Friday, September 5, 2008

Sudut Matteko

Angka 14.00 telah lewat, dan jam itu terus bergerak, meninggalkan detik demi detik, menjadi menit. Hingga 60 menit berlalu, akhirnya truk yang akan membawa kami ke Matteko datang juga. Ehm…aku membayangkan kawasan karst yang hijau, penuh kebun buah dan bunga. Perjalanan yang sangat menyenangkan. Aku mengiyakan saja ketika teman-teman dari korpala mengajak kesana. BAKSOS di desa ERELEMBANG, GOWA. Menurut survey katanya daerah itu rawan terserang diare dan batuk. Aku sempat heran, kawasan pegunungan masyarakatnya banyak yang terkena diare. Akhirnya kemarin aku mencari bahan-bahan penyuluhan dengan memanfaatkan akses dunia maya. Air bersih bukan satu-satunya penyebab orang terserang diare. Aku telah membaca beberapa referensi dan membuat power pointnya. Semoga bisa membantu nantinya di lokasi itu.

Untuk sampe ke Matteko, kita harus melewati kawasan wisata Malino, pikiranku tak henti menerawang, membayangkan keindahan alam daerah yang akan kami kunjungi. Truk itu cukup penuh , walau tidak sepadat kondisi busway di Jakarta, paling ngga aku masih bisa mendapat tempat kosong untuk duduk dan meluruskan kakiku. Tumpukan carel berisi pakaian bekas dan buku, depect peserta dan, obat-obatan serta peralatan panitia lainnya mengambil tempat yang tak sedikit dalam truk. Beberapa webbing di ikat melintang tak beraturan jadi tempat pegangan agar tak terjatuh.beberapa orang duduk di dinding truk. Aku tak bisa melihat keluar. dinding truk yang tinggi menghalangi kami, sementara dipinggir-pinggirnya juga ada beberapa orang yang memilih berdiri. Sesekali mereka menjinjitkan kakinya melihat keluar. Ada beberapa orang yang tak aku kenal, dan penampilan mereka lebih mentereng dibanding yang lain. Rambut yang telah direbonding, . Belakangan aku mengetahui kalau mereka kuliah di FKG, pantas saja beberapa orang menggunakan kawat gigi, Memasuki daerah gowa, jalanan mulai tak bersahabat. Terdapat lobang disana-sini, juga debu-debu yang beterbangan. Perbaikan jalan tak henti dilakukan, hampir setiap tahunnya, namun jalan-jalan di Indonesia tak pernah bisa bertahan lama. Sebagian dananya telah lenyap sehingga kualitasnya tak pernah bisa baik.

Jalanan semakin terjal dan mendaki. Setiap orang yang tadinya telah lelap harus terbangun. Mobil berderik keras. Aku berpikir kayu-kayunya telah tua dan mungkin saja jadi hancur. Ahh…berbagai kemungkinan negative muncul dibenakku. Apa mungkin kita akan terlempar masuk jurang, atau badan truk ini akan terpisah, dan kami akan terhempas kesakitan.

Mobil mengerem tanpa bisa bergerak. Beberapa orang yang duduk di dinding truk melompat turun. Seseorang berteriak menyuruh yang lainnya mencari batu. Emh…mobilnya masuk lubang. Sekeliling hanya hutan-hutan dengan bunyi mahluk alam tanpa henti.

Rumah-rumah penduduk mulai kelihatan. Aku berpikir inilah desa yang akan kami tuju. Aku men-aktif-kan HP, sekedar melihat perputaran jarum jam. 22.30. pintu truk dibuka. Sebagian berlompatan turun. Aku masih sibuk mencari depeck dengan memanfaatkan cahaya HP.

“kita akan melanjutkan perjalanan”

D:\PERSONAL\deenie\flash\101MSDCF\DSC09871.JPG

Sebuah rumah dengan cahaya lampu temaram. “kita sudah sampai”, seseorang berteriak dari belakang. Aku tersenyum, perjalanan melelahkan akhirnya berakhir malam ini. Aku akan membaringkan tubuhku dan terlelap.

Rumah penduduk berbentuk rumah panggung. Hanya rumah yang kami tuju yang bercahaya, sementara yang lainnya telah gelap gulita.di daerah ini belum ada listrik, tapi pemilik rumah yang kami tempati kreatif hingga beliau dapat menikmati cahaya lampu dengan memanfaatkan tenaga kincir. Bau kotoran kerbau menusuk hidung. Kemarin kak daud mengatakan kalau kandang sapi penduduk berada di kolong rumah. Sebuah selang air melintas dikolong rumah. Aku mencari sambungannya dan membersihkan kakiku. Airnya sangat dingin. Menusuk hingga ke sum-sum tulang.

Udaranya segar banget. Belum terkena dampak modernisasi. Matteko jauh dari peradaban kota. Untuk sampai ke daerah ini butuh enam jam dari Makassar. Listrik belum ada, sehingga tak ada alat elektronik seperti TV dan radio. Aku merasa jatuh cinta pada desa ini. Menjauh dari peradaban kota lebih baik. Disini masyarakatnya masih ndeso.

Rumah-rumah panggung penduduk yang tak punya ventilasi. Tak ada jendela, kandang sapi di kolong. Tak ada jamban, rumah yang berjauhan jaraknya. Aku terus berpikir kenapa daerah ini rawan diare. Air mereka masih bersih, diambil langsung dari mata air dipegunungan.

Matteko adalah setitik kecil daerah terpencil yang ada di Indonesia. Daerah lain masih banyak yang kondisinya jauh lebih memprihatinkan. Pedalaman yang belum tersentuh pendidikan sama sekali. Aku bersedih sekaligus gembira dengan kondisi daerah ini. Miris memang, namun ketika membandingkan dengan realitas kota yang jauh lebih kejam. Maka pilihan hidup tenang di desa tanpa gengsi dan kompetisi jauh lebih baik.

Di daerah ini belum ada SD negeri , hanya ada SD dan SMP muhammadiyah, namun itu telah membuat masyarakatnya tak buta huruf. Mereka adalah orang-orang cerdas dengan sarana yang tak memadai. Aku jadi teringat buku lascar pelangi buatan andrea hirata. Anak-anak yang antusias berangkat sekolah walau harus jalan kaki dengan jarak yang tak sedikit, sementara kondisi kota yang tak cukup 1 kiloan harus ditempuh dengan motor ataupun pete-pete. Kondisi lingkungan membentuk kita. Sekolah muhammadiyah yang hanya terdiri dari tiga kelas. Kelas itu dipake berganti-ganti dengan anak SMP.

Ada beberapa masyarakat yang sempat mengenyam pendidikan tinggi hingga bangku kuliah. Mereka yang akhirnya kembali dan mendirikan sekolah itu. Walau tenaga pengajar masih terbatas, tapi tak menurunkan niat anak-anaknya untuk belajar.

Baksos korpala mempunyai beberapa item kegiatan; sirkumsisi, pemeriksaan kesehatan, penyuluhan kesehatan, penyuluhan peternakan, vaksinasi ternak, juga sumbangan pakaian bekas, buku pelajaran dan alqur’an.

Pukul 10.00 masyarakat mulai berdatangan. Mereka tak kenal umur. Mulai dari anak kecil sampe nenek dan kakek-kakek. Setiap perempuan yang datang menggunakan pakaian tertutup. Kerudung menutupi rambut mereka. Seorang gadis dengan jilbab menutupi sekujur tubuhnya, membuatkku terperanjat keget. Anak kecil dengan hidung meler dan tubuh yang hangat karena demam. Mereka berlarian, ada yang mengintip dijendela memperhatikan pak dokter memeriksa pasiennya. Bayi yang terlelap dalam pangkuan sang ibu. Mereka bahagia dan simpatik dengan kegiatan ini. Semuanya datang berobat. Wajar saja, seorang dokter puskesmas tak pernah menginjakkan kaki di desa terpencil seperti ini. Menurut cerita yang aku dengar, kalau ada warga yang sedang sakit, mereka harus dibawa dengan tandu sampai mendapatkan kendaraan umum. Tak jarang ibu hamil yang ditandu melahirkan ditengah jalan.

Ketiadaan tenaga medis di desa-desa terpencil menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian dan pesakitan juga angka kelahiran yang tinggi. diare telah mengambil nyawa beberapa orang. Belum lagi penyakit lainnya.

Sebenarnya disetiap daerah selalu ada satu bidan desa. Namun bidan desa matteko tak pernah menyabanginya. Hamper semua daerah terpencil di Indoensia seperti ini.

Tapi tanpa bidan desa yang memantau perkembangan balitanya. Aku dapat melihat kalau mereka sehat-sehat. Tubuh bongsor yang padat. Mata bercahaya. Saying perubahan cuaca yang tak jelas membuat mereka sakit-sakitan. Cuaca sangat jarang bersahabat beberapa tahun terakhir. Global warming menjadikan musim semakin tak beraturan, musim hujan yang terlalu lama, musimm kemarau yang hanya sebentar, dengan hawa yang sangat panas.

Masyarakat dengan antusias duduk di ruangan. Mereka memperhatikan materi yang terpampang di depan mereka. Ada LCD yang dibawa panitia, hingga masyarakat bisa juga membaca langsung bahannya. Aku memulai dengan memperkenalkan diare pada mereka. Menjelaskan penyebab, hingga pengobatan dan pencegahannya. Sejam berlangsung, aku menjelaskan kalau mereka bisa tak terkena diare lagi asal menjaga pola hidupnya. Air adalah salah satu penyebaran bakteri diare, juga bahwa kandang sapi yang ada di bawah kolong rumah membuat mreka gampang terserang penyakit.

Terakhir mengingatkan bahwa hal sederhana seperti mencuci tangan sebelum menyentuh makanan adalah hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menghindari berbagai penyakit.

Sejam menjelaskan, aku member kesempatan pada masyarakat untuk bertanya. Silih berganti mereka bertanya, aku menjawab seadanya sesuai kemampuanku. Seorang bapak bertanya tentang ibu menyusui, katanya ada seorang bayi yang tidak bisa menyusui dari ibunya sementara ketika ia menyusu pada orang lain, bayi itu tenang-tenang saja. Mukaku memerah mendengarnya. Aku sadar ternyata aku belum siap menjadi seorang penyuluh. Untung saja aku tidak penyuluhan kespro, pasti ngga bisa dan grogi. Kawan-kawan yang ada di ruangan itu tersenyum dan memintaku menjawabnya. Irman tertawa kecil di depan laptopnya.

“ini pertanyaan kedua untuk kasus yang sama hari ini?”aku memulai pembicaraan itu. Bayi itu sangat sensitive, sehingga sedikit saja, mereka bisa merasakan adanya perbedaan rasa. Bisa jadi pada waktu pertama menetek, bayinya merasa asi itu pahit, mungkin karena payudaranya tidak bersih atau ibunya sedang sakit, sehingga asi yang dikeluarkan jadi aneh. Sehingga bayinya tidak suka. Untuk mengatasinya hal paling penting adalah menjaga kebersihan tubuh kita dan memakan makanan yang sehat. “

Tiga jam berlalu. Akhirnya penyuluhan itu usai juga. Pengobatan juga dah selesai dari tadi. Di depan panitia mulai memasang layar untuk nonton sebentar malam. Ada pemutaran film “dennias” sudah lama aku ingin menonton film itu, namun tak pernah kesampaian. Selalu saja ada halangan. Anak kecil berlarian dilapangan. Mereka bermain dengan riang. Permaianan berkelompok sangat berharga. Mereka diajarkan untuk saling menolong, bekerjasama. Sayang di kota permaianan-permainan rakyat harus terganti dengan PS2 dan game computer.

Aku mengitari lapangan. Mencari jejak-jejak lukisan alam yang lain. Gunung yang hijau dari sudut yang lain. Di depanku sebuah sungai dengan aliran air yang kecil membuatku bergerak mendekat. Ada bunga-bunga putih bertebaran menutupinya. Aku berpikir itulah edelweiss. Namun ternyata salah, bunga-bunga itu berasal dari tanaman liar yang tumbuh tinggi menutupi badan sungai. Aku tak bisa menuruni sungai itu. Ada pagar dari pohon yang ditumpuk melintang membatasi setiap sisinya. Pinggirnya sangat terjal, mungkin masyarakat takut mereka terjatuh. Apalagi disekitar sekolah itu menjadi arena bermain anak-anak mereka.

Aku mendekat ke pohon pinus. Dibagian bawah batangnya telah ada guratan pisau melintang yang teratur. Ujungnya menyatu dan ada potongan seng yang sengaja dipasang di ujung tadi. Potongan seng itu berakhir pada sebuah tempurung kelapa yang disangga potongan kayu. Getah-getah pinus mengalir ke tempurung tadi. Aku mengambil sepotong kayu kecil. Mencolek getah tadi. Bening dan lengket.

“getah itu bisa terbakar” kak daud telah berdiri di belakangku.

Katanya getah ini digunakan untuk campuran pernis. Temannya duduk di rumput tak jauh dari tempatku berdiri. Aku berjalan kesana dan duduk di dekatnya. Kami kembali membicarakan masalah kesehatan penduduk, melihat kecenderungan penyakit pasien yang telah diperiksa. Aku menanyakan kasus beberapa warga yang kakinya bengkak. Awalnya aku mengira penyakit tersebut karena alergi, seperti tubuhku yang kadang membengkak karena kena air hujan. Tapi ternyata bukan itu penyebabnya. Katanya bengkak pada kaki bisa karena beberapa hal, termasuk penyakit jantung. Nah pada kasus tersebut, tak ditemukan identifikasi tersebuat. Menurut perkiraan kak daud itu gejala cikungunya. Aku kaget mendengarnya. Kasihan masyarakat kalau perkiraan itu benar, sementara di daerah ini tak pernah didatangi petugas kesehatan.

Panitia sebagian telah kembali ke base camp. Tempat ini tak memberi kebosanan. Keindahan yang tak terungkap. Keindahan yang selalu memberi ketenangan, menyejukkan. Ibu-ibu yang masih duduk bercengkrama, menikmati segarnya udara kala senja. Suasana kampong yang takkan pernah ada di belantara kota.

Matahari semakin bergerak ke barat meninggalkan siluet di belahan barat. Aku beranjak pulang. Esok truk akan kembali membawa kami ke Makassar. Mengembalikan kami pada hiruk pikuk kota.