Hari
ini, bersama Dewi dan Direktur WALHI Sulsel kami jalan jalan ke desa Galesong
Kota. Salah satu desa nelayan yang terletak di Kab. Takalar. Kami janjian
dengan Djabal, salah satu pemuda yang tergabung dalam organisasi Gramuda
Galesong. Kelompok ini telah berdiri sejak lama, bukan organisasi yang hanya
kongkow dipinggir jalan, tapi dengan segudang kegiatan yang bermanfaat untuk
anak muda.
Jaraknya
cukup jauh dari Makassar, ini menurutku. Untuk sampai ke desa tersebut, kita
bisa melewati jalur provinsi ataupun lewat Tanjung. Kami lewat jalur Tanjung,
jaraknya lebih dekat dan bisa menikmati aroma pantai yang telah dimodernisasi.
Kami
singgah sejenak di rumah Djabal. Kedua orang tuanya sangat ramah. Tak perlu
berlama lama. Aroma laut telah tercium. Dari depan rumah Djabal kami dapat
melihat pantai. Biru langit terpantul sangat indah. Berempat, kami jalan kaki
kesana. Selain bisa olah raga, tentu ini akan lebih ramah. Kami bisa berbagi
senyum dengan penduduk setempat.
Walau
terbilang dekat dari Makassar tapi suasana desa sangat terasa. Seseorang
mengajak singgah di rumahnya, padahal orang itu tak mengenal kami.
Beberapa
nelayan menyandarkan perahunya. Mereka baru saja berlabuh. Istri istri
menyambut, untuk membantu mengambil peralatan melaut suaminya. Aku berbisik ke
Dewi. “ mungkin mereka sangat bahagia dengan hal itu. Pulang, dan istri
menyambut ramah di tepi pantai.
Transaksi
kecil berlangsung, jual beli ikan hasil tangkapan. Ikan segar tentunya, belum
tersentuh dinginnya es batu. Ikan katamba, ikan merah, ikan tompo, tongko
tongko (pari). Ikan jenis ini diperoleh dengan memancing. Ikan katamba yang
besar biasanya di jual ke restoran. Membeli ikan disini tentu sangat murah.
Ikan pari yang kubayangkan sangat mahal, untuk ukuran kecil bisa diperoleh dengan
5.000,- . satu ikat ikan katamba hanya membutuhkan 15.000 - 30.000.
Selain
memancing ada juga nelayan yang menggunakan pukat/ jarring. Mereka mendapatkan
ikan ikan kecil dalam jumlah banyak. Pendapatan sekali melaut bervariasi, tak
menentu. Kadang banyak, kadang sangat sedikit. Pak Mustari, seorang nelayan
bercerita kadang mendapat 50.000 – 500.000, jika beruntung mereka bisa mendapat
hingga 1 juta rupiah.
Ini
tentu tak didapat dengan mudah. Iklim mulai tak menentu. Saat ini musim angin
barat, biasanya ini berlangsung di bulan januari hingga februari. Katanya
menunggu tahun baru Cina. Saat seperti ini merupakan saat yang sangat sulit
buat nelayan. Dg. Tayang panggilan Pak Mustari sudah 5 hari tak turun ke laut.
Sebagian nelayan akan menggunakan jasa Pappalele untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Jika meminjam 1.000.000,- maka akan dikenakan bunga 20% perbulan. Jadi
jika nelayan tak bisa membayarnya, maka bunga itu akan terus bertambah. Sebagian
besar nelayan sangat bergantung pada jasa Pappalele.
Pappalele tidak sekedar meminjamkan uang, beberapa nelayan
menggunakan perahu miliknya. Hasil yang didapat dari melaut akan di bagi dengan
pappalele. 40% dari hasil yang didapat akan di serahkan ke Pappalele, dari 40%
ini dibagi lagi. 20 % untuk dikantongi Pappalelenya, sedang 20% lagi simpanan
nelayan. Sisa 60% akan dibagi dua oleh nelayan yang melaut. Oh, iya untuk
melaut biasanya dalam satu perahu akan ada dua nelayan.
Nelayan
tak mampu mengakses perbankan. Untuk mendapatkan pinjaman dari bank mereka
harus memenuhi beberapa persyaratan administrasi dan jaminan. “ kalau laut ada
sertifikatnya, tentu kita bisa dapat pinjaman dari bank” celoteh Pak Mustari.
Sementara pinjaman dari tempat lain hampir tak ada. Ide untuk membangun sebuah
koperasi nelayan pernah terlontar oleh salah satu kendidat legislative, tapi
sayangnya sampai saat ini belum pernah direalisasikan.
Melaut
adalah rutinitas yang dimulai malam hari. Nelayan rata rata berangkat melaut
jam 12 malam, sebagian yang lain berangkat jam 1 dini hari. Untuk ke wilayah
tangkapan mereka harus menempuh jarak sejauh 30 mil, biasanya ini membutuhkan
waktu selama 2 jam.
Dulu
tak seperti itu. Di tahun 80an untuk mendapatkan ikan mereka hanya perlu ke
pulau Sanrobengi. Jarak tempuhnya ±15 menit. Ikan semakin menjauh, tak jarang
nelayan galesong ditangkap petugas Australia. Nelayan tak tahu batas batas
wilayah, tak tahu sejauhmana mereka harus melaut.
Selain
semakin jauhnya wilayah tangkap, nelayan juga harus berhadapan dengan Parere.
Parere menangkap ikan dengan menggunakan perahu besar dan pukat harimau. “
mereka menangkap ikan mulai dari kakek sampai cucu cucunya,” lelucon pak
Mustari. kehadiran Pa'Parere sudah ada sejak dulu. “seharusnya ada pembagian wilayah tangkap yang jelas antara nelayan
kecil dan Parere.
Untuk
menyiasati musim tangkap ikan, sebagian besar nelayan mencari ikan di
kab.Barru. mereka terkadang menetap hingga sebulan disana. Sejak dulu nelayan
Galesong terkenal pelaut tangguh. Lautan telah mengajarkan bagaimana bertahan
hidup.
Jalan
jalan itu ditutup dengan sajian sederhana dari Ramli. Salah satu anggota
Gramuda Galesong yang berprofesi sebagai nelayan. Ramli dan Fathur ketua
Gramuda membakar ikan. Ikan Pari dengan
racikan bumbu rahasia ala Ramli. Nasi hangat,
tumis kangkung, ikan bakar pari, ikan layang.
7
februari 2013
Bahagia
itu sederhana.
Terima
kasih buat Jabal, Fatur, dan Ramli