Wednesday, November 21, 2012

Pacarku Rani


Sejak seseorang memberikan nomor HPku pada gadis itu, ia sering menelponku. kami menjadi sangat akrab. Setiap malam ia akan bercerita hingga matahari perlahan menampakkan diri di bagian timur rumahku. Ah, apa ini pantas aku sebut rumah, sedang yang aku tempati hanya sebuah kamar berukuran 3 x 4. Tak  ada kasur. Pakainku teronggok begitu saja dalam ransel yang telah usang. Hanya sebuah tas besar berisi kain dagangan disudut kamar.
Aku berada jauh dari kampung. Sebagai seorang pemuda kampungku, sebuah keharusan untuk tidak tinggal dirumah. Pemuda dikampungku tak pernah tinggal di desa. Mereka  berkelana ke daerah lain untuk mencari peruntungannya dengan menjual kain dan sarung. Aku telah setahun lebih berada di daerah kalimantan, dan telah mendapatkan sebuah sepeda motor baru yang dicicil tiap bulan.
Rani, nama gadis itu. Sekalipun belum pernah melihat wajahnya, tapi aku sangat menyukai suaranya. Dari ceritanya ia seorang karyawan di sebuah toko pakaian . Kami masih satu daerah. Nasehat-nasehatnya selalu bisa membuatku tenang. Setiap malam ketika ia menelponku. Aku hanya bisa membayangkan bagaimana wajah gadis itu. Apakah wajahnya secantik  suaranya yang merdu. Orangnya mungkin telah dewasa. Usia kami memang sudah cukup matang. Usiaku tak kurang dari 26 tahun, dan mungkin Rani tak jauh beda denganku. Rani selalu memanggilku kakak, ntah siapa yang lebih tua.  Ia telah berulang kali memintaku kembali. Aku tak punya alasan pasti, tak mungkin kukatakan motorku membuatku tertinggal di tempat ini. Ia tak setuju aku menyicil motor disini. Katanya itu akan membuat aku tinggal lebih lama.  .
Seperti biasa malam ini ia menelponku.  Kami bercerita banyak, tentang adikku yang sedang kuliah, juga memakai jilbab seperti rani. Walau tak pernah bertemu dengan rani aku sangat mengaguminya. Sangat sulit menemukan gadis berjilbab di daerahku. Kebanyakan yang menggunakannya adalah anak pesantren dan mereka yang sedang kuliah. Apa ia seperti adikku ya? tak pernah melepas jilbabnya kecuali dirumah. Ia seperti adikku yang selalu menasehatiku, kecuali untuk begadang sampai subuh tak pernah ada larangan. Ia rela menghabiskan waktu tidurnya untuk bercerita denganku.
Aku orang yang paling sulit jatuh cinta pada perempuan. Aku sebenarnya tak terlalu pusing dengan kecantikan fisiknya. Aku membutuhkan gadis  sederhana dan sangat perhatian dan sangat sulit menemukannya saat ini, apalagi gadis-gadis belia seumuran adikku. Sangat sulit dipercaya. Mereka lebih banyak yang main-main.
Malam ini aku memintanya menjadi kekasihku. Ia telah menarikku sedemikian dalam, sehingga aku selalu merindukan suaranya di setiap malam. Ia tak menjawab permintaanku,  malah memintaku berpikir kembali. Aku belum pernah melihat bagaimana wajahnya, begitu alasannya. Aku tau aku tak begitu mengenalnya. Ia bertanya bagaimana kalau ia tak secantik yang aku bayangkan. Aku tak peduli, karena aku telah jatuh cinta dan itu semakin menyiksaku.
Seminggu ia tak pernah menelponku. Apa rani marah padaku, HPnya tak pernah aktif. Aku jadi kebingungan sendiri. Dengan setia aku menunggu deringan hp setiap malam, juga berusaha menelponnya.  semoga ia mau mengangkat telponku dan melanjutkan cerita cerita yang telah tertunda. Tahun depan aku akan kembali. Aku akan melamarnya. Aku telah yakin dengan pilihanku. Aku tak peduli wajahnya seperti apa. Kata-katanya telah menjadi nyanyian pengantar tidurku.
Tidak tahan dengan kerinduanku, akhirnya aku menelpon adikku. Ia menertawakanku, mengatakan aku sudah cukup tua untuk jatuh cinta. Tau apa dia tentang   cinta, atau mungkin adikku juga telah jatuh cinta pada teman kuliahnya tapi tak berani mengatakannya padaku. Seperti rani, ia menasehatiku. Bagaimana kalau rani tak seperti yang aku harapkan. Aku akan kecewa dan sakit hati. Ah, adikku, sifatnya sangat mirip denganmu, dan semoga kecantikannya pun sepertimu.
Aku memberikan alamat dan no handphone rani. Adikku janji akan mencarikannya. Ia akan pulang jumat nanti, katanya ia memang sudah rindu pada keluargaku. Andai boleh aku ingin memutar waktu dan sekarang adikku telah berada di rumah, tapi itu tidak mungkin.
Aku bersemangat mengeluarkan motorku. Keinginan untuk pulang semakin besar. Hari ini aku akan masuk ke perbatasan malaysia, menjual barang disana mendapatkan untung yang lumayan. Nilai tukar mata uangnya lebih tinggi, jadi untungnya bisa dua kali lipat. Tiga jam naik motor akhirnya aku sampai ke daerah perbatasan. Ntah apa  nama kampungnya, tapi aku tidak peduli. Yang aku butuhkan orang-orang yang mau membeli barang-barangku.
Aku istirahat sebentar di sebuah warung, setelah letihku hilang aku mulai memasuki rumah rumah penduduk satu persatu. Mereka menyambutku dengan baik. Sangat mudah menjual kain batik karena itu sangat langka disana. Beberapa barangku telah terjual. Hari belum lagi sore, masih ada waktu beberapa jam untuk berkeliling.  
Aku masih sempat memasuki sepuluh rumah sebelum jarum jam tangaku menunjuk angka 4. Sudah saatnya kembali ke rumah. Aku tidak bisa menginap di tempat ini, disini  tak ada penginapan, selain itu juga tidak ada surat izin masuk ke negara lain.
Aku kembali ke warung tadi dan menikmati segelas kopi , mengisi perutku dengan semangkuk mie. Kalau adikku tahu aku makan mie lagi, ia pasti mengomel dengan sangat panjang. Ia akan berceramah betapa tidak baiknya mie untuk aku. Tapi aku tidak peduli, mie makanan yang paling murah sehingga aku bisa mengirit pengeluaranku.
Langit mulai gelap, awan hitam dan tebal sepertinya tak mampu lagi menahan bebannya. Mengambil  uang  dari dompet  dan membayar makanan. Aku segera melarikan motor kembali ke rumah. Belum setengah jalan hujan telah mengguyur. Terpaksa berhenti di tengah jalan. Jas hujan yang kubeli kemarin sore menjadi pembungkus barang daganganku. Aku tak ingin daganganku tersentuh air. Hanya sebuah jaket yang membungkus badanku. Tak perlu waktu lama untuk basah kuyup .
Hujan sangat deras, Air bagai di tumpahkan dari langit. Tubuhku sangat sakit, air tak ubahnya kerikil-kerikil kecil yang dilemparkan. Dua jam aku harus menderita menahan sakit dan dingin. Aku sampai dirumah ketika azan isya telah dikumandangkan. Perjalanan tadi sangat melelahkan. Sampai di rumah aku bersin-bersin, suhu tubuhku mulai tak normal. Sepertinya demam akan menyerang. Semangkuk mie kembali menemani malamku. Aku tak mampu lagi memasak nasi. Kali ini ada telur setengah matang yang menemaninya. Setelah mangkuknya berisi udara kosong, aku mencari sebutir parasetamol di ranselku. Adikku bulan lalu mengirim obat dan multivitamin.
Deringan handphone membangunkan aku. Malam telah larut, tadi aku langsung tertidur setelah makan obat. Suhu badanku kembali  normal. Handphoneku belum berhenti berdering. Dari adikku, tumben ia menelponku malam-malam, biasanya aku yang harus menghubunginya. Ia mendengar suaraku yang parau. Aku tidak bisa membohonginya kalau aku sedang demam. Ia selalu punya firasat yang kuat. Aku tidak dibolehkan begadang malam ini. Begadang akan memperparah sakitku, jadi kalau aku mau cepat sembuh aku harus tidur lebih awal dan besok tiadk boleh keluar. Aku harus kembali ke Malaysia besok. Hari ini aku mendapat untung yang lumayan, bisa sekali bayar cicilan motorku. Ia memintaku me non aktifkan Hpku, katanya biar tidak ada yang menggangguku. Aku tidak akan melakukannya, siapa tau rani mau menghubungiku.
Setengah jam aku medengar ocehannya, aku tidak membantahnya, karena ia memang lebih tahu. Katanya kurang tidur yang membuat kondisi fisikku lemah, jadinya gampang sakit. Ia memintaku istirahat.

###

Dua bulan kemudian aku kembali ke kampung. Aku akan tinggal disana selama sebulan, setelah itu kembali lagi ke kalimantan. Aku dan rani telah berpacaran tanpa pernah bertatap muka. Adikku sangat kaget, katanya aku terlalu ceroboh.  rani sangat senang mendengar kabar aku akan pulang bgitupun keluargaku. Jadwal keberangkatanku belum diketahui siapapu. Aku akan muncul begitu saja di depan kost adikku. Bersama kembali ke kampung. Semuanya telah aku atur. Sudah setahun lebih aku tak melihat mereka, aku sangat merindukannya.
Sampai di rumah kelurgaku berkumpul. Ibu menangis haru bertemu denganku. Kebahagian itu berubah ketika aku mengatakan aku akan kembali ke kalimantan. Mereka melarangku kembali kesana. Aku terpaksa menceritakan cicilan motorku. Selama ini hanya aku dan adikku yang tahu. Adikku bisa juga menyimpan rahasia. Setelah semuanya istirahat aku mendekati adikku dan memaksanya cerita tentang rani. Ia tidak mau bercerita. Aku disuruh melihatnya sendiri. besok aku akan memaksanya menemaniku menemui rani. Ia telah duluan mengenalnya.
Aku ke tempat kerjanya bersama adikku. Ia tak tahu kalau aku akan menemuinya hari ini. Adikku menunjukkan toko tempat rani bekerja. Rani bekerja pada keluarganya sendiri. ia dipercaya mengelola toko itu. Toko itu sangat sepi. Karyawannya hanya duduk bercerita di depan pintu. Aku memperhatikan satu persatu tiga gadis itu. Mungkin salah satu diantaranya adalah rani. Aku tidak akan menyesal. Wajah ketiganya lumayan manis. Salah satunya terkesan genit. Mungkin cewek yang lebih pendiam itu adalah rani.  Salah satunya berdiri melayaniku. Gadis yang pendiam itu. Apa ia raniku? Adikku telah muncul. Kami memang sengaja tidak masuk bersamaan, bahkan pura-pura tidak kenal.
“Rani kemana?”adikku bertanya.
“Tidak tau” jawab salah seorang gadis.
Aku mendengar pembicaraan mereka. Rani sedang keluar, kerumah teman katanya. aku jadi lesu, aku tidak bisa menemui rani. Aku mencari baju yang cocok tapi tak ada lagi yang sesuai seleraku. Setelah sedikit berbasa-basi pada karyawan yang menemaniku, aku keluar dari toko itu. Tak lama adikku menyusul.
Kami menyusuri jalanan. Aku mengajak adikku ke rumah rani. ia tidak mau, katanya rani tidak ada di rumah. Rani  bisa di temui di rumahnya sebentar malam. Berputar-putar tanpa arah di kota. Depan sebuah toko, adikku menarik masuk.  Kemarin aku janji akan membelikannya sebuah baju. Ia sibuk mencari baju, dari rak yang satu ke yang lain. Setengah jam berada dalam toko. belum ada satu bajupun yang menarik minatnya. Adikku keluar dengan wajah cemberut.
Sebuah sepeda motor baru terparkir depan halaman. Adikku terus ke warung. Seorang perempuan setengah baya duduk sendirian di ruang tamu. aku melihatnya sekilas. Perempuan itu kelebihan berat badan beberapa kilogram. Wajahnya merah keunguan. Pasti ia banyak menggunakan bedak pemutih yang membuat kulit terkelupas. Aku mengingat kakakku pernah menggunakannya . Sebulan wajahnya sangat putih tapi setelah beberapa lama terkena sinar matahari, wajahnya tak lagi putih. Mungkin tamu kakakku.
Aku terus ke kamar. Melihat handphoneku yang tadi sedang di chass. Baterainya sudah penuh.
“ran…aku tadi ke tempatmu, kamu lagi dimana?”aku mengirim pesan singkat.
Tak lama sebuah pesan masuk. Aku membacanya. Sekarang aku dirumahmu, kamu kemana sih, udah sejam aku menunggu. Cepat pulang ya…
“dia rani…”pikirku. Aku tertunduk lesu. Semuanya jauh dari yang aku bayangkan. Ini yang dimaksud adikku. Aku memang ceroboh.
Aku menemuinya dan meminta maaf karena tak mengenalinya. Adikku datang juga. ia duduk di sampingku  menemani rani ngobrol. Aku kebingungan sendiri. ntah apa yang ada dipikiranku. Semuanya jadi kacau.  Rani ternyata seumuran kakakku. Tak lama terdengar ibu memanggil adikku.
Kami kembali berdua di ruang tamu. setengah jam adikku tak keluar-keluar juga. aku kira ibu tadi memanggil adik membawakan minum untuk kami. Aku masuk ke dalam, wajah ibu dan kakak cemberut, mereka duduk terpaku depan TV. Aku masuk ke kamar adikku, ia sibuk dengan bacaannya.
“ibu melarangku buat minum, ibu tidak suka, katanya rani tidak cocok”
Tidak cukup sejam aku ngobrol dengan rani, ia sepertinya sadar kalau penghuni rumah itu tak menyukainya.
Aku tahu ibu dan kakak tak menyetujui hubungan kami.