuk Nampak dari wajah Bapak Ila. Katanya ia sudah menghubungi Dg.Toro untuk menemani kami ke Desa Barugaya.
Desa itu masih jauh ke dalam, butuh waktu 10 menit untuk sampai kesana. Malam belum terlalu larut, kampung malam itu sangat ramai. Ada pesta pengantin dengan music electon penghibur. Warga yang jarang mendapat hiburan keluar dan menikmatinya. Mereka rela berjalan kaki untuk menyaksikan pesta tersebut.
Sudah dua kali Dg. Imba menelpon. Warga sudah berkumpul di rumahnya. Takut mereka pulang karena kelamaan menunggu. Ini salahku, tak memperkirakan waktu dengan cukup baik.
Sampai disana telah banyak orang yang berkumpul. Suara Dg. Imba terdengar jelas. Ia sedang menjelaskan tentang reforma agraria yang sedang diusung oleh BPN Nasional. Beritanya ada di koran Kompas. Ia sedang menjelaskan isi berita itu. BPN akan melakukan pengukuran terhadap tanah-tanah Negara, dan melakukan pendataan terhadap masyarakat yang tak punya tanah.
Telah ada tiga kelompok di Desa Barugaya. Satu kelompok beranggotakan 30 orang. Ada satu kelompok berjumlah 34 anggota, dan kelompok terakhir ada 28 anggota. Untuk menjadi ranting harus ada 5 kelompok yang terbentuk. Kalau kurang dari lima masih berupa badan persiapan ranting.
Pembagian kelompok di serahkan ke Dg.Imba. untuk membagi dua kelompok yang telah ada harus dilaksanakan sendiri. Pembentukan kelompok itu biasa berdasarkan kedekatan, sehingga Aku dan Budi tak bisa melakukan pembagian kelompok itu.
Untuk setiap kelompok dipilih ketua, sekretaris dan bendahara. Struktur ini dipilih sendiri oleh anggota kelompok. Setelah kelompok terbentuk, selanjutnya memilih pimpinan ranting. Mekanisme pemilihan ini telah diatur. Setiap kelompok memilih dua orang anggotanya yang akan masuk pada struktur ranting. Akan ada sepuluh pimpinan yang terpilih, namun untuk membuatnya jadi ganjil maka pimpinan tersebut harus ditambah satu orang lagi. Satu orang ini dipilih oleh pimpinan yang telah ada. Hasil keputusan Bersama Dg. Imba menjadi kordinator pimpinan kolektif ranting Barugaya.
Pukul 23.00 pertemuan itu selesai. Untuk kelengkapan administrasi dan penambahan anggota baru harus diselesaikan sebelum Mubes Serikat Tani Polongbangkeng (STP) Takalar yang dilaksanakan pada 9-10 juli 2012 nanti.

Friday, July 6, 2012

LELAKI YANG (tak) MENCINTAIKU


Praak… tamparan itu terus menghantuiku. Mengganggu tidurku. Aku memilih untuk tidak pacaran, jika hanya untuk mendapat tamparan itu. Laki-laki itu melukaiku semalam. Lebih dari luka memar di pipi kananku.  Tamparan pertama yang kudapat, justru dari laki-laki yang (tak) menyayangiku.  Ah… benarkah ia menyayangiku setelah semua yang dilakukannya padaku. Setelah semua malam yang kami habiskan bersama. Tahun ketujuh yang kuhabiskan bersamanya. Seiring waktu, di penghujung studiku. Ia telah menemaniku sejak awal, dan tak sekalipun ia pernah melayangkan tangannya padaku, termasuk menghadiahiku dengan kata-kata kotor.
Pukul tiga dini hari, ditemani kokok ayam. Ia meninggalkanku, dan aku tak mau kalah. Aku meninggalkan kosan itu. Aku punya banyak teman di Makassar. Pasti ada satu yang mau menerima tamu dini hari. Pagi masih lama, dan aku tak bisa menunggu hingga mentari menghangatkan pagiku. Hatiku masih beku, dingin dan kaku. Matahari atau apapun di dunia ini, tak akan mampu mencairkannya.
Rumah sahabatku, rumah yang selalu terbuka untuk siapapun yang pulang malam dan tak menemukan tempat untuk merebahkan kepala.  Aku membawa motorku kesana, tanpa pelindung sedikitpun. Dinginnya malam tak lagi kurasa, amarah telah mendekam dalam dada.  Memanaskan malam. Untung jalanan sangat sepi. Aku bisa lebih cepat sampai kesana. Sahabatku telah terlelap, walau rumahnya tak terkunci, seperti tahu aku datang malam ini.
Sahabatku telah lelap bersama mimpinya. Namun, ia akhirnya terbangun dan membukakan pintu kamarnya untukku. Ia memegang tanganku yang dingin hingga ke tulang-tulang. Ia menatapku dengan tatapan sayu penuh tanya.
“ katanya sakit, kenapa keluyuran jam segini?” ada nada protes pada ucapannya.
“sakitku lebih dari sakit fisik yang kurasakan. Saya bertengkar dengannya”
Sahabatku berjuang agar matanya tak terkatup, dan mendengar cerita-ceritaku. Ia hanya diam. Tak hendak bersuara, ia mendengarku sepenuh hati.
Aku bertengkar dengannya. Masalah yang sangat sepele. Aku bertanya kemana ia semalam, hingga tak ingat waktu, bahkan untuk berbagi pesan singkat denganku. Ia marah karena aku hendak bertemu dengan temanku. Ia menuduhku selingkuh, padahal aku tau justru ia yang melakukannya.
Empat hari yang lalu aku sakit. Demam tinggi, mungkin gejala tifoid. Bahkan untuk bangunpun terasa berat. Apalagi  menyelesaikan semua kerjaanku. Pakaian yang bau apek. Piring menumpuk kotor tak dibersihkan. Sarang laba-laba mulai membuat rumahnya di dalam kamarku. Lantai yang penuh debu, hingga ia berinisiatif membersihkannya. Menyapu lantai, membersihkan laba-laba, mencuci piring dan menanak nasi. Namun, ia marah karena melakukan itu, rasa lapar mungkin yang menggerakkannya. Itu pekerjaan perempuan katanya.
 Ia juga tak pernah bertanya aku sakit apa, atau menanyakan apakah aku butuh sesuatu. Ia tak peduli sama sekali. Ia hanya peduli pada perutnya. Rasa lapar yang menggigit.  Setiap malam ia keluyuran dengan sepeda motorku, dan membiarkanku sendirian. Ia menjenguk temannya di Rumah Sakit, sementara pacarnya hanya mampu menggigit bibir menahan sakit.
Ia selalu menuntutku ada disampingnya, setiap saat. Namun, ia tak pernah melakukannya padaku. Ia pergi semau hatinya. Tanpa pernah pamit, atau mengatakan kemana tujuannya. Dan ia marah ketika aku bertanya padanya. Sekali lagi karena aku perempuan dan ia laki-laki. Perempuan harus menjaga rumah sementara ia laki-laki bebas kemana saja. Ah… ini pacaran, bukan ikatan perkawinan.
Sahabatku terdiam, namun dari tatapannya aku tahu ia protes padaku.
“apa kau masih mencintainya?” sahabatku bertanya.
“ia telah menghapus cinta itu dengan kebencian, ia melakukannya.” Ujarku.
Aku tak tahu cinta yang selama ini kujaga untuknya, telah raib malam ini. mengingatnya pun membuatku muak. Cinta itu hilang sepanjang jalan tadi bersama embun. Dan besok mentari pagi akan menguapkannya hingga tak tersisa untukku. Akupun bertanya benarkah ia mencintaiku setelah semua rasa sakit yang ia berikan. Mencintai untuk membuat bahagia, tapi kenapa ini malah sebaliknya. Kami hanya mendapat kesakitan. Mungkin ego telah menghilangkan segala rasa yang ia simpan untukku. Atau semua hanya kepura-puraan.
Sahabatku kembali lelap. Ia tak kuasa lagi menahan matanya untuk mendengar cerita-ceritaku. Aku merebahkan diri disampingnya. Mengistirahatkan raga dan pikiranku.
Berhari-hari aku mengurung diri di rumah sahabatku. Rumahku tak pernah kutengok. Mungkin ia masih disana. Atau telah pergi menemui perempuan-perempuannya. Seperti yang ia katakan padaku dalam sebuah pesan singkat.  Telah berapa laki-laki kau dapat? Apakah mereka telah memuaskanmu?  Ia pacar pertamaku. aku menyukai sikapnya yang cuek. Ia tak pernah memperhatikan penampilannya seperti orang-orang pada umumnya. Rambut berombak yang terurai panjang. wajah yang tegas dan keras. Walau tak punya pekerjaan, aku bisa menerimanya. Ia benci dengan keteraturan. Hidup  yang mengalir seperti air. Kemana ia terbawa arus, ia akan ikut. Kami sama kerasnya. Aku yang dulu hidup merdeka, bebas seperti burung. Terbang kemana angin membawanya. Iapun demikian, dari kota-kekota, tanpa tujuan jelas. Hanya melampiaskan hasrat. Bebas.  Namun, setahun terakhir ia mengurungku. Aku tak sebebas dulu. Untuk ke warungpun harus izin padanya. Ia memintaku tinggal dirumah, menunggunya dating seperti seorang istri yang menunggu suaminya datang.
Ia mencariku kemana-mana. Mendatangi setiap rumah temanku. Ia seperti kesetanan. Datang dan memaki teman-temanku. Ia tak menemukanku. Teman-temanku silih berganti menanyakan kabarku. Mereka bingung dengan kedatangannya yang tidak bersahabat. Aku menghilang selama berhari-hari. Walau, tak jauh dari mereka. Aku hanya menenangkan diri di rumah ini. Tak ada yang tahu, aku sembunyi dirumah ini. Rumah bersama milik sahabatku.
Namun, pada akhirnya Ia menemukanku. Saat menyelesaikan urusan kampusku. Dosenku mengejar. Memintaku menyelesaikan tugas akhirku. Ah… laki-laki itu Berlutut didepanku. Ia menangis-nangis memohon ampun. Namun, hatiku telah membatu. Tangisnya tak mampu membersihkan lukaku, mengembalikan cinta yang telah menguap setiap pagi. Setiap mengingat tamparan itu, seluruh harga diriku meluruh. Tamparan untuk kaumku harus dibayar dengan darah. Tamparan membuat kita tak berharga lagi. Dan ia telah memberikan hadiah itu. Walau, sakitnya tak lagi kurasakan. Aku hanya mampu menitikkan air mata, sekali. Dan setelah itu tak ada lagi tangis untuknya.
Ia merengek seperti anak kecil. Berjam-jam hingga badanku terasa kaku. Ia tak mau melepasku sebelum aku kembali padanya.  Benarkah cinta yang menggerakkannya untuk melakukan ini semua. Aku mencari pada tatapannya, namun tak kutemukan. Air matanya telah membasahi pakaianku. Ia menangis terlalu lama. Namun, aku tak peduli. Aku tetap bertahan. Aku menolak untuk kembali padanya. Sikapnya telah menghantuiku, mengganggu tidurku. Merendahkanku hingga dititik terendah.
Ia mengambil batu besar dan menghantamkan ke kepalanya. ia mungkin muak, karena aku tak bergeming. Atau mencari iba, agar aku kembali padanya. Darah menetes dari sela-sela rambutnya. Tak lama ia tak sadarkan diri. Aku hanya menatapnya. Tak ada lagi rasa, bahkan untuk iba sedikitpun.

Thursday, July 5, 2012

Mubes Serikat Tani Polongbangkeng (1)

Agenda pertama dari perjalanan yang kami lakukan, bertemu petani di Kampung Beru. Salah satu tugas yang diberikan, terlibat pada pendataan anggota dan sosialisasi Mubes STP. Ini kali pertama aku akan masuk ke desa itu. Bersama Bapak Ila dan Dg.Toro, aku dan Budi berangkat kesana.
Untuk ke Kampung Beru kami memasuki jalanan ke PTPN XIV, disisi kanan tampak beberapa bangunan kecil berdinding gamacca dan beratap rumbia. Seperti kios-kios yang menjual makanan, mungkin juga milik buruh PTPN. Beberapa pedagang kecil menggelar jualan begitu saja dipinggir jalan. Tadinya aku berpikir ada pasar malam, tapi tak lebih dari 10 lapak.
Jalanan semakin memburuk. Debu, kerikil yang berserak, lubang yang tak terlalu jelas. Perusahaan berdiri disisi kiri jalan. Semakin jauh semakin sepi, kebun tebu disisi kiri kanan jalanan. Kalau tak ada kedua orang tua itu, aku mungkin telah kehilangan keberanianku. Jalan seperti tak berujung, gelap dan sepi.
Kami dikerjai malam ini. Mendapat lokasi yang jauh dari posko. Aku tak lagi ingat jarak, rasanya cukup jauh dan melelahkan. Kami memasuki perkampungan, jalanan aspal yang sedikit lebih baik. Rumah-rumah berjejeran tapi masih jauh dari tujuan. Sawah-sawah yang masih hijau. Hijaunya tak terlihat oleh malam, tapi belum ada bulir-bulir padi yang keluar dari tangkainya. Aku mencari rumah yang ramai. Kalau ada pasti itulah tempatnya.
Rumah samping kuburan tampak ramai. Kami mengikuti Bapak Ila. Disana puluhan warga telah menunggu. Beberapa orang berdiri dipinggir jalan. Bercerita, mungkin tentang sawahnya yang menunggu panen.
Ada banyak perempuan, aku tersenyum senang. Mendapati ibu-ibu yang terlibat pada kerja-kerja massa tak hanya mengurusi makan dan minum. Senyum tulus mereka telah membuatku berbinar-binar, hilang semua penat sepanjang jalan.
Bahasa selalu menjadi kendala utama yang menyedihkan. Aku tak bisa berkomunikasi langsung. Harus dibantu penerjemah. Sembilan tahun di Makassar tak membuatku bisa menggunakan bahasa Makassar. Dan berada ditengah masyarakat akan membuatku menyesal, kenapa tak juga bisa menggunakannya.
Aku hanya memahami sebagian kecil dari yang mereka bicarakan. Tapi pimpinan STP adalah orang-orang tua yang tangguh. Mereka menghabiskan sisa pensiunnya dengan berjuang. Memperjuangkan hak yang dirampas oleh PTPN.
Agenda pertama pendataan anggota STP. Mengisi formulir yang telah disiapkan. Ini untuk merapikan data kelompok, membuatnya menjadi kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari 15 – 30 orang. Tapi, mala mini kami tak sempat melakukan pembentukan kelompok. Pengisian formulir menyita waktu lama. Sebagian anggota tak bias baca tulis. Harus dituliskan satu persatu. Sebagian besar tak bias tanda tangan. Anggota hanya memberikan KTP yang pun kebanyakan tak berlaku lagi. Sesekali aku membantu Dg.Toro mengisi formulir itu.
Ada 30an formulir yang kembali malam ini, sebagian masih menunggu karena form yang disediakan telah habis.
Dg.Toro memulai pertemuan. Beliau membuka dengan menggunakan bahasa Makassar, bercerita bagaimana perjuangan mereka sebelum STP terbentuk dan setelah organisasi itu ada. Dulu, jika melakukan pendudukan aparat keamanan akan melindungi PTPN, berhadapan dengan peluru dan Brimob. Sekarang Polisi tak lagi mengganggu proses reclaiming yang mereka lakukan. Kemarin warga kembali melakukan reclaiming. Ratusan hektar tanah mereka telah ditangan. Ditanami padi dan menuai hasil.
Budi menjelaskan bagaimana pentingnya berorganisasi, juga menjelaskan persiapa Mubes yang akan dilaksanakan tanggal 9 – 10 juli nanti. Massa demikian antusias. Sajian kopi dan penganan ringan menjadi teman melewatkan malam. Sesekali aku bercerita dengan gadis yang duduk disampingku. Aku lupa menanyakan namanya. Ia suka ikut pertemuan-pertemuan STP tapi tidak masuk menjadi anggota. Anak muda yang penuh semangat. Ia tersenyum malu ketika kutanyakan sekolahnya. Hanya tamatan SMP katanya.
Sebelum pulang, pemilik rumah telah menyediakan makan malam untuk kami. Menu sederhana yang mengalahkan enaknya makanan kota. Saying, sebelum berangkat kami duluan mengisi lambung tengah, jadi hanya bias mencicipinya.
Angka jam menunjuk 23.00 kami pamit pulang. “hati-hati nak, “, “ semoga selamatki’. Ada banyak doa malam itu untuk kami. Doa dari ibu-ibu berwajah teduh. Saya pulang dengan seribu bahagia. Bahagia itu sederhana.
(kerja dan berlibur dua hal menyenangkan untuk menutup Juni. 
Persinggahan pertama di Polongbangkeng Utara bersama Serikat Tani Polongbangkeng sebelum lanjut ke Butta Panrita Lopi
25 Juni 2012)