Wednesday, September 17, 2008

Bikin Hancur Pendidikan

Kamis,11 september 2008
Akhirnya kuliah hari ini usai sudah. Setelah dosennya keluar, aku juga meninggalkan kelas itu. Tak ada lagi yang membuatku bertahan lama ditempat ini. Tak ada teman, lagi pula telah waktunya memenuhi panggilan Tuhan. Samar…tapi membuatku lebih kuat memilih kembali ke PKM. Dari jauh salah satu petinggi lembaga kemahasiswaan menghadiahkan senyumannya. Tepat di depanku ia berhenti. Pertanyaan biasa ketika lama tak bertemu seseorang.
“gimana kabarnya, kanda?” panggilan yang mulai terasa aneh bagiku.
“biasa aja”
Akhirnya menemaninya cerita. Ia menanyakan aktifitasku di luar kampus. tak ada jawaban yang pasti. Aku tak punya kesibukan akhir-akhir ini, selain menghabiskan waktu di taman belakang Pers.
Ia bercerita tentang BLU yang tak lama lagi akan diterapkan, juga bertanya padaku, kenapa tidak bias menerima BHP.
Aku tak pernah sepakat dengan BHP. Seperti plesetannya kawan-kawan BHP itu Bikin Hancur Pendidikan. Apa yang bias aku dapat dari BHP selain perasaan jengkel dan marah karena sekian banyak orang yang tak lagi bias sekolah. Teringat ade’ku yang ketiga. Waktu pulang awal puasa kemarin, giliran dia yang mengeluh semakin tingginya pembayaran SPPnya, belum kewajiban membeli buku paket dari guru. SPPnya sekarang hamper sama dengan SPP mahasiswa UNHAS non Exact. Diluar pungutan-pungutan lainnya. Anak tetanggaku juga tak jadi melanjutkan sekolah karena membayangkan tak akan mampu membiayai pendidikan anaknya. Kalau demikian pendidikan itu untuk siapa???untuk orang-orang berduit, untuk pejabat , untuk mereka yang berkuasa.
Menurut gadis itu. Sudah saatnya kita menerima BHP, untuk urusan lainnya kita harus mencari jalan keluar agar semuanya bias terwadahi. Katanya perjuangan menolak setiap kebijakan pemerintah out tak akan membuahkan apa-apa. Hanya lelah dan cacian hingga mulut berbusa, namun tak aka nada yang peduli. Perubahan harus oleh banyak orang, tidak dari segelintir orang.
Pernahkah perubahan itu berjalan singkat. Indonesia butuh 52 tahun untuk menumbangkan rezim Soeharto, bukan dalam waktu sehari, sebulan ataupun setahun. Dan haruskah kita berpangku tangan menunggu keajaiban dating. Esok pendidikan di Indonesia telah gratis. Esok tak ada lagi orang yang tak menikmati pendidikan karena ia miskin…
mimpi yang tak akan pernah ada…
Kalau setiap orang harus membayar mahal untuk pendidikannya, dan jika setiap orang tak lagi bias menikmati kekayaan di negerinya sendiri, tak lagi ada gunanya Pembukaan UUD 45 juga UUDnya sendiri.
Lantas apa yang menjadi dasar pembuat kebijakan itu, selain memberikan kepuasan bagi mereka karena melihat anak-anak itu menangis tak bisa menikmati pendidikan lagi…

RAMADHAN

Hari ke 17 ramadhan, rumah pelangi yang kembali berwarna dengan kehadiran wajah-wajah baru. ada yang lagi magang. ehm...wajah baru mereka tentu memberi warna baru. ada tulisan tentang ramadhan yang hampir kadaluarsa...

Kesederhanaan itu kemana?

“met datang dalam penerbangan RAMADHAN AIR Nomor penerbangan 1429 H dengan tujuan TAQWA. Para penumpang harap mengencangkan sabuk PERSAUDARAAN dan menegakkan kursi IMAN, penerbangan ini bebas asap PERSELISIHAN perjalanan di tempuh selama 30 hari, atas nama seluruh awak kabin yang bertugas, kami sekeluarga mengucapkan “MOHON MAAF LAHIR dan BATHIN”
“bila candaQ membuat luka, bila janjiku terbatas lupa, bila hatiku salah menduga, hanya ada 1 kata yaitu , maaf…”Marhaban yaa RAMADHAN’ Maafin ya…sobat;>”
“teman.maapkan aku, atas segala kesalahan yang akusengaja/tidak. Selamat menunaikan ibadah puasa romadon.”
Ramadhan telah datang, menyabangi kita semua setelah 11 bulan lamanya bebas makan-minum. Bulan penuh ampunan demikian ceramah uztads.
Ramadhan penuh belanja, demikian sebuah MADING memuat tulisan untuk edisi terbarunya. Tak bisa disalahkan, bahkan kita bias mengangguk-angguk tanda setuju. Pada bulan ramadhan pusat perbelanjaan (Mall) kebanjiran pembeli. Masyarakat berbondong-bondong menguras isinya hingga pemilik modal akab tertawa bahagia menyaksikan pembeli yang lupa pada hakekat ramdhan.
Ramadhan yang seharusnya mengajarkan kita pada kesederhanaan, merasakan lapar yang di derita kaum dhuafa telah beralih. Justru ramadhan menjadi tempat peristirahatan dimana kita hidup berfoya-foya.
Kesederhanaan itu telah hilang, berganti dengan pola konsumtif yang berlebihan. Kita tak lagi sadar ramadhan adalah tempat mensucikan diri, tapi lebih sebagai ritual agama yang harus dipenuhi, tanpa bias memetik hikmah yang ada di dalamnya.

“MARHABAN YAA RAMADHAN….semoga kita bias mengisinya dengan kesederhanaan dan hati yang lapang. Tak lebih dari pesan singkat (SMS) yang membahagiakan pemilik operator telekomunikasi.

Monday, September 8, 2008

Tentang BKM

siang tadi aku menemukan sebuah surat tercecer. iseng aku kemudian membukanya. Sebuah surat pemberitahuan kepada anggota UKPM. intinya setiap anggota UKPM tidak boleh menerima beasiswa BKM, kalo suatu saat nanti ditemukan maka akan mendapat sanksi organisasi "Penonaktifan sebagai anggota".
lama tak mendengar berita BKM,mungkin saja dananya sudah cair, dan dinikmati oleh kita yang tak sepantasnya menerima dana tersebut.
Btw...sebuah tulisan tentang BKM masih berdiam diri di folderku...aku copy aja dan posting disini. Hanya cuap-cuap yang ga' jelas...


Uang Tutup Mulut Buatmu…
Mendadak BKM akan digulirkan pemerintah. Setiap universitas baik negeri maupun swasta mendapat jatah 10% dari jumlah keseluruhan mahasiswa. Dana ini didapat dari pemotongan subsidi BBM. Bagi sebagian orang menganggap dana ini tidak jauh beda dengan dana BLT. Masyarakat diberikan dana untuk meringankan bebannya, namun tak tepat sasaran. Rakyat berusaha dibodohi dan membentuk opini public kalau kenaikan BBM adalah hal yang wjar yang harus diterima. Kalau sebelumnya pemotongan subsidi BBM digunakan untuk Raskin, Jamkesmas, dana BOS, dan BLT, belakangan muncul BKM yang dari awalnya tidak termasuk dalam program pemerintah. Dana ini terkesan uang tutup mulut. Agar kita bungkam dan juga menerima kenaikan BBM. Toh menerima BKM sama saja dengan menerima kenaikan BBM.
Dana BKM baru ramai dibicarakan setelah maraknya protes mahasiswa hampir disetiap tempat. Di UNHAS sendiri ada 3.598 mahasiswa yang akan menerima BKM. Katanya uang haram ini akan diterima selama 2 semester. Sekali terima 500 ribu. Angka yang menggiurkan tanpa perlu kerja keras.
3,6 M, angka yang tidak sedikit ditengah kondisi masyarakat yang sangat memprihatinkan. Dana sebanyak itu harusnya digunakan untuk membantu masyarakat kecil. Membangun sarana prasarana sehingga setiap orang bisa menikmatinya. Pemerintah yang menaikkan BBM untuk melindungi pembengkakan dana APBD justru mengambur-hamburkan dana yang tak sedikit jumlahnya. Ada puluhan universitas negeri dan ratusan swasta di Indonesia dengan jumlah mahasiswa yang tak sedikit. Jika UNHAS saja telah menghabiskan 3,6 M jumlah APBD belum ditambah universitas lainnya.
Selain itu kalau pemerintah melihat kedepan, pemberian BKM tak akan memberi pengaruh apa-apa. dana itu hanya bersifat sementara, dan bisa jadi hanya dihamburkan. “Anggap saja kita kejatuhan durian runtuh”. Dana BKM tidak akan menyelesaikan permasalahan bangsa pun tak akan mengurangi 15juta orang miskin baru yang akan lahir karena kenaikan BBM.
BKM tak pantas diterima, dana ini sangat tidak tepat sasaran. Dana itu adalah dana haram masyarakat miskin yang akan dinikmati mahasiswa. Dan sangat disayangkan penerimaan dana ini tidak dengan procedural yang jelas. BKM tak jauh beda dengan jalan kote yang dijajakan keliling kampus. Kalau membeli jalangkote beberapa mahasiswa kadangkala berpikir membelinya karena lagi bokek. BKM tak membutuhkan apa-apa. Mahasiswa hanya perlu menuliskan nama dan menandatangani formulir pendaftarannya, persyaratan lainnya bisa diurus belakangan.
“kemarin saya di panggil dosenku, memintaku menuliskan ke bagian kemahasiswaan menulis nama dan tanda tangan untuk BKM” sony bercerita ditaman eden kemarin.
Ketika konsolidasi peristiwa UNAS di gedung IPTEKS, seorang mahasiswa sastra juga mengaku staf fakultasnya menawarkan beasiswa yang sama.
Lain halnya di Ekonomi kemarin sore, ketika berjalan menuju Sastra bersama Irsyan, ada seorang temannya yang duduk di meja resepsionis dan pun menawarkan BKM.
Jika ini dana kompensasi BBM, seharusnya prosedur penerimaannya diperketat. Tapi kalau mau melihat sekilas, prosedur penerimaan BLT jauh lebih sulit.
BKM harus ditolak…BKM hanya akan membungkam mulut kita, hingga tak mampu lagi berkata-kata dan melawan Betapa memalukannya kalau kemarin kita berteriak lantang menolak kenaikan BBM dan BLT, lantas uang 500ribu meredakan kita. Mahasiswa bukan rakyat kecil yang tak punya pendidikan, yang bisa menerima setiap titah pemerintah tanpa berpikir panjang.
Atau kita memang tak pantas menyandang gelar maha-siswa…
(Dien)

serpihan dari Malino




tahun ke V meninggalkan bangku SMU. rindu akan kekonyolan masa itu tetap ada dan hidup. ia telah menjadi bagian berharga juga menjadi salah satu langkah yang telah di lewati. kemarin bertemu dengan Anet, Ana, Upiek,n Hena. kembali direncanakan pertemuan berikutnya setelah lebaran nanti. andai bisa jalan-jalan lagi seperti taon lalu, menikmati akhir semester di Malino. aku menemukan file fotonya dari kemarin. sengaja di posting, agar kalo ada yang liat bisa mengenangnya kembali.
MiZZZZZZZZ U All to Alumni SMADA Sengkang 03...
aq tunggu reuniannya...

Friday, September 5, 2008

untuk Sahabat

Salam…!!!
Aku kembali menulis, walau surat pertama tak pernah ku kirim. Padahal jika mau , aku tak harus menunnggu ada orang yang akan berangkat ke tempatmu seperti dulu. Aku juga tak harus mengantarnya ke kantor pos, dan menunggu balasan datang hingga berminggu-minggu. Sekarang telah ada internet, ada email yang bisa mengirimnya dalam hitungan detik. Ntah kenapa jarang lagi bersua denganmu, juga yang lainnya. Padahal telah ada handphone di tanganku. Hasil kerja setahun lalu.
Mungkin semuanya benar, telah berubah. Aku bukan lagi anak kecil seperti dulu. Gadis manja yang ingin selalu diperhatikan. aku juga tau waktu telah mendewasakanmu, pun kesibukan membuat kita lupa pada hal-hal kecil yang dulu sering kita lakkukan.
Merindu…
Setiap kenangan pasti menimbulkan kerinduan. Hingga kita tak mampu berkutit, hingga membuat kita betah duduk berjam-jam hanya untuk mengenangnya. Tersenyum , kadang tertawa sendirian, tak jarang pula air mata yang harus menetes karena ingin semuanya terulang kembali.
Sahabat…
Kata itu selalu ada, hingga kita tak mampu lagi mengoceh. Walau tak ada lagi surat setiap bulan.

Sahabat…setiap aku kembali ke titik normal, selalu ada masa yang membuatku jatuh dan kembali dititik nol. Selalu ada harapan yang menghilang. Kadang member ketakutan sendiri, walau aku tau itu bukan sekali atau dua kali terjadi. Aku sadar selalu berulang, tanpa pernah mampu merubahnya kembali.
Semangat…ntah ia menghilang kemana setiap saat, menyisakan nestapa yang terus mengganggu. Menyisakan patahan yang tak bisa tersambung.

Aku tak ingin selemah ini. aku ingin tetap ada, tetap berdiri walau ombak datang menerjang tanpa henti.
Tapi bagaimana semuanya bisa ada, tanpa hadirmu, ia , kita dan mereka. Aku bukan manusia sempurna yang bisa hidup sendirian. Kehadiran kalian adalah penopang tetap kokohnya rumahku.

Sahabat ….aku merindukanmu…

Azal mula, 23 mei 2008
Tembang kenangan PHB

Sudut Matteko

Angka 14.00 telah lewat, dan jam itu terus bergerak, meninggalkan detik demi detik, menjadi menit. Hingga 60 menit berlalu, akhirnya truk yang akan membawa kami ke Matteko datang juga. Ehm…aku membayangkan kawasan karst yang hijau, penuh kebun buah dan bunga. Perjalanan yang sangat menyenangkan. Aku mengiyakan saja ketika teman-teman dari korpala mengajak kesana. BAKSOS di desa ERELEMBANG, GOWA. Menurut survey katanya daerah itu rawan terserang diare dan batuk. Aku sempat heran, kawasan pegunungan masyarakatnya banyak yang terkena diare. Akhirnya kemarin aku mencari bahan-bahan penyuluhan dengan memanfaatkan akses dunia maya. Air bersih bukan satu-satunya penyebab orang terserang diare. Aku telah membaca beberapa referensi dan membuat power pointnya. Semoga bisa membantu nantinya di lokasi itu.

Untuk sampe ke Matteko, kita harus melewati kawasan wisata Malino, pikiranku tak henti menerawang, membayangkan keindahan alam daerah yang akan kami kunjungi. Truk itu cukup penuh , walau tidak sepadat kondisi busway di Jakarta, paling ngga aku masih bisa mendapat tempat kosong untuk duduk dan meluruskan kakiku. Tumpukan carel berisi pakaian bekas dan buku, depect peserta dan, obat-obatan serta peralatan panitia lainnya mengambil tempat yang tak sedikit dalam truk. Beberapa webbing di ikat melintang tak beraturan jadi tempat pegangan agar tak terjatuh.beberapa orang duduk di dinding truk. Aku tak bisa melihat keluar. dinding truk yang tinggi menghalangi kami, sementara dipinggir-pinggirnya juga ada beberapa orang yang memilih berdiri. Sesekali mereka menjinjitkan kakinya melihat keluar. Ada beberapa orang yang tak aku kenal, dan penampilan mereka lebih mentereng dibanding yang lain. Rambut yang telah direbonding, . Belakangan aku mengetahui kalau mereka kuliah di FKG, pantas saja beberapa orang menggunakan kawat gigi, Memasuki daerah gowa, jalanan mulai tak bersahabat. Terdapat lobang disana-sini, juga debu-debu yang beterbangan. Perbaikan jalan tak henti dilakukan, hampir setiap tahunnya, namun jalan-jalan di Indonesia tak pernah bisa bertahan lama. Sebagian dananya telah lenyap sehingga kualitasnya tak pernah bisa baik.

Jalanan semakin terjal dan mendaki. Setiap orang yang tadinya telah lelap harus terbangun. Mobil berderik keras. Aku berpikir kayu-kayunya telah tua dan mungkin saja jadi hancur. Ahh…berbagai kemungkinan negative muncul dibenakku. Apa mungkin kita akan terlempar masuk jurang, atau badan truk ini akan terpisah, dan kami akan terhempas kesakitan.

Mobil mengerem tanpa bisa bergerak. Beberapa orang yang duduk di dinding truk melompat turun. Seseorang berteriak menyuruh yang lainnya mencari batu. Emh…mobilnya masuk lubang. Sekeliling hanya hutan-hutan dengan bunyi mahluk alam tanpa henti.

Rumah-rumah penduduk mulai kelihatan. Aku berpikir inilah desa yang akan kami tuju. Aku men-aktif-kan HP, sekedar melihat perputaran jarum jam. 22.30. pintu truk dibuka. Sebagian berlompatan turun. Aku masih sibuk mencari depeck dengan memanfaatkan cahaya HP.

“kita akan melanjutkan perjalanan”

D:\PERSONAL\deenie\flash\101MSDCF\DSC09871.JPG

Sebuah rumah dengan cahaya lampu temaram. “kita sudah sampai”, seseorang berteriak dari belakang. Aku tersenyum, perjalanan melelahkan akhirnya berakhir malam ini. Aku akan membaringkan tubuhku dan terlelap.

Rumah penduduk berbentuk rumah panggung. Hanya rumah yang kami tuju yang bercahaya, sementara yang lainnya telah gelap gulita.di daerah ini belum ada listrik, tapi pemilik rumah yang kami tempati kreatif hingga beliau dapat menikmati cahaya lampu dengan memanfaatkan tenaga kincir. Bau kotoran kerbau menusuk hidung. Kemarin kak daud mengatakan kalau kandang sapi penduduk berada di kolong rumah. Sebuah selang air melintas dikolong rumah. Aku mencari sambungannya dan membersihkan kakiku. Airnya sangat dingin. Menusuk hingga ke sum-sum tulang.

Udaranya segar banget. Belum terkena dampak modernisasi. Matteko jauh dari peradaban kota. Untuk sampai ke daerah ini butuh enam jam dari Makassar. Listrik belum ada, sehingga tak ada alat elektronik seperti TV dan radio. Aku merasa jatuh cinta pada desa ini. Menjauh dari peradaban kota lebih baik. Disini masyarakatnya masih ndeso.

Rumah-rumah panggung penduduk yang tak punya ventilasi. Tak ada jendela, kandang sapi di kolong. Tak ada jamban, rumah yang berjauhan jaraknya. Aku terus berpikir kenapa daerah ini rawan diare. Air mereka masih bersih, diambil langsung dari mata air dipegunungan.

Matteko adalah setitik kecil daerah terpencil yang ada di Indonesia. Daerah lain masih banyak yang kondisinya jauh lebih memprihatinkan. Pedalaman yang belum tersentuh pendidikan sama sekali. Aku bersedih sekaligus gembira dengan kondisi daerah ini. Miris memang, namun ketika membandingkan dengan realitas kota yang jauh lebih kejam. Maka pilihan hidup tenang di desa tanpa gengsi dan kompetisi jauh lebih baik.

Di daerah ini belum ada SD negeri , hanya ada SD dan SMP muhammadiyah, namun itu telah membuat masyarakatnya tak buta huruf. Mereka adalah orang-orang cerdas dengan sarana yang tak memadai. Aku jadi teringat buku lascar pelangi buatan andrea hirata. Anak-anak yang antusias berangkat sekolah walau harus jalan kaki dengan jarak yang tak sedikit, sementara kondisi kota yang tak cukup 1 kiloan harus ditempuh dengan motor ataupun pete-pete. Kondisi lingkungan membentuk kita. Sekolah muhammadiyah yang hanya terdiri dari tiga kelas. Kelas itu dipake berganti-ganti dengan anak SMP.

Ada beberapa masyarakat yang sempat mengenyam pendidikan tinggi hingga bangku kuliah. Mereka yang akhirnya kembali dan mendirikan sekolah itu. Walau tenaga pengajar masih terbatas, tapi tak menurunkan niat anak-anaknya untuk belajar.

Baksos korpala mempunyai beberapa item kegiatan; sirkumsisi, pemeriksaan kesehatan, penyuluhan kesehatan, penyuluhan peternakan, vaksinasi ternak, juga sumbangan pakaian bekas, buku pelajaran dan alqur’an.

Pukul 10.00 masyarakat mulai berdatangan. Mereka tak kenal umur. Mulai dari anak kecil sampe nenek dan kakek-kakek. Setiap perempuan yang datang menggunakan pakaian tertutup. Kerudung menutupi rambut mereka. Seorang gadis dengan jilbab menutupi sekujur tubuhnya, membuatkku terperanjat keget. Anak kecil dengan hidung meler dan tubuh yang hangat karena demam. Mereka berlarian, ada yang mengintip dijendela memperhatikan pak dokter memeriksa pasiennya. Bayi yang terlelap dalam pangkuan sang ibu. Mereka bahagia dan simpatik dengan kegiatan ini. Semuanya datang berobat. Wajar saja, seorang dokter puskesmas tak pernah menginjakkan kaki di desa terpencil seperti ini. Menurut cerita yang aku dengar, kalau ada warga yang sedang sakit, mereka harus dibawa dengan tandu sampai mendapatkan kendaraan umum. Tak jarang ibu hamil yang ditandu melahirkan ditengah jalan.

Ketiadaan tenaga medis di desa-desa terpencil menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian dan pesakitan juga angka kelahiran yang tinggi. diare telah mengambil nyawa beberapa orang. Belum lagi penyakit lainnya.

Sebenarnya disetiap daerah selalu ada satu bidan desa. Namun bidan desa matteko tak pernah menyabanginya. Hamper semua daerah terpencil di Indoensia seperti ini.

Tapi tanpa bidan desa yang memantau perkembangan balitanya. Aku dapat melihat kalau mereka sehat-sehat. Tubuh bongsor yang padat. Mata bercahaya. Saying perubahan cuaca yang tak jelas membuat mereka sakit-sakitan. Cuaca sangat jarang bersahabat beberapa tahun terakhir. Global warming menjadikan musim semakin tak beraturan, musim hujan yang terlalu lama, musimm kemarau yang hanya sebentar, dengan hawa yang sangat panas.

Masyarakat dengan antusias duduk di ruangan. Mereka memperhatikan materi yang terpampang di depan mereka. Ada LCD yang dibawa panitia, hingga masyarakat bisa juga membaca langsung bahannya. Aku memulai dengan memperkenalkan diare pada mereka. Menjelaskan penyebab, hingga pengobatan dan pencegahannya. Sejam berlangsung, aku menjelaskan kalau mereka bisa tak terkena diare lagi asal menjaga pola hidupnya. Air adalah salah satu penyebaran bakteri diare, juga bahwa kandang sapi yang ada di bawah kolong rumah membuat mreka gampang terserang penyakit.

Terakhir mengingatkan bahwa hal sederhana seperti mencuci tangan sebelum menyentuh makanan adalah hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menghindari berbagai penyakit.

Sejam menjelaskan, aku member kesempatan pada masyarakat untuk bertanya. Silih berganti mereka bertanya, aku menjawab seadanya sesuai kemampuanku. Seorang bapak bertanya tentang ibu menyusui, katanya ada seorang bayi yang tidak bisa menyusui dari ibunya sementara ketika ia menyusu pada orang lain, bayi itu tenang-tenang saja. Mukaku memerah mendengarnya. Aku sadar ternyata aku belum siap menjadi seorang penyuluh. Untung saja aku tidak penyuluhan kespro, pasti ngga bisa dan grogi. Kawan-kawan yang ada di ruangan itu tersenyum dan memintaku menjawabnya. Irman tertawa kecil di depan laptopnya.

“ini pertanyaan kedua untuk kasus yang sama hari ini?”aku memulai pembicaraan itu. Bayi itu sangat sensitive, sehingga sedikit saja, mereka bisa merasakan adanya perbedaan rasa. Bisa jadi pada waktu pertama menetek, bayinya merasa asi itu pahit, mungkin karena payudaranya tidak bersih atau ibunya sedang sakit, sehingga asi yang dikeluarkan jadi aneh. Sehingga bayinya tidak suka. Untuk mengatasinya hal paling penting adalah menjaga kebersihan tubuh kita dan memakan makanan yang sehat. “

Tiga jam berlalu. Akhirnya penyuluhan itu usai juga. Pengobatan juga dah selesai dari tadi. Di depan panitia mulai memasang layar untuk nonton sebentar malam. Ada pemutaran film “dennias” sudah lama aku ingin menonton film itu, namun tak pernah kesampaian. Selalu saja ada halangan. Anak kecil berlarian dilapangan. Mereka bermain dengan riang. Permaianan berkelompok sangat berharga. Mereka diajarkan untuk saling menolong, bekerjasama. Sayang di kota permaianan-permainan rakyat harus terganti dengan PS2 dan game computer.

Aku mengitari lapangan. Mencari jejak-jejak lukisan alam yang lain. Gunung yang hijau dari sudut yang lain. Di depanku sebuah sungai dengan aliran air yang kecil membuatku bergerak mendekat. Ada bunga-bunga putih bertebaran menutupinya. Aku berpikir itulah edelweiss. Namun ternyata salah, bunga-bunga itu berasal dari tanaman liar yang tumbuh tinggi menutupi badan sungai. Aku tak bisa menuruni sungai itu. Ada pagar dari pohon yang ditumpuk melintang membatasi setiap sisinya. Pinggirnya sangat terjal, mungkin masyarakat takut mereka terjatuh. Apalagi disekitar sekolah itu menjadi arena bermain anak-anak mereka.

Aku mendekat ke pohon pinus. Dibagian bawah batangnya telah ada guratan pisau melintang yang teratur. Ujungnya menyatu dan ada potongan seng yang sengaja dipasang di ujung tadi. Potongan seng itu berakhir pada sebuah tempurung kelapa yang disangga potongan kayu. Getah-getah pinus mengalir ke tempurung tadi. Aku mengambil sepotong kayu kecil. Mencolek getah tadi. Bening dan lengket.

“getah itu bisa terbakar” kak daud telah berdiri di belakangku.

Katanya getah ini digunakan untuk campuran pernis. Temannya duduk di rumput tak jauh dari tempatku berdiri. Aku berjalan kesana dan duduk di dekatnya. Kami kembali membicarakan masalah kesehatan penduduk, melihat kecenderungan penyakit pasien yang telah diperiksa. Aku menanyakan kasus beberapa warga yang kakinya bengkak. Awalnya aku mengira penyakit tersebut karena alergi, seperti tubuhku yang kadang membengkak karena kena air hujan. Tapi ternyata bukan itu penyebabnya. Katanya bengkak pada kaki bisa karena beberapa hal, termasuk penyakit jantung. Nah pada kasus tersebut, tak ditemukan identifikasi tersebuat. Menurut perkiraan kak daud itu gejala cikungunya. Aku kaget mendengarnya. Kasihan masyarakat kalau perkiraan itu benar, sementara di daerah ini tak pernah didatangi petugas kesehatan.

Panitia sebagian telah kembali ke base camp. Tempat ini tak memberi kebosanan. Keindahan yang tak terungkap. Keindahan yang selalu memberi ketenangan, menyejukkan. Ibu-ibu yang masih duduk bercengkrama, menikmati segarnya udara kala senja. Suasana kampong yang takkan pernah ada di belantara kota.

Matahari semakin bergerak ke barat meninggalkan siluet di belahan barat. Aku beranjak pulang. Esok truk akan kembali membawa kami ke Makassar. Mengembalikan kami pada hiruk pikuk kota.