Sejak seseorang
memberikan nomor HPku pada gadis itu, ia sering menelponku. kami menjadi sangat
akrab. Setiap malam ia akan bercerita hingga matahari perlahan menampakkan diri
di bagian timur rumahku. Ah, apa ini pantas aku sebut rumah, sedang yang aku
tempati hanya sebuah kamar berukuran 3 x 4. Tak ada kasur. Pakainku teronggok begitu saja
dalam ransel yang telah usang. Hanya sebuah tas besar berisi kain dagangan
disudut kamar.
Aku berada
jauh dari kampung. Sebagai seorang pemuda kampungku, sebuah keharusan untuk
tidak tinggal dirumah. Pemuda dikampungku tak pernah tinggal di desa. Mereka berkelana ke daerah lain untuk mencari
peruntungannya dengan menjual kain dan sarung. Aku telah setahun lebih berada
di daerah kalimantan, dan telah mendapatkan sebuah sepeda motor baru yang dicicil
tiap bulan.
Rani, nama
gadis itu. Sekalipun belum pernah melihat wajahnya, tapi aku sangat menyukai
suaranya. Dari ceritanya ia seorang karyawan di sebuah toko pakaian . Kami
masih satu daerah. Nasehat-nasehatnya selalu bisa membuatku tenang. Setiap
malam ketika ia menelponku. Aku hanya bisa membayangkan bagaimana wajah gadis
itu. Apakah wajahnya secantik suaranya
yang merdu. Orangnya mungkin telah dewasa. Usia kami memang sudah cukup matang.
Usiaku tak kurang dari 26 tahun, dan mungkin Rani tak jauh beda denganku. Rani
selalu memanggilku kakak, ntah siapa yang lebih tua. Ia telah berulang kali memintaku kembali. Aku
tak punya alasan pasti, tak mungkin kukatakan motorku membuatku tertinggal di
tempat ini. Ia tak setuju aku menyicil motor disini. Katanya itu akan membuat
aku tinggal lebih lama. .
Seperti biasa
malam ini ia menelponku. Kami bercerita
banyak, tentang adikku yang sedang kuliah, juga memakai jilbab seperti rani.
Walau tak pernah bertemu dengan rani aku sangat mengaguminya. Sangat sulit
menemukan gadis berjilbab di daerahku. Kebanyakan yang menggunakannya adalah
anak pesantren dan mereka yang sedang kuliah. Apa ia seperti adikku ya? tak
pernah melepas jilbabnya kecuali dirumah. Ia seperti adikku yang selalu
menasehatiku, kecuali untuk begadang sampai subuh tak pernah ada larangan. Ia
rela menghabiskan waktu tidurnya untuk bercerita denganku.
Aku orang yang
paling sulit jatuh cinta pada perempuan. Aku sebenarnya tak terlalu pusing
dengan kecantikan fisiknya. Aku membutuhkan gadis sederhana dan sangat perhatian dan sangat
sulit menemukannya saat ini, apalagi gadis-gadis belia seumuran adikku. Sangat
sulit dipercaya. Mereka lebih banyak yang main-main.
Malam ini aku
memintanya menjadi kekasihku. Ia telah menarikku sedemikian dalam, sehingga aku
selalu merindukan suaranya di setiap malam. Ia tak menjawab permintaanku, malah memintaku berpikir kembali. Aku belum
pernah melihat bagaimana wajahnya, begitu alasannya. Aku tau aku tak begitu
mengenalnya. Ia bertanya bagaimana kalau ia tak secantik yang aku bayangkan.
Aku tak peduli, karena aku telah jatuh cinta dan itu semakin menyiksaku.
Seminggu ia
tak pernah menelponku. Apa rani marah padaku, HPnya tak pernah aktif. Aku jadi
kebingungan sendiri. Dengan setia aku menunggu deringan hp setiap malam, juga
berusaha menelponnya. semoga ia mau
mengangkat telponku dan melanjutkan cerita cerita yang telah tertunda. Tahun
depan aku akan kembali. Aku akan melamarnya. Aku telah yakin dengan pilihanku.
Aku tak peduli wajahnya seperti apa. Kata-katanya telah menjadi nyanyian
pengantar tidurku.
Tidak tahan
dengan kerinduanku, akhirnya aku menelpon adikku. Ia menertawakanku, mengatakan
aku sudah cukup tua untuk jatuh cinta. Tau apa dia tentang cinta, atau mungkin adikku juga telah jatuh
cinta pada teman kuliahnya tapi tak berani mengatakannya padaku. Seperti rani,
ia menasehatiku. Bagaimana kalau rani tak seperti yang aku harapkan. Aku akan
kecewa dan sakit hati. Ah, adikku, sifatnya sangat mirip denganmu, dan semoga
kecantikannya pun sepertimu.
Aku memberikan
alamat dan no handphone rani. Adikku janji akan mencarikannya. Ia akan pulang jumat
nanti, katanya ia memang sudah rindu pada keluargaku. Andai boleh aku ingin
memutar waktu dan sekarang adikku telah berada di rumah, tapi itu tidak
mungkin.
Aku
bersemangat mengeluarkan motorku. Keinginan untuk pulang semakin besar. Hari
ini aku akan masuk ke perbatasan malaysia, menjual barang disana
mendapatkan untung yang lumayan. Nilai tukar mata uangnya lebih tinggi, jadi
untungnya bisa dua kali lipat. Tiga jam naik motor akhirnya aku sampai ke
daerah perbatasan. Ntah apa nama
kampungnya, tapi aku tidak peduli. Yang aku butuhkan orang-orang yang mau
membeli barang-barangku.
Aku istirahat
sebentar di sebuah warung, setelah letihku hilang aku mulai memasuki rumah
rumah penduduk satu persatu. Mereka menyambutku dengan baik. Sangat mudah
menjual kain batik karena itu sangat langka disana. Beberapa barangku telah
terjual. Hari belum lagi sore, masih ada waktu beberapa jam untuk berkeliling.
Aku masih
sempat memasuki sepuluh rumah sebelum jarum jam tangaku menunjuk angka 4. Sudah
saatnya kembali ke rumah. Aku tidak bisa menginap di tempat ini, disini tak ada penginapan, selain itu juga tidak ada surat izin masuk ke
negara lain.
Aku kembali ke warung
tadi dan menikmati segelas kopi , mengisi perutku dengan semangkuk mie. Kalau
adikku tahu aku makan mie lagi, ia pasti mengomel dengan sangat panjang. Ia
akan berceramah betapa tidak baiknya mie untuk aku. Tapi aku tidak peduli, mie
makanan yang paling murah sehingga aku bisa mengirit pengeluaranku.
Langit mulai
gelap, awan hitam dan tebal sepertinya tak mampu lagi menahan bebannya. Mengambil uang
dari dompet dan membayar makanan.
Aku segera melarikan motor kembali ke rumah. Belum setengah jalan hujan telah
mengguyur. Terpaksa berhenti di tengah jalan. Jas hujan yang kubeli kemarin
sore menjadi pembungkus barang daganganku. Aku tak ingin daganganku tersentuh
air. Hanya sebuah jaket yang membungkus badanku. Tak perlu waktu lama untuk
basah kuyup .
Hujan sangat
deras, Air bagai di tumpahkan dari langit. Tubuhku sangat sakit, air tak
ubahnya kerikil-kerikil kecil yang dilemparkan. Dua jam aku harus menderita
menahan sakit dan dingin. Aku sampai dirumah ketika azan isya telah
dikumandangkan. Perjalanan tadi sangat melelahkan. Sampai di rumah aku
bersin-bersin, suhu tubuhku mulai tak normal. Sepertinya demam akan menyerang.
Semangkuk mie kembali menemani malamku. Aku tak mampu lagi memasak nasi. Kali
ini ada telur setengah matang yang menemaninya. Setelah mangkuknya berisi udara
kosong, aku mencari sebutir parasetamol di ranselku. Adikku bulan lalu mengirim
obat dan multivitamin.
Deringan handphone
membangunkan aku. Malam telah larut, tadi aku langsung tertidur setelah makan
obat. Suhu badanku kembali normal. Handphoneku
belum berhenti berdering. Dari adikku, tumben ia menelponku malam-malam,
biasanya aku yang harus menghubunginya. Ia mendengar suaraku yang parau. Aku
tidak bisa membohonginya kalau aku sedang demam. Ia selalu punya firasat yang
kuat. Aku tidak dibolehkan begadang malam ini. Begadang akan memperparah
sakitku, jadi kalau aku mau cepat sembuh aku harus tidur lebih awal dan besok
tiadk boleh keluar. Aku harus kembali ke Malaysia besok. Hari ini aku
mendapat untung yang lumayan, bisa sekali bayar cicilan motorku. Ia memintaku
me non aktifkan Hpku, katanya biar tidak ada yang menggangguku. Aku tidak akan
melakukannya, siapa tau rani mau menghubungiku.
Setengah jam
aku medengar ocehannya, aku tidak membantahnya, karena ia memang lebih tahu.
Katanya kurang tidur yang membuat kondisi fisikku lemah, jadinya gampang sakit.
Ia memintaku istirahat.
###
Dua bulan
kemudian aku kembali ke kampung. Aku akan tinggal disana selama sebulan,
setelah itu kembali lagi ke kalimantan. Aku dan rani telah berpacaran tanpa
pernah bertatap muka. Adikku sangat kaget, katanya aku terlalu ceroboh. rani sangat senang mendengar kabar aku akan
pulang bgitupun keluargaku. Jadwal keberangkatanku belum diketahui siapapu. Aku
akan muncul begitu saja di depan kost adikku. Bersama kembali ke kampung.
Semuanya telah aku atur. Sudah setahun lebih aku tak melihat mereka, aku sangat
merindukannya.
Sampai di
rumah kelurgaku berkumpul. Ibu menangis haru bertemu denganku. Kebahagian itu
berubah ketika aku mengatakan aku akan kembali ke kalimantan. Mereka melarangku
kembali kesana. Aku terpaksa menceritakan cicilan motorku. Selama ini hanya aku
dan adikku yang tahu. Adikku bisa juga menyimpan rahasia. Setelah semuanya
istirahat aku mendekati adikku dan memaksanya cerita tentang rani. Ia tidak mau
bercerita. Aku disuruh melihatnya sendiri. besok aku akan memaksanya menemaniku
menemui rani. Ia telah duluan mengenalnya.
Aku ke tempat
kerjanya bersama adikku. Ia tak tahu kalau aku akan menemuinya hari ini. Adikku
menunjukkan toko tempat rani bekerja. Rani bekerja pada keluarganya sendiri. ia
dipercaya mengelola toko itu. Toko itu sangat sepi. Karyawannya hanya duduk
bercerita di depan pintu. Aku memperhatikan satu persatu tiga gadis itu.
Mungkin salah satu diantaranya adalah rani. Aku tidak akan menyesal. Wajah
ketiganya lumayan manis. Salah satunya terkesan genit. Mungkin cewek yang lebih
pendiam itu adalah rani. Salah satunya
berdiri melayaniku. Gadis yang pendiam itu. Apa ia raniku? Adikku telah muncul.
Kami memang sengaja tidak masuk bersamaan, bahkan pura-pura tidak kenal.
“Rani
kemana?”adikku bertanya.
“Tidak tau”
jawab salah seorang gadis.
Aku mendengar
pembicaraan mereka. Rani sedang keluar, kerumah teman katanya. aku jadi lesu,
aku tidak bisa menemui rani. Aku mencari baju yang cocok tapi tak ada lagi yang
sesuai seleraku. Setelah sedikit berbasa-basi pada karyawan yang menemaniku,
aku keluar dari toko itu. Tak lama adikku menyusul.
Kami menyusuri
jalanan. Aku mengajak adikku ke rumah rani. ia tidak mau, katanya rani tidak
ada di rumah. Rani bisa di temui di
rumahnya sebentar malam. Berputar-putar tanpa arah di kota. Depan sebuah toko, adikku menarik
masuk. Kemarin aku janji akan
membelikannya sebuah baju. Ia sibuk mencari baju, dari rak yang satu ke yang
lain. Setengah jam berada dalam toko. belum ada satu bajupun yang menarik
minatnya. Adikku keluar dengan wajah cemberut.
Sebuah sepeda
motor baru terparkir depan halaman. Adikku terus ke warung. Seorang perempuan
setengah baya duduk sendirian di ruang tamu. aku melihatnya sekilas. Perempuan
itu kelebihan berat badan beberapa kilogram. Wajahnya merah keunguan. Pasti ia
banyak menggunakan bedak pemutih yang membuat kulit terkelupas. Aku mengingat
kakakku pernah menggunakannya . Sebulan wajahnya sangat putih tapi setelah
beberapa lama terkena sinar matahari, wajahnya tak lagi putih. Mungkin tamu
kakakku.
Aku terus ke
kamar. Melihat handphoneku yang tadi sedang di chass.
Baterainya sudah penuh.
“ran…aku tadi ke tempatmu, kamu lagi dimana?”aku
mengirim pesan singkat.
Tak lama
sebuah pesan masuk. Aku membacanya. Sekarang
aku dirumahmu, kamu kemana sih, udah sejam aku menunggu. Cepat pulang ya…
“dia
rani…”pikirku. Aku tertunduk lesu. Semuanya jauh dari yang aku bayangkan. Ini
yang dimaksud adikku. Aku memang ceroboh.
Aku menemuinya
dan meminta maaf karena tak mengenalinya. Adikku datang juga. ia duduk di
sampingku menemani rani ngobrol. Aku
kebingungan sendiri. ntah apa yang ada dipikiranku. Semuanya jadi kacau. Rani ternyata seumuran kakakku. Tak lama
terdengar ibu memanggil adikku.
Kami kembali
berdua di ruang tamu. setengah jam adikku tak keluar-keluar juga. aku kira ibu
tadi memanggil adik membawakan minum untuk kami. Aku masuk ke dalam, wajah ibu
dan kakak cemberut, mereka duduk terpaku depan TV. Aku masuk ke kamar adikku,
ia sibuk dengan bacaannya.
“ibu melarangku
buat minum, ibu tidak suka, katanya rani tidak cocok”
Tidak cukup
sejam aku ngobrol dengan rani, ia sepertinya sadar kalau penghuni rumah itu tak
menyukainya.
Aku tahu ibu
dan kakak tak menyetujui hubungan kami.