Monday, January 16, 2012

HAK ATAS TANAH

Tanah mestinya dibagi-bagi
Jika cuma segelintir orang yang menguasai
Bagaimana hari esok kaum tani
Tanah mestinya ditanami
Sebab hidup tak hanya hari ini
Jika sawah diratakan
Rimbun semak pohon dirubuhkan
Apa yang kita harap
Dari cerobong asap besi?


(Wji Tukul; Puisi Tanah,1989 Solo)

Eksistensi tanah merupakan bagian dari sejarah panjang kehidupan ummat manusia , dari sejak jaman batu hingga jaman industri dan teknologi sekarang ini. Begitu pentingnya, tanah merupakan sumber utama dan kelanjutan hidup manusia. Dengan tanah, manusia bisa bercocok tanam untuk konsumsi dan produksi. Dalam perjalanan waktu, tanah kemudian tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan keberlangsungan hidup seperti jaman sebelumnya. Tanah kemudian mengandung berbagai aspek kehidupan seperti aspek ekonomi dan politik.
Dalam kaitan dengan aspek ekonomi, tanah berkembang kearah yang lebih produktif baik untuk sektor pertanian maupun industri. Tidak mengherankan jika tanah dijadikan faktor produksi oleh para pemodal untuk nilai ekonomi seperti perkebunan dan industri kayu. Sementara itu tanah dalam perspektif wilayah , tanah juga merupakan syarat dasar atau faktor berdirinya suatu Negara selain faktor lainnya yakni rakyat dan pemerintahan. Bahkan tanah dalam beberapa kasus sering dijadikan isu politik seperti kasus Kedung Ombo dan Kasus Nipa. Premis inilah yang kemudian membawa kita pada pertanyaan , sejauhmana rakyat berdaulat atas tanah dan airnya?

Ketimpangan Kepemilikan Tanah
Sejatinya Negara tidak memiliki hak menguasai. Kewenangan Negara untuk menguasai tanah tersebut semata-mata untuk kepentingan rakyat lewat pengaturan dan menyelenggarakan persediaan, peruntukan , penggunaan tanah serta menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas tanah.
Pemahaman ini tidak lahir dari konsepsi Negara sebagai organisasi tertinggi yang didasari oleh mandat dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Walaupun pemahaman ini tidak sepenuhnya sebangun pada tingkat praksis seperti terlihat pada kebijakan pertanahan atau agraria yang belum pro rakyat. Salah satu persoalan adalah masih timpangnya kepemilikan tanah. Di satu sisi masih banyak rakyat yang tidak memiliki tanah disisi lain ada pemilikan dan penguasaan tanah yang berlebihan. Sebagai salah satu hak dan kebutuhan rakyat, tanah belum sepenuhnya dinikmati oleh sebagian rakyat Indonesia. Kondisi ini pula yang dianggap sebagai biang dari terjadinya kemiskinan. Dalam hal lain, banyak kasus yang justru rakyat yang telah lama hidup lewat penguasaan/pemilikan tanahnya harus tergusur oleh perkebunan atau industri.
Kondisi ini dirasakan oleg Dg.Nyonri dan kawan-kawannya yang mendiami Kelurahan Kassi-Kassi Makassar. Mereka sudah 5 tahun berkonflik dengan Rizal Tandiawan pengusaha terkenal di Makassar. Tanah yang selama ini dikuasai oleh warga tiba-tiba diusik oleh upaya pengambilalihan tanah tempat tinggal mereka oleh pengusaha tersebut dengan alas an sertifikat kepemilikan tanah atas nama pengusaha tersebut. “kami hanya ingin tanah untuk tempat tinggal, kemanami kami tinggal kodong kalau tanah kami harus diambilalih”tegas Dg.Nyonri dengan dialek Makassar. Mereka kini menunggu keputusan hukum yang adil terhadap tanah mereka. ” Semoga Negara masih mau memberi tempat kepada orang-orang miskin seperti kami” harap ketua Persatuan Masyarakat Kassi-Kassi itu.
Lain halnya dengan rakyat Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar , mereka justru sementara mengklaim kembali tanah mereka yang 30 tahun sebelumnya telah dikuasai secara paksa oleh perkebunan tebu PTPN XI Takalar. Beberapa diantara mereka kini telah menguasai kembali tanahnya dengan berbagai resiko seperti bentrok fisik dengan pihak PTPN yang memaksa kembali pengolahan tebu, hingga kriminalisasi aparat kepolisian.
Kedua contoh konflik pertanahan tersebut memiliki latar belakang kasus dan wilayah yang berbeda. Kasus pertama terkait wilayah perkotaan dengan keterbatasan lahan rakyat harus berhadapan dengan penguasa. Kasus kedua yang berada diwilayah pedesaan terkait dengan lahan perkebunan , rakyat mencoba mengambil alih kembali lahan yang menurut mereka akan memberikan masa depan yang lebih baik. Walaupun demikian kedua kasus tersebut menunjukkan persoalan yang sama yakni lahir dari adanya kepemilikan tanah tidak seimbang serta proses penguasaan yang merugikan rakyat.
Kondisi ini menjadi sebuah ironi bagi Indonesia yang mengandalkan pembangunannya pada sector pertanian. Padahal pertanian merupakan penyumbang terbesar, yakni 60% untuk perekonomian nasional. Tapi pada kenyataannya rakyat yang bota bene bertani dan tinggal dipedesaan justru tetap dalam kondisi yang memprihatinkan. Belum termasuk dengan limpahan sumber daya alam. Kekayaan alam Indonesia mulai dari tanah yang sangat subur , tambang, kekayaan laut, berbagai tumbuhan dan binatang. Tapi, kehidupan rakyat khususnya kaum tani ditandai dengan ketiadaan lahan olahan, pendapatan rendah dan serba tak pasti, dan sempitnya peluang usaha diluar sector pertanian. Akibatnya petani tidak mampu mengatasi problem rendahnya pendapatan yang berarti pula terus bertahan hidup dalam kondisi ekonomi yang serba tidak memadai.
Dengan potensi Indonesia sebagai Negara agraris tetapi dalam realitasnya belum mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Tanah yang sangat luas tak menjamin kehidupan yang layak. Salah satu penyebabya adalah tidak adanya pemerataan kepemilikan tanah kepada seluruh rakyat. Adanya pembagian tanah yang tak adil membuat rakyat tak mampu memenuhi kebutuhannya. “ Tanah di Indonesia tidak terbagi rata sejak dulu, tanah dimiliki oleh segelintir orang terutama pemuka agama dan bangsawan” ungkap Sardi Rasak salah seorang aktivis lingkungan.
Melihat kebelakang penyebab ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia akan membawa kita pada sejarah masyarakat Indonesia. Dimulai dari sistem komunal primitif yang hidup tanpa kelas, tetapi dalam kurung waktu yang lama penduduk asli kalah oleh bangsa Mon Khmer. Penduduk asli yang kalah dalam perang dijadikan sebagai budak. Hal ini berimplikasi pada penegakan batas-batas kekuasaan atas tanah. Peralihan dari sistem perbudakan ini dilanjutkan dengan sistem feodalisme oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara. Di Sulawesi Selatan terdapat puluhan kerajaan, dimana tanah sebagian besar dikuasai oleh keluarga kerajaan. Selanjutnya sistem ini digantikan oleh penjajahan bangsa barat. Kerajaan tak bisa berbuat banyak karena kekuatan penjajah jauh lebih besar dibandingkan kekuatan mereka. Penjajah membuat kehidupan rakyat semakin menderita. Mereka semakin kehilangan hak atas tanah yang mereka kelola. Rakyat kecil akhirnya harus menjadi buruh dan dipaksa bekerja pada tanah-tanah penjajah. Sedangkan tanah milik bangsawan tetap menjadi milik mereka.
Tahun 1945 akhirnya Indonesia dapat mengusir penjajah dan memperoleh kemerdekaannya. Namun hal ini tak membuahkan banyak perubahan. Tanah mereka tetap tak dapat dimiliki. Tanah yang dahulunya menjadi milik penjajah berpindah ke tangan pemerintah yang juga merupakan antek penjajah. Imperialis semakin menanamkan pengaruhnya pada rezim orde baru. Kekayaan alam banyak diserahkan ke bangsa asing. Pada beberapa perkebunan besar, tanah mereka pada awalnya disewa dengan harga yang sangat rendah dan dijadikan milik perusahaan. Kasus yang mengemuka di Sulsel adalah konflik lahan antara Rakyat Polongbangkeng Utara melawan PTPN XIV Takalar.
Masalah ini telah lama menjadi perhatian dan basis perjuangan para aktvis agraria seperti Zulkarnain Yusuf. Menurutnya hingga saat ini tanah masih dikuasai oleh segelintir orang. Tanah menjadi milik penguasa dan digunakan untuk kepentingan mereka. “penguasa mempunyai peran penting dalam ketidakadilan pembagian tanah. Pengeluaran izin HGU kepada pengusaha terlalu mudah , sehingga rakyat harus kehilangan haknya atas tanah yang mereka miliki” ungkap Zulkarnain Yusuf.
“Misalnya kasus PTPN XIV disinikan jelas tanah di Polongbangkeng Utara dan Polongbangkeng Selatan dulunya hanya disewa PTPN XIV dan HGUnya telah berakhir 2006 lalu. Tapi sekarang tanah tersebut telah diklaim PTPN XIV” tambah pria yang sekarang menjadi direktur Walhi Sulsel.
Berdasarkan inventarisasi kasus-kasus sengketa agraria yang dilakukan Resource Center KPA, diseluruh Indonesia sejak tahun 1970 telah terjadi setidaknya 1.920 kasus sengketa yang struktural sifatnya, yang mencakup luasan tidak kurang dari 10.512.938,41 hektar dan mengakibatkan tidak kurang dari 622.450 KK menjadi korban . Data ini menunjukkan intensitas konflik yang tertinggi di propinsi Jawa Barat (506 kasus), DKI Jakarta (186 kasus), Sumatera Selatan (183 kasus), Jawa Timur (172 kasus), dan Sumatera Utara (169 kasus). Sedangkan jenis sengketa yang paling tinggi intensitasnya adalah sengketa dilahan perkebunan atau yang berhubungan dengan perkebunan besar (430 kasus), pembangunan sarana umum dan fasislitas perkotaan (260 kasus), pembangunan perumahan dan kota baru (240 kasus), dan hutan produksi (159 kasus).

Reforma AgrariaPembaruan agraria (reforma agrarian) merupakan agenda penting dalam menghapuskan kemiskinan . berbagai analisis dan penelitian mencatan bahwa kemiskinan rakyat . Terutama petani berakar pada kurangnya akses rakyat terhadap tanah dan sumber daya alam. Dalam pembangunan sistem ekonomi nasional seharusnya pembenahan masalah pangan dan sektor pertanian dijadikan landasan prioritas program land reform, diawali dengan perombakan dan penataan kembali struktur penguasaan tanah yang timpang.
Menurut aktivis lingkungan Sardi Rasak, program land reform yang sempat dilaksanakan pertengahan tahun 60-an akhirnya kandas di tengah jalan karena frame berpikir penguasa yang melahirkan persoalan ketimpangan penguasaan tanah di sektor pertanian. “ reforma agraria dimulai lewat lahirnya Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang UUPA, tapi menghilang setelah masuknya orde baru. Revolusi hijau pada orde baru menghilangkan reforma agraria” ungkap Sardi Rasak.
Setelah rezim populis yang dipimpin Sekarno digantikan rezim orde baru, seketika ide dan program land reform dibuang ke keranjang sampah. Perubahan sistem politik dan ekonomi dibawah orde baru melaksanakan program pembangunan pertanian seiring perubahan pembangunan ekonomi kapitalis, yang bertumpu pada penguasaan monopoli dan kepentingan modal asing. Sektor pertanian tidak lagi ditempatkan sebagai kerangka ekonomi nasional, tetapi dijadikan penyangga guna memicu industrialisasi kepentingan investasi modal asing.
Mira Wijaya dalam buku “Catatan Tanah Untuk Demokratisasi” menyebutkan bahwa konflik pertanahan menjadi isu strategis yang terbentuk sistematis, akibat kekuasaan Negara yang sangat dominan dengan melakukan hegemoni , eksploitasi dan politik agraria yang tidak berpihak kepada rakyat.
Padahal untuk menuju suksesnya pembangunan pertanian tidak lepas dari persoalan keadilan agrarian yang mencakup redistribusi tanah kepada petani dan buruh tani, penataan produksi melalui pembangunan infrastruktur pertanian, fasilitas permodalan dan teknologi tepat guna., penguatan kelembagaan/organisasi petani dalam bentuk koperasi atau asosiasi petani, dan proteksi terhadap produk-produk pertanian.
Ketidakadilan kepemilikan tanah membuat rakyat harus menjadi buruh tani dan ketika sistem pertanian pun berubah, maka rakyat semakin kesulitan mendapatkan pekerjaan. Mereka banyak yang berpindah ke kota dan menjadi buruh. Lahan pekerjaan di kota tak selalu menjanjikan apalagi keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh rakyat.
Oleh Hamzah Libya menganggap ketidakadilan kepemilikan tanah sangat berdampak pada ketahanan pangan rakyat yang akan menjamin pembaruan Agraria. Menurut aktivis pembaruan agraria yang setia mendampingi petani dan nelayan Bulukumba ini, tidak ada jalan yang menjanjikan untuk mensejahterakan rakyat kecuali dengan distribusi yang adil bagi rakyat khususnya petani. “ kalau Negara ini mau bebas dari belenggu kemiskinan dan tetap berlandaskan pada pertanian maka distribusi tanah kepada rakyat menjadi agenda utama dalam kebijakan agrarian atau pertanahan” harap Hamzah Libya. Tanah diredistribusikan kepada kaum tidak bertanah sehingga kemungkinan penyediaan pangan sendiri lebih meningkat.
Dalam konteks struktur reformasi agraria perlu mendapat beberapa hal terutama jika ingin belajar dari Negara lain, terutama di Negara latin. Kerangka kerja reformasi agraria di Indonesia mesti mengacu pada UU No.5 tahun 1960. UUPA sebagai dasar legal pembaruan agraria. Kendati masihperlu pengkajian ulang kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Penyempurnaan UUPA perlu dilakukan melalui format amandemen. Atas dasar hasil kaji ulang dan amandemen UUPA maka masalah keagrariaan dapat diatasi dengan dasar hukum yang kuat, komprehensif, adil, danberkelanjutan. Beberapa mandat tentang reforma agraria telah lama dikeluarkan seperti Ketetapan MPR No IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang dikukuhkan TAP MPR No. I tahun 2003, dan ditegaskan dalam TAP MPR No.V tahun 2003.

Jalan Panjang Menuju Keadilan Agraria
Memiliki sejengkal tanah menjadi mimpi buruh tani yang miskin. Namun hal tersebut terasa berat. Pembagian tanah yang adil menjadi tugas penguasa. Penyebab utama terjadinya ketimpangan dalam struktur agraria adalah adanya hubungan produksi yang tidak seimbang dan bersifat dominan antar orang atau kelompok tertentu. Bentuk hubungan produksi yang tidak seimbang ini dapat terjadi dalam berbagai tingkat kehidupan bermasyarakat. Bentuk hubungan ini menciptakan hukum dan birokrasi untuk melanggengkan terjadinya ketimpangan struktur agraria.
Hak atas kepemilikan (the right to property) bisa menjadi jaminan dan dasar keberhakan melalui dua cara. Pertama, pemilikan tanah memungkinkan untuk mengolah beberapa produk pangan yang diperlukan oleh sipenanam dan keluarganya. Kedua, pemilikan asset produktif memungkinkan menghasilkan komoditi yang bisa ditukar dengan barang-barang yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Karena itu hak untuk bekerja menjadi elemen penting dalam menjamin keberhakan.
Reforma agraria dikatakan sebagai jalan redistribusi tanah yang adil. “ Reforma agraria merupakan jawaban logis dari berbagai masalah struktur social agraria di masyarakat manapun” ungkap Kurniawan Sabar salah satu aktivis FMN (Front Mahasiswa Nasional) “. Sepanjang sejarah agraria , kelas-kelas penguasa mengambil kekuasaan atas sumber daya ekonomi yangpaling pokok. Kelas feodal menguasai tanah untuk menimbun kekayaan dan kejayaan bagi dirinya sendiri.
Dalam pandangan Sardi rasak, pelaksanaan reforma agrarian harus tetap mengacu pada kondisi social budaya daerahnya. “ Sulawesi dan Jawa berbeda, jadi pelaksanaannya tidak bisa disamakan. Di Jawa tanah sejengkal bisa jadi bahan perkelahian, sedangkan di Sulawesi kehilangan tanah 1 hektar tak jadi masalah” .
“ Untuk mencapai keadilan agraria di Sulawesi haruslah menghilangkan jejak –jejak feodalisme yang masih kental. Keadilan agraria bukan pekerjaan mudah . masyarakat kita masyarakat yang masih menurut pada sisa-sisa feodal. Ini masalah yang harus kita tuntaskan”. Tambah Sardi Razak.
Reforma agraria pada akhirnya membutuhkan konteks yang jelas dan kongkrit untuk keberlangsungan pengembangan suatu wilayah. Untuk konteks Sulawesi menurut Hamzah Libya harus memperhatikan penguatan kapasitas organisasi rakyat . Dalam hal ini organisasi rakyat mestilah ditempatkan sebagai motor utama. Elemen lainnya seperti LSM, akademisi, jurnalis, mahasiswa sebaiknya mengambil peranan sebagai fasilitator untuk memperkuat posisi rakyat.
Hanya saja menurut Zulkarnaen Yusuf , dari berbagai bentuk fasilitasi yang dilakukan tersebut haruslah menyentuh subtansi pendidikan kritis sehingga rakyat kecil sampai pada kesadaran akan haknya atas sumber-sumber agraria.

(tulisan ini telah dipublikasikan pada Buletin Paralegal LBH Makassar tahun 2008)

Belajar dari Moel

Ke Barrang lompo, tidak sendirian tentunya. Perjalanan pertama menyusuri pulau di wilayah Makassar. Pulau yang kubentuk pada pikiranku jauh berbeda dengan realitas yang kudapatkan. Namun, itu tak penting. Seharusnya 7 orang berangkat bersamaan pagi itu menumpang sebuah kapal besar milik H.Dahri. Novita sari namanya.
Kapal berangkat dari Makassar setiap pukul 11.00, tidak akan menunggu lama, karena setelah itu ombak akan tinggi dan angin timur akan mulai mengganas. Sejam dalam perjalanan, kuhabiskan dengan melelapkan mata. Dermaga Barrang lompo sangat ramai. Banyak orang telah menunggu kapal. Mungkin menunggu pesanan, atau orang-orang yang mereka cintai.
Barrang Lompo merupakan bagian dari Makassar, beberapa kawan mengistilahkan pulau ini sebagai sebuah metropolis kecil. Tanah menjadi barang langka,dan menjadi hal paling mahal. hampir tak ada ruang kosong. Penduduknya pun lebih dari satu etnis.
Barrang lompo seperti kota kecil yang sangat ramai, penduduknya sangat padat. Kumulai sore dengan mengelilingi kota kecil itu, bersama teman kecilku Ija.
Pagi kedua di Barrang Lompo, melewati beberapa menit di dermaga usai mengantar beberapa kawan yang akan kembali ke Makassar hari itu. Pertemuan selalu menyenangkan, namun pada akhirnya kita akan berpisah. Dan pada waktunya nanti kita betul-betul akan pergi, meninggalkan dunia.
Kapal terakhir telah bergerak meninggalkan dermaga. Dua anak kecil berdiri disudut dermaga. Aku mendekat, hendak mengambil gambarnya. Bocah itu mungkin bermimpi suatu hari iapun akan pergi melihat kota.
Salah satu bocah itu menangis. Mungkin mereka bertengkar,pikirku. Air matanya tambah deras. Bajunya ditarik untuk mengelap ingus. Aku mendekati mereka. Membujuknya agar berhenti menangis. Bocah laki-laki dengan tatapan nanar tak bersemangat. Ibunya mungkin diantara orang-orang yang akan beranjak meninggalkan pulau.
Aku bertanya pada temannya.
“ ada kakaknya dikapal itu” temannya menunjuk salah satu kapal yang telah berlalu. Beberapa bocah memang naik ke kapal itu. Mungkin salah satu diantara mereka adalah kakaknya.
“pergimi kakakku, hilangki nanti dikota. Tidak ada natemani. Tidak ada uangnya juga” ia bicara dengan tersendak-sendak.
Moel namanya. Bocah laki-laki berusia 9 tahun yang kutemukan di dermaga. Ia memberiku pelajaran berharga. Tentang cinta dan kesederhanaannya.
Moel hidup berdua dengan kakaknya. Ibunya telah meninggal dunia, sedang bapaknya pergi ntah kemana. Dari teman kecilku Khadijah, ia bercerita tentang Moel. Moel dan kakaknya tinggal bersama tantenya. Setiap pagi dua bersaudara itu akan keliling pulau menjajakan songkola dan penganan lainnya. Setelah itu mereka akan berangkat sekolah. Moel duduk di kelas II SD. Pulang sekolah mereka kembali keliling pulau mencari plastik-plastik bekas dan hasilnya mereka jual ke pengepul.
Pernah saya merasakan hal yang sama. Menangis di pelabuhan. Tak hanya sekali. Berpisah adalah hal berat yang sering terjadi, namun harus kita lalui. Dulu, saya harus melepas kakakku berangkat kerja di Kalimantan. Dan saya tak kuasa mengantar kepergiaanya, berharap akan ada kesempatan untuk melihatnya kembali.
Setiap orang selalu mempunyai cara untuk mengungkapkan cintanya, tak pernah sekalipun kusenandungkan lewat kata, bagaimana kecintaan itu pada mereka. Tak harus, dan aku tak perlu mengatakannya, seperti Moel yang mengurai cintanya lewat tangis. Kuurai cinta itu tanpa sepatah kata.