Wednesday, March 21, 2012

Saatnya Uji Lab

Aku harus tes darah, itu hal yang paling ingin kulakukan sejak kejadian kemarin.
Untuk pertama kalinya aku sangat ingin tahu tentang sakitku. Selalu saja susah bangun pagi, apalagi ketika cuaca tak bersahabat. Tubuhku akan sangat berat untuk bergerak, bukan karena malas. Tapi memang terasa sakit. Pukul 10.00 hujan mereda. Adikku mengantarku ke ATM, dompetku tak terisi. Aku mengambil 6 lembar 50 ribuan. Aku pikir itu cukup untuk chek up. Rumah sakit terlihat sepi. Di bagian pendaftaran tak ada calon pasien yang mengantri. Aku sendirian. Nampak didalam beberapa petugas sedang cerita, ada juga yang membolak-balikkan berkas. Aku membunyikan bel di ruangan itu, tapi mereka malah menyuruhku menunggu. Fisikku sangat lemah, aku tak punya cukup tenaga untuk berdiri dan menunggu di ruang itu. aku mulai emosi, seharusnya pasien di nomorsatukan. Aku tak akan berkunjung ke rumah sakit, bila tak benar-benar sakit. Mungkin mereka akan membuat pasien menunggu hingga pingsan dan bahkan mungkin mati.
Akhirnya salah seorang petugas mendekat, menanyakan aku akan berobat ke poli mana? Interna aku menjawabnya singkat. Ia kemudian menanyakan nama, tanggal lahir, alamat dan kelengkapan lainnya. Ia juga menanyakan apa aku menggunakan askes atau yang lainnya. Umum kataku, jika menggunakan jamkesmas atau jamkesda, pelayanannya tentu berbeda pikirku, lagi pula sangat rumit, harus ke puskesmas dulu untuk periksa dan beruntung jika dikasih rujukan. Aku ingin tahu peyakitku secepat mungkin, dan jika menggunakan kesehatan gratis itu aku akan butuh waktu lama dan menghabiskan tenagaku.
Di depan poli interna pasien duduk berjejeran, kurang lebih 10 orang, dan tampaknya aku yang termuda. Beberapa orang tua Nampak di temani anaknya. Ah, penyakit tak lagi mengenal usia. Jika dulu beberapa penyakit hanya terjadi pada orang yang lebih tua, namun sekarang anak muda bahkan anak kecilpun bisa menderita.
Batuk dan flu juga telah menggangguku sejak pulang dari Barru kemarin, angin malam dan dingin sepertinya menjadi pemicu, tentu selain tubuhku yang memang sensitive. Beberapa mahasiswa keperawatan menempati kursi di ruang tunggu, mereka tak ada aktifitas. Rumah sakit ini tak seramai rumah sakit milik pemerintah. Rumah sakit swasta tentu lebih mahal, saya pun berpikir demikian. Tapi rumah sakit milik pemerintah sangat jauh dari tempatku, dan paling tidak aku berharap karena ia swasta aku akan mendapat pelayanan yang lebih baik.
Dalam mata kuliah manajemen pemasaran dulu. Rumah sakitpun adalah penjual, dan selayaknya penjual harusnya menjadikan pembeli sebagai ratu. Ada slogan seperti itu, dan setiap pedagang pasti tahu hal ini.
Kenapa sebagian petugas kesehatan tak bisa melakukannya, memberikan pelayanan yang ramah. Beberapa bulan lalu ini telah didiskusikan, bahwa kesembuhan pasien bukan hanya pada pengobatan fisik yang dilakukan, tapi secara psikis pelayanan yang memuaskan, petugas yang ramah akan member energy positif untuk kesembuhan itu.
Dua jam menunggu akhirnya giliranku datang juga. Aku masuk, seorang dokter dan 3 perawat. Menurutku dua diantara mereka sedang praktek. Setelah perawat memeriksa dan mencatat tekanan darahku, dokter itu mendekat. Memeriksa perutku dengan stetoskop dan menanyakan keluhanku. Tanganku selalu gemetaran. Ia mengatakan mungkin asupan kalsium. Ah, rasanya tidak, aku tahu makanan yang kumakan mampu memenuhi kebutuhan kalsiumku. Aku menceritakan semua gejala yang kurasakan, dan mengatakan aku ingin melakukan tes TSH. Aku ingin memastikan penyakitku. Diagnosis dokter terhadap penyakit adalah dengan mendengat keluhan pasiennya, setelah itu baru melakukan pemeriksaan. Satu-satunya hal yang bisa meyakinkanku adalah lewat tes darah itu.
Pernah beberapa kali aku mendatangi puskesmas yang berbeda, di Makassar dan Sengkang, aku menceritakan keluhan yang berbeda, dan aku akan mendapatkan obat yang berbeda pula. Diagnosis penyakit menjadi berbeda karena hal tersebut, jadi sesekali aku berpikir aku sebenarnya bisa mendiagnosis sendiri penyakitku dan menentukan obat apa yang hendak kukonsumsi. Tapi tidak, itu hanya pikiran nakal ketika kepalaku sudah mumet dan tak mendapat hal yang kuinginkan.
Akhirnya aku diantar ke lab oleh mahasiswa yang sedang praktek, sebelumnya perawat di ruang itu telah mengingatkanku untuk menanyakan biaya tes darahnya dulu. Katanya agak mahal. Aku melewati lorong rumah sakit ke arah dalam. Rumah sakit selalu menjadi momok yang menakutkan buat siapapun. Termasuk aku, masuk rumah sakit berarti harus menyiapkan uang yang tak sedikit. Tak akan masalah jika itu berlaku pada orang kaya, tapi bagaimana dengan kalangan menengah ke bawah? Aku termasuk orang yang tak akan mampu menanggung biayanya, tapi aku juga tak akan pasrah diperlakukan seenak hati oleh petugas. Aku manusia, punya akal dan rasa.
Untuk mengecek kadar TSH dalam darahku, aku harus mengeluarkan biaya 190.000,- , belum untuk mengecek kadar asam urat dalam darahku butuh 29.000,- aku jadi ingat dokter langgananku di puskesmas, untuk mengecek asam uratku aku hanya mengeluarkan 15.000 dari kocekku. Cukup jauh bedanya.
Aku takut disuntik, apalagi melihat darah dikeluarkan dari tubuhku. Petugas lab itu mengambil alat suntik baru. Ia memintaku menggulung lengan bajuku dan mencari urat nadi dilengan kiriku. Ah, cukup sakit dan setelah itu kulihat darah mengalir memenuhi tabung alat suntik itu. aku harus menunggu dua hari untuk menunggu hasil lab itu.
Selesai di lab aku kembali ke poli interna, tentu saja aku harus menyelesaikan pembayarannya. Tak seperti di rumah sakit umum yang akan kita bayar diawal pendaftaran. Pada rumah sakit swasta biaya jasa akan diberikan setelah semua proses kita lewati. Masalahnya adalah jika uang yang kita bawa tak mencukupi. Dan aku merasakannya hari itu. uang di dompetku tak cukup. Tak ada lagi biaya untuk menebus obat. Aku terlalu pede ke rumah sakit swasta dengan modal 300 ribu,hehehe…