Tuesday, August 14, 2012

Catatan dari Polongbangkeng (edisi riset 1)

Hari kedua di Polongbangkeng. Sebenarnya hendak istirahat, Polongbangkeng telah menjadi bagian yang selalu mengingatkanku pada rumah sebenarnya di Sengkang. Bertemu dengan ibu-ibu yang selalu menyambut ramah. Bapak-bapak yang akan bercerita padaku panjang lebar dengan bahasa Makassar. Dan aku dengan payah berusaha untuk mengerti.
Ada riset yang dilakukan WALHI Sulsel, kawan-kawan telah mengumpulkan data sekunder sejak awal Agustus. Data kesehatan, kemiskinan, pendidikan, pekerjaan, semua dikumpul dengan penuh semangat. Ramadhan bukan penghalang, bekerja sambil beribadah jauh lebih baik. Dampaknya sangat baik. Dua kawan baikku akhirnya rajin berkunjung ke mesjid shalat tarwih dan subuh.
Petani adalah orang yang sangat disiplin. Menghabiskan waktu sepanjang malam untuk diskusi tentang perjuangan organisasi, bangun sahur dan menunggu subuh. Setelah itu meninggalkan rumah melakukan berbagai pekerjaan. Dan aku,  Bersama ketiga kawanku dengan alas an kurang tidur terlelap hingga matahari semakin meninggi dan dingin Takalar telah menguap. Aku sangat malu sebenarnya, tapi tak mampu menahan kantuk dan melengkapi kekurangan tidurku. Sejak dulu aku percaya, aku harus tidur 8 jam sehari untuk bisa lebih sehat.
Telah kususun rencana semalam. Hari ini aku akan mendengar cerita dari beberapa orang-orang tua yang menyaksikan perampasan tanah yang dilakukan oleh PTPN XIV Takalar.
Siangnya di posko STP telah ada Dg.Nyampa, Dg.Serang, dan beberapa orang lainnya yang belum aku kenal namanya. Aku mengajak Dg.Nyampa cerita. Mendengarkan sebagian dari kisah hidupnya. Dg.Serang juga telah menceritakan banyak hal padaku tentang hidupnya. ini kali kedua aku tinggal lama di Polongbangkeng. Dan aku ingin mendengar cerita sebanyak mungkin dari mereka yang telah melewati masa-masa suram perampasan tanah yang dilakukan PTPN XIV.
Ini bukan satu-satunya tempat masyarakat di rampas tanahnya atas nama pembangunan.  Dg.Mayang, seorang ibu yang telah berumur 80 tahunan bercerita dengan bahasa Makassar. Dulu mereka dikejar, dicari-cari, kalau tak ada di rumah akan dicari dijalan-jalan. Mereka disuruh datang ke kantor pemerintah desa. Jika tidak menerima uang ganti rugi label PKI akan dilekatkan pada mereka. Masa-masa itu sangat suram, polisi ada dimana-mana.
Aku jadi teringat tahun 2009 lalu, memasuki Polongbangkeng akan membuat jantungku berdegup lebih kencang. Menyaksikan brimob dengan senjata lengkap berjaga di sepanjang jalan Polongbangkeng. Seragam hitam dan senjata laras panjang. Petani yang harus bersembunyi di hutan. Saat itu jauh lebih menakutkan.
Kehidupan petani setelah perampasan tanah jauh sangat miskin. Tak ada lagi tanah yang bisa ditanami. Tak ada pekerjaan lain. Sebagian harus keluar dari desa ke daerah lain untuk bertahan hidup. Makan jagung dan ubi adalah hal biasa yang harus mereka lakoni. Bahkan aku mendapat cerita sepasang suami istri harus menggunakan satu sarung untuk berdua.
kami menghabiskan siang di bale-bale kolong rumah bapak Ila, sambil menunggu acara buka puasa yang diadakan LBH Makassar. Aku mendapat banyak cerita hari ini, mendengar cerita miris yang membuatku terus bersyukur karena hari ini aku kembali belajar pada ibu-ibu dengan semangat yang tak pupus untuk merebut kembali tanahnya.
Usai shalat  tarwih, kami bergerak ke desa Barugayya. Ada diskusi kampong dengan petani malam ini. Pukul 21.00 kami sampai di Barugayya. di Barugayya jauh lebih dingin dibandingkan Timbuseng. Letaknya dipinggiran sebuah bukit.
Lepas diskusi kampong dan mata ini masih saja bersinar terang.
11 agustus 2012