Monday, January 16, 2012

Belajar dari Moel

Ke Barrang lompo, tidak sendirian tentunya. Perjalanan pertama menyusuri pulau di wilayah Makassar. Pulau yang kubentuk pada pikiranku jauh berbeda dengan realitas yang kudapatkan. Namun, itu tak penting. Seharusnya 7 orang berangkat bersamaan pagi itu menumpang sebuah kapal besar milik H.Dahri. Novita sari namanya.
Kapal berangkat dari Makassar setiap pukul 11.00, tidak akan menunggu lama, karena setelah itu ombak akan tinggi dan angin timur akan mulai mengganas. Sejam dalam perjalanan, kuhabiskan dengan melelapkan mata. Dermaga Barrang lompo sangat ramai. Banyak orang telah menunggu kapal. Mungkin menunggu pesanan, atau orang-orang yang mereka cintai.
Barrang Lompo merupakan bagian dari Makassar, beberapa kawan mengistilahkan pulau ini sebagai sebuah metropolis kecil. Tanah menjadi barang langka,dan menjadi hal paling mahal. hampir tak ada ruang kosong. Penduduknya pun lebih dari satu etnis.
Barrang lompo seperti kota kecil yang sangat ramai, penduduknya sangat padat. Kumulai sore dengan mengelilingi kota kecil itu, bersama teman kecilku Ija.
Pagi kedua di Barrang Lompo, melewati beberapa menit di dermaga usai mengantar beberapa kawan yang akan kembali ke Makassar hari itu. Pertemuan selalu menyenangkan, namun pada akhirnya kita akan berpisah. Dan pada waktunya nanti kita betul-betul akan pergi, meninggalkan dunia.
Kapal terakhir telah bergerak meninggalkan dermaga. Dua anak kecil berdiri disudut dermaga. Aku mendekat, hendak mengambil gambarnya. Bocah itu mungkin bermimpi suatu hari iapun akan pergi melihat kota.
Salah satu bocah itu menangis. Mungkin mereka bertengkar,pikirku. Air matanya tambah deras. Bajunya ditarik untuk mengelap ingus. Aku mendekati mereka. Membujuknya agar berhenti menangis. Bocah laki-laki dengan tatapan nanar tak bersemangat. Ibunya mungkin diantara orang-orang yang akan beranjak meninggalkan pulau.
Aku bertanya pada temannya.
“ ada kakaknya dikapal itu” temannya menunjuk salah satu kapal yang telah berlalu. Beberapa bocah memang naik ke kapal itu. Mungkin salah satu diantara mereka adalah kakaknya.
“pergimi kakakku, hilangki nanti dikota. Tidak ada natemani. Tidak ada uangnya juga” ia bicara dengan tersendak-sendak.
Moel namanya. Bocah laki-laki berusia 9 tahun yang kutemukan di dermaga. Ia memberiku pelajaran berharga. Tentang cinta dan kesederhanaannya.
Moel hidup berdua dengan kakaknya. Ibunya telah meninggal dunia, sedang bapaknya pergi ntah kemana. Dari teman kecilku Khadijah, ia bercerita tentang Moel. Moel dan kakaknya tinggal bersama tantenya. Setiap pagi dua bersaudara itu akan keliling pulau menjajakan songkola dan penganan lainnya. Setelah itu mereka akan berangkat sekolah. Moel duduk di kelas II SD. Pulang sekolah mereka kembali keliling pulau mencari plastik-plastik bekas dan hasilnya mereka jual ke pengepul.
Pernah saya merasakan hal yang sama. Menangis di pelabuhan. Tak hanya sekali. Berpisah adalah hal berat yang sering terjadi, namun harus kita lalui. Dulu, saya harus melepas kakakku berangkat kerja di Kalimantan. Dan saya tak kuasa mengantar kepergiaanya, berharap akan ada kesempatan untuk melihatnya kembali.
Setiap orang selalu mempunyai cara untuk mengungkapkan cintanya, tak pernah sekalipun kusenandungkan lewat kata, bagaimana kecintaan itu pada mereka. Tak harus, dan aku tak perlu mengatakannya, seperti Moel yang mengurai cintanya lewat tangis. Kuurai cinta itu tanpa sepatah kata.