Saturday, August 25, 2012

Catatan dari Polongbangkeng (edisi riset 3)


Makkio menepati janjinya. Ia datang ke rumah Dg.Imba Bersama beberapa orang. Kecapinya dibawa serta. Kami akan merekam cerita perjuangan sejarah perampasan tanah dan pembentukan organisasi Serikat Tani Polongbangkeng.
Makkio adalah salah seorang petani yang tak bertanah. Ia menceritakan perjuangan hidupnya lewat nyanyian dan petikan kecapi. Tanahnya telah di rampas ketika terjadi perampasan tanah untuk perkebunan tebu. Dia dipaksa untuk menerima ganti rugi. Jika ganti rugi tak diterima maka ia akan ditembaki dan dituduh PKI.
Setelah tak punya tanah, Makkio harus meninggalkan barugayya untuk bisa menghidupi keluarganya. Ia tak mau anak-ananya tak sekolah, tapi tinggal di kampong tanpa tanah sama saja dengan bunuh diri.
Pemerintah telah merampas tanahnya. Membangun perkebunan tebu , menyengsarakan semua rakyat Polongbangkeng.
Enam tahun Makkio bekerja di Malaysia. Menjadi buruh agar bisa mengirim uang untuk anak-anaknya. Makkio bercerita kesyukurannya karena Serikat tani polongbangkeng terbentuk. Ia dapat ikut memperjuangkan haknya agar dikembalikan pemerintah.
Begitu memperlihatkan wajahnya, ia langsung meminta segelas kopi kental tanpa gula. Sejak masuknya PTPN XIV dan merampas paksa tanahnya, sejak itu Makkio tak mau lagi mengkonsumsi gula pasir. Ia sedang mabuk. Untuk dapat memainkan kecapinya, ia memang tidak bisa dalam kondisi normal. Semakin mabuk akan semakin bagus petikan dan nyanyiannya.
Dua jam Makkio bercerita tentang mirisnya hidup Takalar. Masyarakat bertahun-tahun harus hidup seadanya. Ada yang menggali batu di gunung,  menanam jagung di hutan, pergi mencari sisa-sisa panen di daerah lain. Menahan malu untuk mendapatkan sisa panen. Menjadi buruh, menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Sekarang Makkio kembali ke Takalar dan ikut berjuang Bersama anggota STP lainnya. Ia diajak oleh Dg.Tutu dan sangat rajin mengikuti setiap pertemuan dan agenda STP.
Sekarang Makkio menjadi pengembala sapi. ia memiliki beberapa ekor sapi yang setiap hari dibawanya keluar. Di Barugayya sedang marak pencurian sapi. Hampir setiap malam ia harus menjaga sapinya agar aman dari tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Ia sangat mencintai keseniannya dan selalu bernyanyi Bersama kawan-kawannya sambil mengembala sapi. menggunakan kecapi atau gambus dan menyanyikan peristiwa hidupnya.

Hari ini telah lengkap dengan nyanyian Makkio dan teman-temannya.
12 agustus 2012

Tuesday, August 14, 2012

Catatan dari Polongbangkeng (edisi riset 2)


Bahagia itu sederhana. Kata-kata yang sangat aku sukai. Membuat hidupku penuh rasa syukur. Aku mencintainya seperti mencintai setiap laku yang memberiku beribu bahagia. Hari ketiga di Polongbangkeng. Setelah menghabiskan siang dengan bermalas-malasan di bale-bale kolong rumah Dg.Imba. Sore, jalan-jalan keliling kampong. Hari ini hendak melanjutkan wawancara, dan meminta Makkio untuk bertutur tentang sejarah perjuangannya lewat petikan kecapinya.
Aku dan Achoz menuju rumah Makkio. Kami tak tahu betul rumahnya. Achoz sekali pernah kesana. Jadi kami singgah bertanya pada warga. Kami berhenti didepan sebuah rumah panggung besar. dua perempuan sedang duduk dibale-bale. Seorang bayi terlelap dalam buaian ibunya. rumah Makkio ternyata. Tapi sayang ia tidak sedang di rumah. Menurut istrinya, sedang mengembala di dekat villa Bupati. 
Di jalan kami bertemu dengan Talassa, seorang pemuda Barugayya yang sering kutemui ikut rapat bersama warga. Ia mengantar kami ke tempat Makkio. Dua motor melaju kesana, dan didekat villa, Talassa bertemu temannya. Laki-laki itu dari tempatnya Makkio. ia berputar arah mengantar kami kesana. Ada juga Dg. Tojeng yang hendak pulang dan diajak jalan. Jadilah empat motor beriringan.
Jalannya tak menyenangkan. Bukan lagi melewati aspal yang mulus. Jalan bebatuan yang dikiri kanannya hutan . ini juga bukan lagi hutan alam, karena disela-selanya ada tanaman masyarakat. Lebih layak dikatakan kebun.
Masyarakat Polongbangkeng untuk bertahan hidup memang menanam tanaman disela-sela tanaman hutan. Hal ini karena tanah yang mereka miliki puluhan tahun telah menjadi lahan tebu.
Petikan gambus terdengar dari jauh. Tak ada rumah, hanya ada tanah lapang dan sebuah gubuk gembala. Disana beberapa orang berkumpul dan menyanyi mengikuti dawai gambus. Makkio salah satu diantaranya.
Aroma tuak tercium. Perutku agak mual.  Makkio mengajak kami salaman. Yang lain juga mendekati kami. Aku menyambut uluran tangan itu. Aku ingat semalam teman-teman bercerita, untuk dapat bernyanyi dengan baik Makkio harus minum tuak. Ia menawari Achoz untuk ikut minum. Untung kawanku ini sangat rajin puasa.
aku memintanya memetik kecapinya disitu, tapi tidak ia bawa. Katanya sedang menggembala sapi. Jadi hanya ada satu kecapi. Ia berjanji malam nanti akan datang ke tempatku menginap untuk memetik kecapinya dan bertutur sejarah perjuangan Serikat Tani Polongbangkeng.
Namun, gambus dipetik kembali dan bergantian mereka bernyanyi. Dua orang bercerita Tanah di Polongbangkeng sangat luas tapi telah diambil oleh PTPN XIV dan menyisakan sengsara buat rakyat. Bergantian mereka bernyanyi bercerita padaku. tapi sayang sekali aku hanya mengerti beberapa kata. petikan yang menggambarkan perihnya hidup setelah tanah mereka dirampas.
Seorang petani lain muncul membawa seember timun yang sangat segar. Sebelum pulang ia memberikan timun itu kami bawa pulang. Aku menolaknya, tapi mereka sangat ngotot kami harus terima. Dg.Tojeng akhirnya membawa timun itu. Aku berterima kasih sebelum pulang dan meminta Makkio untuk datang Bersama teman-temannya.
Aku sangat terharu, seember timun itu tentu akan bernilai di pasar. Tapi petani adalah orang paling sederhana yang sangat tulus.
Sepulangnya kami singgah di danau. Dg.talla berjalan dengan beberapa ekor ikan yang diikat satu. Sebelah tangannya membawa jaring. Ia berjalan mendekati kami dan menyerahkan semua ikan hasil tangkapannya.  Kami menolak halus. Tapi ia juga berkeras memberi ikan itu. Katanya ia masih bisa menangkap ikan untuk dirinya.  
Aku membawa ikan itu  ke rumah Dg.Imba, tempat kami menginap semalam. Bahagia tak dapat kugambarkan hari ini. Petani sederhana dengan hidup yang sangat sulit, namun tak berpikir panjang untuk berbagi.Terima kasih, hari ini aku belajar bahwa berbagi itu tak butuh banyak harta. Dan mereka jauh lebih kaya dibanding orang-orang berduit penguasa PTPN.

lepas menikmati timun dan ikan nila terlezat...
12 Agustus 2012

Catatan dari Polongbangkeng (edisi riset 1)

Hari kedua di Polongbangkeng. Sebenarnya hendak istirahat, Polongbangkeng telah menjadi bagian yang selalu mengingatkanku pada rumah sebenarnya di Sengkang. Bertemu dengan ibu-ibu yang selalu menyambut ramah. Bapak-bapak yang akan bercerita padaku panjang lebar dengan bahasa Makassar. Dan aku dengan payah berusaha untuk mengerti.
Ada riset yang dilakukan WALHI Sulsel, kawan-kawan telah mengumpulkan data sekunder sejak awal Agustus. Data kesehatan, kemiskinan, pendidikan, pekerjaan, semua dikumpul dengan penuh semangat. Ramadhan bukan penghalang, bekerja sambil beribadah jauh lebih baik. Dampaknya sangat baik. Dua kawan baikku akhirnya rajin berkunjung ke mesjid shalat tarwih dan subuh.
Petani adalah orang yang sangat disiplin. Menghabiskan waktu sepanjang malam untuk diskusi tentang perjuangan organisasi, bangun sahur dan menunggu subuh. Setelah itu meninggalkan rumah melakukan berbagai pekerjaan. Dan aku,  Bersama ketiga kawanku dengan alas an kurang tidur terlelap hingga matahari semakin meninggi dan dingin Takalar telah menguap. Aku sangat malu sebenarnya, tapi tak mampu menahan kantuk dan melengkapi kekurangan tidurku. Sejak dulu aku percaya, aku harus tidur 8 jam sehari untuk bisa lebih sehat.
Telah kususun rencana semalam. Hari ini aku akan mendengar cerita dari beberapa orang-orang tua yang menyaksikan perampasan tanah yang dilakukan oleh PTPN XIV Takalar.
Siangnya di posko STP telah ada Dg.Nyampa, Dg.Serang, dan beberapa orang lainnya yang belum aku kenal namanya. Aku mengajak Dg.Nyampa cerita. Mendengarkan sebagian dari kisah hidupnya. Dg.Serang juga telah menceritakan banyak hal padaku tentang hidupnya. ini kali kedua aku tinggal lama di Polongbangkeng. Dan aku ingin mendengar cerita sebanyak mungkin dari mereka yang telah melewati masa-masa suram perampasan tanah yang dilakukan PTPN XIV.
Ini bukan satu-satunya tempat masyarakat di rampas tanahnya atas nama pembangunan.  Dg.Mayang, seorang ibu yang telah berumur 80 tahunan bercerita dengan bahasa Makassar. Dulu mereka dikejar, dicari-cari, kalau tak ada di rumah akan dicari dijalan-jalan. Mereka disuruh datang ke kantor pemerintah desa. Jika tidak menerima uang ganti rugi label PKI akan dilekatkan pada mereka. Masa-masa itu sangat suram, polisi ada dimana-mana.
Aku jadi teringat tahun 2009 lalu, memasuki Polongbangkeng akan membuat jantungku berdegup lebih kencang. Menyaksikan brimob dengan senjata lengkap berjaga di sepanjang jalan Polongbangkeng. Seragam hitam dan senjata laras panjang. Petani yang harus bersembunyi di hutan. Saat itu jauh lebih menakutkan.
Kehidupan petani setelah perampasan tanah jauh sangat miskin. Tak ada lagi tanah yang bisa ditanami. Tak ada pekerjaan lain. Sebagian harus keluar dari desa ke daerah lain untuk bertahan hidup. Makan jagung dan ubi adalah hal biasa yang harus mereka lakoni. Bahkan aku mendapat cerita sepasang suami istri harus menggunakan satu sarung untuk berdua.
kami menghabiskan siang di bale-bale kolong rumah bapak Ila, sambil menunggu acara buka puasa yang diadakan LBH Makassar. Aku mendapat banyak cerita hari ini, mendengar cerita miris yang membuatku terus bersyukur karena hari ini aku kembali belajar pada ibu-ibu dengan semangat yang tak pupus untuk merebut kembali tanahnya.
Usai shalat  tarwih, kami bergerak ke desa Barugayya. Ada diskusi kampong dengan petani malam ini. Pukul 21.00 kami sampai di Barugayya. di Barugayya jauh lebih dingin dibandingkan Timbuseng. Letaknya dipinggiran sebuah bukit.
Lepas diskusi kampong dan mata ini masih saja bersinar terang.
11 agustus 2012