Bahagia
itu sederhana. Kata-kata yang sangat aku sukai. Membuat hidupku penuh rasa
syukur. Aku mencintainya seperti mencintai setiap laku yang memberiku beribu
bahagia. Hari ketiga di Polongbangkeng. Setelah menghabiskan siang dengan
bermalas-malasan di bale-bale kolong rumah Dg.Imba. Sore, jalan-jalan keliling
kampong. Hari ini hendak melanjutkan wawancara, dan meminta Makkio untuk
bertutur tentang sejarah perjuangannya lewat petikan kecapinya.
Aku dan
Achoz menuju rumah Makkio. Kami tak tahu betul rumahnya. Achoz sekali pernah
kesana. Jadi kami singgah bertanya pada warga. Kami berhenti didepan sebuah
rumah panggung besar. dua perempuan sedang duduk dibale-bale. Seorang bayi
terlelap dalam buaian ibunya. rumah Makkio ternyata. Tapi sayang ia tidak
sedang di rumah. Menurut istrinya, sedang mengembala di dekat villa
Bupati.
Di jalan
kami bertemu dengan Talassa, seorang pemuda Barugayya yang sering kutemui ikut
rapat bersama warga. Ia mengantar kami ke tempat Makkio. Dua motor melaju
kesana, dan didekat villa, Talassa bertemu temannya. Laki-laki itu dari
tempatnya Makkio. ia berputar arah mengantar kami kesana. Ada juga Dg. Tojeng
yang hendak pulang dan diajak jalan. Jadilah empat motor beriringan.
Jalannya
tak menyenangkan. Bukan lagi melewati aspal yang mulus. Jalan bebatuan yang
dikiri kanannya hutan . ini juga bukan lagi hutan alam, karena disela-selanya
ada tanaman masyarakat. Lebih layak dikatakan kebun.
Masyarakat
Polongbangkeng untuk bertahan hidup memang menanam tanaman disela-sela tanaman
hutan. Hal ini karena tanah yang mereka miliki puluhan tahun telah menjadi
lahan tebu.
Petikan
gambus terdengar dari jauh. Tak ada rumah, hanya ada tanah lapang dan sebuah
gubuk gembala. Disana beberapa orang berkumpul dan menyanyi mengikuti dawai
gambus. Makkio salah satu diantaranya.
Aroma tuak
tercium. Perutku agak mual. Makkio
mengajak kami salaman. Yang lain juga mendekati kami. Aku menyambut uluran
tangan itu. Aku ingat semalam teman-teman bercerita, untuk dapat bernyanyi
dengan baik Makkio harus minum tuak. Ia menawari Achoz untuk ikut minum. Untung
kawanku ini sangat rajin puasa.
aku
memintanya memetik kecapinya disitu, tapi tidak ia bawa. Katanya sedang
menggembala sapi. Jadi hanya ada satu kecapi. Ia berjanji malam nanti akan
datang ke tempatku menginap untuk memetik kecapinya dan bertutur sejarah
perjuangan Serikat Tani Polongbangkeng.
Namun,
gambus dipetik kembali dan bergantian mereka bernyanyi. Dua orang bercerita
Tanah di Polongbangkeng sangat luas tapi telah diambil oleh PTPN XIV dan
menyisakan sengsara buat rakyat. Bergantian mereka bernyanyi bercerita padaku.
tapi sayang sekali aku hanya mengerti beberapa kata. petikan yang menggambarkan perihnya hidup setelah tanah mereka dirampas.
Seorang
petani lain muncul membawa seember timun yang sangat segar. Sebelum pulang ia
memberikan timun itu kami bawa pulang. Aku menolaknya, tapi mereka sangat ngotot
kami harus terima. Dg.Tojeng akhirnya membawa timun itu. Aku berterima kasih
sebelum pulang dan meminta Makkio untuk datang Bersama teman-temannya.
Aku sangat
terharu, seember timun itu tentu akan bernilai di pasar. Tapi petani adalah
orang paling sederhana yang sangat tulus.
Sepulangnya
kami singgah di danau. Dg.talla berjalan dengan beberapa ekor ikan yang diikat
satu. Sebelah tangannya membawa jaring. Ia berjalan mendekati kami dan menyerahkan
semua ikan hasil tangkapannya. Kami menolak
halus. Tapi ia juga berkeras memberi ikan itu. Katanya ia masih bisa menangkap
ikan untuk dirinya.
Aku
membawa ikan itu ke rumah Dg.Imba,
tempat kami menginap semalam. Bahagia tak dapat kugambarkan hari ini. Petani sederhana dengan hidup yang sangat sulit, namun tak berpikir panjang untuk berbagi.Terima kasih, hari ini aku belajar bahwa berbagi itu tak butuh banyak harta. Dan mereka jauh lebih kaya dibanding orang-orang berduit penguasa PTPN.
lepas menikmati timun dan ikan nila terlezat...
12 Agustus
2012