Hari kedua
di Polongbangkeng. Sebenarnya hendak istirahat, Polongbangkeng telah menjadi
bagian yang selalu mengingatkanku pada rumah sebenarnya di Sengkang. Bertemu
dengan ibu-ibu yang selalu menyambut ramah. Bapak-bapak yang akan bercerita
padaku panjang lebar dengan bahasa Makassar. Dan aku dengan payah berusaha
untuk mengerti.
Ada riset
yang dilakukan WALHI Sulsel, kawan-kawan telah mengumpulkan data sekunder sejak
awal Agustus. Data kesehatan, kemiskinan, pendidikan, pekerjaan, semua dikumpul
dengan penuh semangat. Ramadhan bukan penghalang, bekerja sambil beribadah jauh
lebih baik. Dampaknya sangat baik. Dua kawan baikku akhirnya rajin berkunjung
ke mesjid shalat tarwih dan subuh.
Petani
adalah orang yang sangat disiplin. Menghabiskan waktu sepanjang malam untuk
diskusi tentang perjuangan organisasi, bangun sahur dan menunggu subuh. Setelah
itu meninggalkan rumah melakukan berbagai pekerjaan. Dan aku, Bersama ketiga kawanku dengan alas an kurang
tidur terlelap hingga matahari semakin meninggi dan dingin Takalar telah
menguap. Aku sangat malu sebenarnya, tapi tak mampu menahan kantuk dan
melengkapi kekurangan tidurku. Sejak dulu aku percaya, aku harus tidur 8 jam
sehari untuk bisa lebih sehat.
Telah kususun
rencana semalam. Hari ini aku akan mendengar cerita dari beberapa orang-orang
tua yang menyaksikan perampasan tanah yang dilakukan oleh PTPN XIV Takalar.
Siangnya
di posko STP telah ada Dg.Nyampa, Dg.Serang, dan beberapa orang lainnya yang
belum aku kenal namanya. Aku mengajak Dg.Nyampa cerita. Mendengarkan sebagian
dari kisah hidupnya. Dg.Serang juga telah menceritakan banyak hal padaku
tentang hidupnya. ini kali kedua aku tinggal lama di Polongbangkeng. Dan aku
ingin mendengar cerita sebanyak mungkin dari mereka yang telah melewati
masa-masa suram perampasan tanah yang dilakukan PTPN XIV.
Ini bukan
satu-satunya tempat masyarakat di rampas tanahnya atas nama pembangunan. Dg.Mayang, seorang ibu yang telah berumur 80
tahunan bercerita dengan bahasa Makassar. Dulu mereka dikejar, dicari-cari,
kalau tak ada di rumah akan dicari dijalan-jalan. Mereka disuruh datang ke
kantor pemerintah desa. Jika tidak menerima uang ganti rugi label PKI akan
dilekatkan pada mereka. Masa-masa itu sangat suram, polisi ada dimana-mana.
Aku jadi
teringat tahun 2009 lalu, memasuki Polongbangkeng akan membuat jantungku
berdegup lebih kencang. Menyaksikan brimob dengan senjata lengkap berjaga di
sepanjang jalan Polongbangkeng. Seragam hitam dan senjata laras panjang. Petani
yang harus bersembunyi di hutan. Saat itu jauh lebih menakutkan.
Kehidupan
petani setelah perampasan tanah jauh sangat miskin. Tak ada lagi tanah yang
bisa ditanami. Tak ada pekerjaan lain. Sebagian harus keluar dari desa ke
daerah lain untuk bertahan hidup. Makan jagung dan ubi adalah hal biasa yang
harus mereka lakoni. Bahkan aku mendapat cerita sepasang suami istri harus
menggunakan satu sarung untuk berdua.
kami
menghabiskan siang di bale-bale kolong rumah bapak Ila, sambil menunggu acara
buka puasa yang diadakan LBH Makassar. Aku mendapat banyak cerita hari ini,
mendengar cerita miris yang membuatku terus bersyukur karena hari ini aku
kembali belajar pada ibu-ibu dengan semangat yang tak pupus untuk merebut
kembali tanahnya.
Usai
shalat tarwih, kami bergerak ke desa
Barugayya. Ada diskusi kampong dengan petani malam ini. Pukul 21.00 kami sampai
di Barugayya. di Barugayya jauh lebih dingin dibandingkan Timbuseng. Letaknya
dipinggiran sebuah bukit.
Lepas diskusi kampong dan mata ini masih saja
bersinar terang.
11 agustus 2012