Saturday, July 14, 2012

HIV AIDS


Aku mengenal mereka. Belum terlalu lama. Menulis cerita ini rasanya sangat berat. Hal pertama aku tak mendengar cerita ini langsung dari mereka. Aku takut salah, tapi jika aku salah, itu akan menjadi rasa syukur yang sangat besar. Kedua, hal ini terlalu sensitive, aku tak hendak melukai siapapun.
Keluarga dengan enam orang anak yang usianya tak terpaut jauh. Aku salah, belum melakukan apa-apa. Masih bingung mencari jalan yan tepat agar mereka mau brcerita padaku. tapi biarlah aku menulis ini, paling tidak membuatku lega dan bisa bernafas.
Yang bungsu menderita AIDS. Saya mendengarnya dari teman.  Beberapa kali mendiskusikannya. Tapi belum ada hasil, bagaimana pendekatan yang dilakukan agar mereka mau berbagi cerita. Tapi, aku belajar. Merasakan kehidupan mereka, berpikir bagaimana kerasnya hidup yang dijalani.
Keluarga urban yang berasal dari desa. Ada banyak di Makassar, tersebar diberbagai tempat. Tanpa tanah dan rumah yang layak huni, sedang disamping tempat mereka berdiri gedung-gedung bertingkat milik orang kaya. Keluarga yang mendapat hasil dari memungut botol-botol bekas minuman orang-orang berduit.
Ada banyak kita temui di Makassar. Pertama mendengar aku sangat shock, tentu saja. Siapapun yang mendengarnya pasti akan melakukan hal yang sama.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) sebuah penyakit yang menyerang system kekebalan kita setelah terjangkiti virus HIV dalam rentan waktu cukup lama. Lima hingga sepuluh tahun, atau mungkin juga lebih. Penyakit yang hingga hari ini belum ditemukan obatnya. Mungkin harus makan jintan hitam. Saya ingat pada salah satu bagian merk dari obat herbal yang kadang saya konsumsi itu, ada hadist tertulis. Obat bagi seluruh penyakit kecuali kematian.  Mungkin bisa menyembuhkan sakit ini.
Keluarga yang cukup besar. Pernah saya berpikir, kenapa orang tuanya tak menghentikan proses reproduksinya setelah mengetahui penyakit itu. Tapi, mereka bukan orang kaya yang bisa melakukan chek up rutin tiap bulan untuk mendeteksi penyakit mereka. Mereka tak mungkin berkunjung ke pelayanan kesehatan, seperti yang saya lakukan beberapa bulan lalu. Bukankah pelayanan kesehatan tak pernah berpihak pada orang miskin. Kesehatan selalu menjual jasa, dan siapa yang akan mampu membelinya.
Ini pelajaran penting. Bagaimana kenakalan itu bisa menjadi bencana buat keluarga kita. Dengar cerita, dulu ayahnya nakal. Menghabiskan banyak waktu bersama yang lain. Melakukan hubungan tanpa pengaman. Tanpa menyadari resiko yang akan muncul. Ia menularkan penyakit itu ke istrinya lalu ke anak-anaknya. Untung anak pertama mereka lolos. Menjadi satu-satunya yang tak positive, dan suatu hari mungkin akan menjadi satu-satunya penopang.
Beberapa hari lalu aku menangis mengingat hal ini. Membayangkan bocah kecil tak berdosa harus menanggung derita. Semua orang akan mati, dan kita tak pernah tahu seberapa lama umur kita. Tapi ini bukan hanya hidup dan mati. AIDS bukan penyakit yang bisa menular lewat udara. Virus HIV tak bisa bertahan lama di udara terbuka. Penularannya lewat darah, lewat ASI, dan juga lewat cairan vagina atau sperma. Bisa jadi juga lewat jarum suntik atau transfusi darah. Untuk anak-anaknya hal yang palin mungkin adalah lewat ASI. Atau mungkin sejak dalam kandungan.
Penderita AIDS tidak boleh dikucilkan, karena tak akan membuat sekelilingnya tertular dengan mudah. Lingkungan tempat tinggal mereka mengetahui penyakit itu. Mereka menerima hak tersebut. Mereka memberi ruang untuk tinggal bersama. Sementara kita orang-orang yang berada di luar selalu jijik dan tak berempati. Kita tak pernah peduli pada apa yang terjadi disekeliling kita.