Tuesday, August 14, 2012

Catatan dari Polongbangkeng (edisi riset 2)


Bahagia itu sederhana. Kata-kata yang sangat aku sukai. Membuat hidupku penuh rasa syukur. Aku mencintainya seperti mencintai setiap laku yang memberiku beribu bahagia. Hari ketiga di Polongbangkeng. Setelah menghabiskan siang dengan bermalas-malasan di bale-bale kolong rumah Dg.Imba. Sore, jalan-jalan keliling kampong. Hari ini hendak melanjutkan wawancara, dan meminta Makkio untuk bertutur tentang sejarah perjuangannya lewat petikan kecapinya.
Aku dan Achoz menuju rumah Makkio. Kami tak tahu betul rumahnya. Achoz sekali pernah kesana. Jadi kami singgah bertanya pada warga. Kami berhenti didepan sebuah rumah panggung besar. dua perempuan sedang duduk dibale-bale. Seorang bayi terlelap dalam buaian ibunya. rumah Makkio ternyata. Tapi sayang ia tidak sedang di rumah. Menurut istrinya, sedang mengembala di dekat villa Bupati. 
Di jalan kami bertemu dengan Talassa, seorang pemuda Barugayya yang sering kutemui ikut rapat bersama warga. Ia mengantar kami ke tempat Makkio. Dua motor melaju kesana, dan didekat villa, Talassa bertemu temannya. Laki-laki itu dari tempatnya Makkio. ia berputar arah mengantar kami kesana. Ada juga Dg. Tojeng yang hendak pulang dan diajak jalan. Jadilah empat motor beriringan.
Jalannya tak menyenangkan. Bukan lagi melewati aspal yang mulus. Jalan bebatuan yang dikiri kanannya hutan . ini juga bukan lagi hutan alam, karena disela-selanya ada tanaman masyarakat. Lebih layak dikatakan kebun.
Masyarakat Polongbangkeng untuk bertahan hidup memang menanam tanaman disela-sela tanaman hutan. Hal ini karena tanah yang mereka miliki puluhan tahun telah menjadi lahan tebu.
Petikan gambus terdengar dari jauh. Tak ada rumah, hanya ada tanah lapang dan sebuah gubuk gembala. Disana beberapa orang berkumpul dan menyanyi mengikuti dawai gambus. Makkio salah satu diantaranya.
Aroma tuak tercium. Perutku agak mual.  Makkio mengajak kami salaman. Yang lain juga mendekati kami. Aku menyambut uluran tangan itu. Aku ingat semalam teman-teman bercerita, untuk dapat bernyanyi dengan baik Makkio harus minum tuak. Ia menawari Achoz untuk ikut minum. Untung kawanku ini sangat rajin puasa.
aku memintanya memetik kecapinya disitu, tapi tidak ia bawa. Katanya sedang menggembala sapi. Jadi hanya ada satu kecapi. Ia berjanji malam nanti akan datang ke tempatku menginap untuk memetik kecapinya dan bertutur sejarah perjuangan Serikat Tani Polongbangkeng.
Namun, gambus dipetik kembali dan bergantian mereka bernyanyi. Dua orang bercerita Tanah di Polongbangkeng sangat luas tapi telah diambil oleh PTPN XIV dan menyisakan sengsara buat rakyat. Bergantian mereka bernyanyi bercerita padaku. tapi sayang sekali aku hanya mengerti beberapa kata. petikan yang menggambarkan perihnya hidup setelah tanah mereka dirampas.
Seorang petani lain muncul membawa seember timun yang sangat segar. Sebelum pulang ia memberikan timun itu kami bawa pulang. Aku menolaknya, tapi mereka sangat ngotot kami harus terima. Dg.Tojeng akhirnya membawa timun itu. Aku berterima kasih sebelum pulang dan meminta Makkio untuk datang Bersama teman-temannya.
Aku sangat terharu, seember timun itu tentu akan bernilai di pasar. Tapi petani adalah orang paling sederhana yang sangat tulus.
Sepulangnya kami singgah di danau. Dg.talla berjalan dengan beberapa ekor ikan yang diikat satu. Sebelah tangannya membawa jaring. Ia berjalan mendekati kami dan menyerahkan semua ikan hasil tangkapannya.  Kami menolak halus. Tapi ia juga berkeras memberi ikan itu. Katanya ia masih bisa menangkap ikan untuk dirinya.  
Aku membawa ikan itu  ke rumah Dg.Imba, tempat kami menginap semalam. Bahagia tak dapat kugambarkan hari ini. Petani sederhana dengan hidup yang sangat sulit, namun tak berpikir panjang untuk berbagi.Terima kasih, hari ini aku belajar bahwa berbagi itu tak butuh banyak harta. Dan mereka jauh lebih kaya dibanding orang-orang berduit penguasa PTPN.

lepas menikmati timun dan ikan nila terlezat...
12 Agustus 2012