Thursday, July 5, 2012

Mubes Serikat Tani Polongbangkeng (1)

Agenda pertama dari perjalanan yang kami lakukan, bertemu petani di Kampung Beru. Salah satu tugas yang diberikan, terlibat pada pendataan anggota dan sosialisasi Mubes STP. Ini kali pertama aku akan masuk ke desa itu. Bersama Bapak Ila dan Dg.Toro, aku dan Budi berangkat kesana.
Untuk ke Kampung Beru kami memasuki jalanan ke PTPN XIV, disisi kanan tampak beberapa bangunan kecil berdinding gamacca dan beratap rumbia. Seperti kios-kios yang menjual makanan, mungkin juga milik buruh PTPN. Beberapa pedagang kecil menggelar jualan begitu saja dipinggir jalan. Tadinya aku berpikir ada pasar malam, tapi tak lebih dari 10 lapak.
Jalanan semakin memburuk. Debu, kerikil yang berserak, lubang yang tak terlalu jelas. Perusahaan berdiri disisi kiri jalan. Semakin jauh semakin sepi, kebun tebu disisi kiri kanan jalanan. Kalau tak ada kedua orang tua itu, aku mungkin telah kehilangan keberanianku. Jalan seperti tak berujung, gelap dan sepi.
Kami dikerjai malam ini. Mendapat lokasi yang jauh dari posko. Aku tak lagi ingat jarak, rasanya cukup jauh dan melelahkan. Kami memasuki perkampungan, jalanan aspal yang sedikit lebih baik. Rumah-rumah berjejeran tapi masih jauh dari tujuan. Sawah-sawah yang masih hijau. Hijaunya tak terlihat oleh malam, tapi belum ada bulir-bulir padi yang keluar dari tangkainya. Aku mencari rumah yang ramai. Kalau ada pasti itulah tempatnya.
Rumah samping kuburan tampak ramai. Kami mengikuti Bapak Ila. Disana puluhan warga telah menunggu. Beberapa orang berdiri dipinggir jalan. Bercerita, mungkin tentang sawahnya yang menunggu panen.
Ada banyak perempuan, aku tersenyum senang. Mendapati ibu-ibu yang terlibat pada kerja-kerja massa tak hanya mengurusi makan dan minum. Senyum tulus mereka telah membuatku berbinar-binar, hilang semua penat sepanjang jalan.
Bahasa selalu menjadi kendala utama yang menyedihkan. Aku tak bisa berkomunikasi langsung. Harus dibantu penerjemah. Sembilan tahun di Makassar tak membuatku bisa menggunakan bahasa Makassar. Dan berada ditengah masyarakat akan membuatku menyesal, kenapa tak juga bisa menggunakannya.
Aku hanya memahami sebagian kecil dari yang mereka bicarakan. Tapi pimpinan STP adalah orang-orang tua yang tangguh. Mereka menghabiskan sisa pensiunnya dengan berjuang. Memperjuangkan hak yang dirampas oleh PTPN.
Agenda pertama pendataan anggota STP. Mengisi formulir yang telah disiapkan. Ini untuk merapikan data kelompok, membuatnya menjadi kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari 15 – 30 orang. Tapi, mala mini kami tak sempat melakukan pembentukan kelompok. Pengisian formulir menyita waktu lama. Sebagian anggota tak bias baca tulis. Harus dituliskan satu persatu. Sebagian besar tak bias tanda tangan. Anggota hanya memberikan KTP yang pun kebanyakan tak berlaku lagi. Sesekali aku membantu Dg.Toro mengisi formulir itu.
Ada 30an formulir yang kembali malam ini, sebagian masih menunggu karena form yang disediakan telah habis.
Dg.Toro memulai pertemuan. Beliau membuka dengan menggunakan bahasa Makassar, bercerita bagaimana perjuangan mereka sebelum STP terbentuk dan setelah organisasi itu ada. Dulu, jika melakukan pendudukan aparat keamanan akan melindungi PTPN, berhadapan dengan peluru dan Brimob. Sekarang Polisi tak lagi mengganggu proses reclaiming yang mereka lakukan. Kemarin warga kembali melakukan reclaiming. Ratusan hektar tanah mereka telah ditangan. Ditanami padi dan menuai hasil.
Budi menjelaskan bagaimana pentingnya berorganisasi, juga menjelaskan persiapa Mubes yang akan dilaksanakan tanggal 9 – 10 juli nanti. Massa demikian antusias. Sajian kopi dan penganan ringan menjadi teman melewatkan malam. Sesekali aku bercerita dengan gadis yang duduk disampingku. Aku lupa menanyakan namanya. Ia suka ikut pertemuan-pertemuan STP tapi tidak masuk menjadi anggota. Anak muda yang penuh semangat. Ia tersenyum malu ketika kutanyakan sekolahnya. Hanya tamatan SMP katanya.
Sebelum pulang, pemilik rumah telah menyediakan makan malam untuk kami. Menu sederhana yang mengalahkan enaknya makanan kota. Saying, sebelum berangkat kami duluan mengisi lambung tengah, jadi hanya bias mencicipinya.
Angka jam menunjuk 23.00 kami pamit pulang. “hati-hati nak, “, “ semoga selamatki’. Ada banyak doa malam itu untuk kami. Doa dari ibu-ibu berwajah teduh. Saya pulang dengan seribu bahagia. Bahagia itu sederhana.
(kerja dan berlibur dua hal menyenangkan untuk menutup Juni. 
Persinggahan pertama di Polongbangkeng Utara bersama Serikat Tani Polongbangkeng sebelum lanjut ke Butta Panrita Lopi
25 Juni 2012)