Friday, July 6, 2012

LELAKI YANG (tak) MENCINTAIKU


Praak… tamparan itu terus menghantuiku. Mengganggu tidurku. Aku memilih untuk tidak pacaran, jika hanya untuk mendapat tamparan itu. Laki-laki itu melukaiku semalam. Lebih dari luka memar di pipi kananku.  Tamparan pertama yang kudapat, justru dari laki-laki yang (tak) menyayangiku.  Ah… benarkah ia menyayangiku setelah semua yang dilakukannya padaku. Setelah semua malam yang kami habiskan bersama. Tahun ketujuh yang kuhabiskan bersamanya. Seiring waktu, di penghujung studiku. Ia telah menemaniku sejak awal, dan tak sekalipun ia pernah melayangkan tangannya padaku, termasuk menghadiahiku dengan kata-kata kotor.
Pukul tiga dini hari, ditemani kokok ayam. Ia meninggalkanku, dan aku tak mau kalah. Aku meninggalkan kosan itu. Aku punya banyak teman di Makassar. Pasti ada satu yang mau menerima tamu dini hari. Pagi masih lama, dan aku tak bisa menunggu hingga mentari menghangatkan pagiku. Hatiku masih beku, dingin dan kaku. Matahari atau apapun di dunia ini, tak akan mampu mencairkannya.
Rumah sahabatku, rumah yang selalu terbuka untuk siapapun yang pulang malam dan tak menemukan tempat untuk merebahkan kepala.  Aku membawa motorku kesana, tanpa pelindung sedikitpun. Dinginnya malam tak lagi kurasa, amarah telah mendekam dalam dada.  Memanaskan malam. Untung jalanan sangat sepi. Aku bisa lebih cepat sampai kesana. Sahabatku telah terlelap, walau rumahnya tak terkunci, seperti tahu aku datang malam ini.
Sahabatku telah lelap bersama mimpinya. Namun, ia akhirnya terbangun dan membukakan pintu kamarnya untukku. Ia memegang tanganku yang dingin hingga ke tulang-tulang. Ia menatapku dengan tatapan sayu penuh tanya.
“ katanya sakit, kenapa keluyuran jam segini?” ada nada protes pada ucapannya.
“sakitku lebih dari sakit fisik yang kurasakan. Saya bertengkar dengannya”
Sahabatku berjuang agar matanya tak terkatup, dan mendengar cerita-ceritaku. Ia hanya diam. Tak hendak bersuara, ia mendengarku sepenuh hati.
Aku bertengkar dengannya. Masalah yang sangat sepele. Aku bertanya kemana ia semalam, hingga tak ingat waktu, bahkan untuk berbagi pesan singkat denganku. Ia marah karena aku hendak bertemu dengan temanku. Ia menuduhku selingkuh, padahal aku tau justru ia yang melakukannya.
Empat hari yang lalu aku sakit. Demam tinggi, mungkin gejala tifoid. Bahkan untuk bangunpun terasa berat. Apalagi  menyelesaikan semua kerjaanku. Pakaian yang bau apek. Piring menumpuk kotor tak dibersihkan. Sarang laba-laba mulai membuat rumahnya di dalam kamarku. Lantai yang penuh debu, hingga ia berinisiatif membersihkannya. Menyapu lantai, membersihkan laba-laba, mencuci piring dan menanak nasi. Namun, ia marah karena melakukan itu, rasa lapar mungkin yang menggerakkannya. Itu pekerjaan perempuan katanya.
 Ia juga tak pernah bertanya aku sakit apa, atau menanyakan apakah aku butuh sesuatu. Ia tak peduli sama sekali. Ia hanya peduli pada perutnya. Rasa lapar yang menggigit.  Setiap malam ia keluyuran dengan sepeda motorku, dan membiarkanku sendirian. Ia menjenguk temannya di Rumah Sakit, sementara pacarnya hanya mampu menggigit bibir menahan sakit.
Ia selalu menuntutku ada disampingnya, setiap saat. Namun, ia tak pernah melakukannya padaku. Ia pergi semau hatinya. Tanpa pernah pamit, atau mengatakan kemana tujuannya. Dan ia marah ketika aku bertanya padanya. Sekali lagi karena aku perempuan dan ia laki-laki. Perempuan harus menjaga rumah sementara ia laki-laki bebas kemana saja. Ah… ini pacaran, bukan ikatan perkawinan.
Sahabatku terdiam, namun dari tatapannya aku tahu ia protes padaku.
“apa kau masih mencintainya?” sahabatku bertanya.
“ia telah menghapus cinta itu dengan kebencian, ia melakukannya.” Ujarku.
Aku tak tahu cinta yang selama ini kujaga untuknya, telah raib malam ini. mengingatnya pun membuatku muak. Cinta itu hilang sepanjang jalan tadi bersama embun. Dan besok mentari pagi akan menguapkannya hingga tak tersisa untukku. Akupun bertanya benarkah ia mencintaiku setelah semua rasa sakit yang ia berikan. Mencintai untuk membuat bahagia, tapi kenapa ini malah sebaliknya. Kami hanya mendapat kesakitan. Mungkin ego telah menghilangkan segala rasa yang ia simpan untukku. Atau semua hanya kepura-puraan.
Sahabatku kembali lelap. Ia tak kuasa lagi menahan matanya untuk mendengar cerita-ceritaku. Aku merebahkan diri disampingnya. Mengistirahatkan raga dan pikiranku.
Berhari-hari aku mengurung diri di rumah sahabatku. Rumahku tak pernah kutengok. Mungkin ia masih disana. Atau telah pergi menemui perempuan-perempuannya. Seperti yang ia katakan padaku dalam sebuah pesan singkat.  Telah berapa laki-laki kau dapat? Apakah mereka telah memuaskanmu?  Ia pacar pertamaku. aku menyukai sikapnya yang cuek. Ia tak pernah memperhatikan penampilannya seperti orang-orang pada umumnya. Rambut berombak yang terurai panjang. wajah yang tegas dan keras. Walau tak punya pekerjaan, aku bisa menerimanya. Ia benci dengan keteraturan. Hidup  yang mengalir seperti air. Kemana ia terbawa arus, ia akan ikut. Kami sama kerasnya. Aku yang dulu hidup merdeka, bebas seperti burung. Terbang kemana angin membawanya. Iapun demikian, dari kota-kekota, tanpa tujuan jelas. Hanya melampiaskan hasrat. Bebas.  Namun, setahun terakhir ia mengurungku. Aku tak sebebas dulu. Untuk ke warungpun harus izin padanya. Ia memintaku tinggal dirumah, menunggunya dating seperti seorang istri yang menunggu suaminya datang.
Ia mencariku kemana-mana. Mendatangi setiap rumah temanku. Ia seperti kesetanan. Datang dan memaki teman-temanku. Ia tak menemukanku. Teman-temanku silih berganti menanyakan kabarku. Mereka bingung dengan kedatangannya yang tidak bersahabat. Aku menghilang selama berhari-hari. Walau, tak jauh dari mereka. Aku hanya menenangkan diri di rumah ini. Tak ada yang tahu, aku sembunyi dirumah ini. Rumah bersama milik sahabatku.
Namun, pada akhirnya Ia menemukanku. Saat menyelesaikan urusan kampusku. Dosenku mengejar. Memintaku menyelesaikan tugas akhirku. Ah… laki-laki itu Berlutut didepanku. Ia menangis-nangis memohon ampun. Namun, hatiku telah membatu. Tangisnya tak mampu membersihkan lukaku, mengembalikan cinta yang telah menguap setiap pagi. Setiap mengingat tamparan itu, seluruh harga diriku meluruh. Tamparan untuk kaumku harus dibayar dengan darah. Tamparan membuat kita tak berharga lagi. Dan ia telah memberikan hadiah itu. Walau, sakitnya tak lagi kurasakan. Aku hanya mampu menitikkan air mata, sekali. Dan setelah itu tak ada lagi tangis untuknya.
Ia merengek seperti anak kecil. Berjam-jam hingga badanku terasa kaku. Ia tak mau melepasku sebelum aku kembali padanya.  Benarkah cinta yang menggerakkannya untuk melakukan ini semua. Aku mencari pada tatapannya, namun tak kutemukan. Air matanya telah membasahi pakaianku. Ia menangis terlalu lama. Namun, aku tak peduli. Aku tetap bertahan. Aku menolak untuk kembali padanya. Sikapnya telah menghantuiku, mengganggu tidurku. Merendahkanku hingga dititik terendah.
Ia mengambil batu besar dan menghantamkan ke kepalanya. ia mungkin muak, karena aku tak bergeming. Atau mencari iba, agar aku kembali padanya. Darah menetes dari sela-sela rambutnya. Tak lama ia tak sadarkan diri. Aku hanya menatapnya. Tak ada lagi rasa, bahkan untuk iba sedikitpun.