Tuesday, February 12, 2013

Menikmati Pesisir Galesong



Hari ini, bersama Dewi dan Direktur WALHI Sulsel kami jalan jalan ke desa Galesong Kota. Salah satu desa nelayan yang terletak di Kab. Takalar. Kami janjian dengan Djabal, salah satu pemuda yang tergabung dalam organisasi Gramuda Galesong. Kelompok ini telah berdiri sejak lama, bukan organisasi yang hanya kongkow dipinggir jalan, tapi dengan segudang kegiatan yang bermanfaat untuk anak muda.
Jaraknya cukup jauh dari Makassar, ini menurutku. Untuk sampai ke desa tersebut, kita bisa melewati jalur provinsi ataupun lewat Tanjung. Kami lewat jalur Tanjung, jaraknya lebih dekat dan bisa menikmati aroma pantai yang telah dimodernisasi.
Kami singgah sejenak di rumah Djabal. Kedua orang tuanya sangat ramah. Tak perlu berlama lama. Aroma laut telah tercium. Dari depan rumah Djabal kami dapat melihat pantai. Biru langit terpantul sangat indah. Berempat, kami jalan kaki kesana. Selain bisa olah raga, tentu ini akan lebih ramah. Kami bisa berbagi senyum dengan penduduk setempat.
Walau terbilang dekat dari Makassar tapi suasana desa sangat terasa. Seseorang mengajak singgah di rumahnya, padahal orang itu tak mengenal kami.
Beberapa nelayan menyandarkan perahunya. Mereka baru saja berlabuh. Istri istri menyambut, untuk membantu mengambil peralatan melaut suaminya. Aku berbisik ke Dewi. “ mungkin mereka sangat bahagia dengan hal itu. Pulang, dan istri menyambut ramah di tepi pantai.
Transaksi kecil berlangsung, jual beli ikan hasil tangkapan. Ikan segar tentunya, belum tersentuh dinginnya es batu. Ikan katamba, ikan merah, ikan tompo, tongko tongko (pari). Ikan jenis ini diperoleh dengan memancing. Ikan katamba yang besar biasanya di jual ke restoran. Membeli ikan disini tentu sangat murah. Ikan pari yang kubayangkan sangat mahal, untuk ukuran kecil bisa diperoleh dengan 5.000,- . satu ikat ikan katamba hanya membutuhkan 15.000 -  30.000.
Selain memancing ada juga nelayan yang menggunakan pukat/ jarring. Mereka mendapatkan ikan ikan kecil dalam jumlah banyak. Pendapatan sekali melaut bervariasi, tak menentu. Kadang banyak, kadang sangat sedikit. Pak Mustari, seorang nelayan bercerita kadang mendapat 50.000 – 500.000, jika beruntung mereka bisa mendapat hingga 1 juta rupiah.
Ini tentu tak didapat dengan mudah. Iklim mulai tak menentu. Saat ini musim angin barat, biasanya ini berlangsung di bulan januari hingga februari. Katanya menunggu tahun baru Cina. Saat seperti ini merupakan saat yang sangat sulit buat nelayan. Dg. Tayang panggilan Pak Mustari sudah 5 hari tak turun ke laut. Sebagian nelayan akan menggunakan jasa Pappalele untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jika meminjam 1.000.000,- maka akan dikenakan bunga 20% perbulan. Jadi jika nelayan tak bisa membayarnya, maka bunga itu akan terus bertambah. Sebagian besar nelayan sangat bergantung pada jasa Pappalele.
Pappalele tidak sekedar meminjamkan uang, beberapa nelayan menggunakan perahu miliknya. Hasil yang didapat dari melaut akan di bagi dengan pappalele. 40% dari hasil yang didapat akan di serahkan ke Pappalele, dari 40% ini dibagi lagi. 20 % untuk dikantongi Pappalelenya, sedang 20% lagi simpanan nelayan. Sisa 60% akan dibagi dua oleh nelayan yang melaut. Oh, iya untuk melaut biasanya dalam satu perahu akan ada dua nelayan.
Nelayan tak mampu mengakses perbankan. Untuk mendapatkan pinjaman dari bank mereka harus memenuhi beberapa persyaratan administrasi dan jaminan. “ kalau laut ada sertifikatnya, tentu kita bisa dapat pinjaman dari bank” celoteh Pak Mustari. Sementara pinjaman dari tempat lain hampir tak ada. Ide untuk membangun sebuah koperasi nelayan pernah terlontar oleh salah satu kendidat legislative, tapi sayangnya sampai saat ini belum pernah direalisasikan.
Melaut adalah rutinitas yang dimulai malam hari. Nelayan rata rata berangkat melaut jam 12 malam, sebagian yang lain berangkat jam 1 dini hari. Untuk ke wilayah tangkapan mereka harus menempuh jarak sejauh 30 mil, biasanya ini membutuhkan waktu selama 2 jam.
Dulu tak seperti itu. Di tahun 80an untuk mendapatkan ikan mereka hanya perlu ke pulau Sanrobengi. Jarak tempuhnya ±15 menit. Ikan semakin menjauh, tak jarang nelayan galesong ditangkap petugas Australia. Nelayan tak tahu batas batas wilayah, tak tahu sejauhmana mereka harus melaut.
Selain semakin jauhnya wilayah tangkap, nelayan juga harus berhadapan dengan Parere. Parere menangkap ikan dengan menggunakan perahu besar dan pukat harimau. “ mereka menangkap ikan mulai dari kakek sampai cucu cucunya,” lelucon pak Mustari. kehadiran Pa'Parere sudah ada sejak dulu. “seharusnya ada pembagian wilayah tangkap yang jelas antara nelayan kecil dan Parere.
Untuk menyiasati musim tangkap ikan, sebagian besar nelayan mencari ikan di kab.Barru. mereka terkadang menetap hingga sebulan disana. Sejak dulu nelayan Galesong terkenal pelaut tangguh. Lautan telah mengajarkan bagaimana bertahan hidup.
Jalan jalan itu ditutup dengan sajian sederhana dari Ramli. Salah satu anggota Gramuda Galesong yang berprofesi sebagai nelayan. Ramli dan Fathur ketua Gramuda membakar ikan.  Ikan Pari dengan racikan bumbu rahasia ala Ramli. Nasi hangat, tumis kangkung, ikan bakar pari, ikan layang. 

7 februari 2013
Bahagia itu sederhana.
Terima kasih buat Jabal, Fatur, dan Ramli