Saturday, March 17, 2012

Seorang Nenek dan Aksi Tolak Kenaikan BBM

Hujan mengguyur Makassar pagi ini, cukup deras dan membuat mata enggan terbuka. yang lain masih terlelap ketika aku membuka mata. Paling nyaman melanjutkan tidur. Aku tak melakukannya, walau sangat menginginkannya. Hari ini aku harus chek up ke dokter, selain itu ada meeting di kantor. Tapi hal paling penting, 12 maret kemarin semua sepakat hari ini turun aksi menolak kenaikan BBM dengan estimasi massa 500 orang. Jam 10 pagi perjanjiannya. Berkumpul di bawah fly over.
Bukan hanya mahasiswa, ada buruh, miskin kota, petani, nelayan, semua bergabung. Tak ada sekat. Kenaikan BBM akan membunuh kita semua.
Jam 10 pagi hujan bukannya mereda, tapi bertambah deras. Dua minggu lalu, sebuah celoteh “ hujan dan revolusi”. Hujan terkadang menghambat kerja itu, walau petani selalu bergembira menyambut hujan.
Aku terlambat kesana bukan karena hujan, tapi kelamaan mengikuti prosedur rumah sakit, dan harus antri dengan pasien lainnya. Angka di Hpku telah melewati angka 11, menuju ke fly over segera. Untung kendaraan tak terlalu macet. Mungkin massanya belum seberapa, mungkin mereka terhalang hujan dan mahasiswa masih harus menunggu jam kuliah.
Bergantian perwakilan setiap organ orasi. Dengan semangat membara mereka menyerukan penolakan BBM. Dan aku tahu sebagian dari penumpang pete-pete akan mengomel karena terhambat. Supir pete-pete protes karena bensin mereka terbuang percuma menunggu macet. Orang-orang dengan mobil mewah pasti kalah, mungkin sebagian dari mereka berpikir, makanya jangan miskin, agar tak terpengaruh pada kenaikan BBM. Sesekali aku melihat muka mereka tak bersahabat melintasi kami.
Aku menjadi lebih bersabar ketika menumpang di pete-pete dan mendengar omelan itu. sejak dulu aku menjadi pelaku, hingga saat ini aksi jalanan masih menjadi pilihan perlawanan, tentu dengan hal lainnya.
Aku tetap menjadi bagian dari aksi ini, walau tak lagi seperti dulu, berdiri dibarisan paling depan, membagikan selebaran dan pernyataan sikap. Aku memilih duduk diatas sebuah motor milik massa. Seorang nenek melintas ditengah kami. Sejenak ia singgah dan membaca spanduk hijau bertuliskan penolakan BBM dan kenaikan TDL. Raut mukanya menyisakan cerita tentang kerasnya hidup. Ia tak lagi berjalan sempurna, sebelah kakinya sedikit terseok. Ia melintas didepanku dan berhenti pada sebuah kardus bekas teh gelas yang berisi ribuan. Di bagian depannya ada tulisan “logistic aksi” dibuat untuk membeli air kemasan pelepas dahaga setelah teriak. Nenek itu lama berdiri disana, ia membuka dompetnya, mencari sesuatu. Dari atas motor kuperhatikan tingkahnya. Juga kulihat pada dompet yang dibuka lebih banyak berisi kertas putih. Lembar berharga itu tak banyak disana.
Ia mengambil selembar dua ribuan yang terlipat dengan baik, diantara kertas putih itu, memasukkannya dengan pelan kedalam kotak, dan berlalu dengan sumringah.
“ia mungkin malaikat” kelakar seorang teman.
Ada haru yang menyusup. Sebagian orang menganggap aksi jalanan tak berguna, juga ada banyak orang yang mencela aksi kami, namun selalu saja ada orang-orang yang peduli. Angka dua ribu mungkin tak berarti sama sekali buat mereka. Tapi aku, kita, dan mereka telah kalah oleh nenek itu.
Pemerintah telah mencekik rakyatnya dengan menaikkan BBM dengan alasan menghindari pembengkakan anggaran Negara, padahal keuntungan yang tak sedikitpun mereka dapatkan dari kenaikan harga minyak. Tapi nenek itu telah mengajarkan pada kita bagaimana mengorbankan hartanya untuk orang-orang yang ada disekitarnya. Seharusnya pemerintah juga belajar pada Nenek itu.

“Maka bangkitlah rakyat Indonesia untuk merebut kembali lading-ladang minyak yang telah dikuasai asing. Tegakkan kedaulatan energy ditangan rakyat Indonesia karena sector energy adalah milik rakyat itu sendiri, bukan orang asing. “

(segala hormat dan takzim untukmu, walau tak mengenalmu, tapi kau telah memberiku pelajaran berharga hari ini)

Rumah Rakyat, 15 Maret 2012