Tuesday, March 27, 2012

Rumah sakit ke puskesmas

Karena tak pernah menetap disatu tempat, aku tak bisa melakukan pengobatan dengan baik. Sepulang dari selatan, aku mendapat panggilan ke utara. Etta dan ponakan kecilku mulai merindu, ada juga diskusi kecil dengan anak muda di Sengkang. Aku harus menyelesaikan beberapa urusan. Bergerak ke utara selalu menyenangkan, rumah itu adalah tempat ternyaman, walau masih saja omelan ibu tentang kerjaku yang tak jelas harus kudengar.
Sabtu adalah bagian dari akhir pekan yang tenang. Unit rawat jalan rumah sakit tak ramai. Tak ada pasien yang sedang menunggu. Aku sendirian. Hari itu aku mengomel sepanjang hari. Masuk ruang itu, tak mendapat sambutan menyenangkan. Beberapa petugas sibuk di depan meja registrasi. Aku mendekat, dan mereka memintaku menunggu. Aku tak tahu apa yang harus kutunggu, sementara tak seorangpun yang dilayaninya. Ah, mereka seharusnya mendahulukanku. 30 menit menunggu aku berpindah ke orang yang disebelahnya. Ia bertanya padaku apa aku membawa surat rujukan dan akan berobat ke dokter mana? Aku bilang ini pertama kalinya aku ke rumah sakit ini dan hendak periksa ke dokter ahli dalam. Dokternya sedang ke Makassar kalau tak salah. Ke dokter umum saja kalau begitu. Ia kembali memintaku menunggu. Lebih sejam menunggu aku mulai gelisah dan emosi. Sejak dulu aku tak pernah nyaman berada di rumah sakit, sehebat dan sebesar apapun rumah sakit itu, aku punya cerita tak mengenakkan.
Sepasangan suami istri masuk ke ruangan itu, mereka langsung menuju meja registrasi. Petugas itu bertanya dengan lembut mau ketemu dengan dokter siapa dan meminta kartu askes milik mereka. Ia menyapanya dengan sangat hormat. Aku sempat mendengar sapaan Pak Haji, dan emosiku tak lagi bisa tertahan. Aku mengajak adikku keluar setelah menatap tajam petugas itu.
Pukul 10 pagi lewat sedikit, puskesmas masih buka. Puskesmas tempe menjadi pilihan terdekat. Aku mau ketemu dokter hari ini. Secepatnya mengarah kesana. Berharap dokternya masih ada.
Beruntung dokternya masih ada. Didalam juga masih banyak pasien yang tersisa bersama anak-anak mereka. Mungkin lagi jadwal imunisasi. Aku segera ke tempat pendaftaran, namun selembar karton bertuliskan tutup terpampang. Harusnya masih buka. Aku berpindah ke sebelah dan menyampaikan protes, kenapa secepat itu mereka menutup pendaftaran padahal belum waktunya. Akhirnya orang itu menyuruh seseorang melayaniku. Satu urusan selesai, sekarang harus melangkah masuk ke ruang tunggu. Seorang teman lama kukenali sedang memeriksa tekanan darah pasien sebelum masuk ke ruang periksa dokter. Aku mendekat dan memberikan mapku. Ia tersenyum mengenaliku, kami sedikit berbincang, mengenang masa lalu ketika masih sekolah. aku satu sekolah di SMU dengannya, tapi kami beda kelas. Sekarang ia telah mempunyai dua orang anak dan menjadi PNS di puskesmas itu. ia langsung menyuruhku masuk ke ruang periksa. Katanya dokter tak lama lagi akan keluar.
Bercerita tentang keluhanku, dan akhinrya aku meminta ia melakukan pengecekan asam urat dalam darahku. Dari temanku aku mendengar ia mempunyai alat pengetes asam urat. Aku telah mencurigai penyakit ini , setelah mantra itu gagal mendeteksi penyakitku. Aku perlu bukti. Dari tes itu kadar asam uratku 6,7. Melewati ambang batas. Untuk perempuan kadar normal asam urat dalam darah adalah 2 -6. Pantas saja aku tak bisa berjalan. Dokter itu lebih baik dari petugas kesehatan yang kutemui hari ini. Beberapa anjuran makanan yang harus kuhindari ia sebutkan. Ia juga menyesal, karena usiaku masih sangat muda untuk menderita penyakit yang satu ini.
Dokter itu cukup menjadi pereda emosiku setelah tak mendapat pelayanan dari rumah sakit. Petugas terkadang merasa dirinya sangat hebat dan dibutuhkan, hingga ia bisa bersikap seenaknya pada pasien.