Sunday, April 8, 2012

Ketika pilihan itu tak berobat medis

Sakit telah membuatku sangat produktif. Membuatku ingin menuliskan banyak hal, tentang setiap hal yang aku alami, atau orang lain rasakan.
Memilih berobat tak semudah yang kita pikirkan. Beberapa malam lalu aku menelpon seorang kawan. Ia juga sedang sakit. Bronchitis, bertahun-tahun ia mengidap penyakit itu, bertahun-tahun pula telah berobat. Penyakitnya lebih sering kambuh, seperti diriku, kelelahan sedikit akan membuat tubuh kami melemah dan drop.
Di telpon ia menasehatiku. Agar aku tak keras kepala. Agar aku berobat dengan baik, minum obat yang rajin, tak memakan makanan pantangan, mengurangi istirahat. Terakhir, ia memintaku pulang istirahat di Sengkang. Aku akan cepat sembuh katanya.
Aku tertawa dengan segala nasehatnya. Aku sangat tahu bagaimana ia keras kepala juga dengan penyakitnya. Baik sedikit akan membuatnya mencari aktifitas baru. Aku hanya bilang padanya tak usah menceramahiku kalau tak bisa melakukannya, hehehe…
Beberapa teman mengatakan aku keras kepala, sangat. Hingga seseorang memohon agar aku berobat dan harus sembuh. Apakah aku tak ingin sembuh?
Aku mengingat beberapa kasus yang pernah ada. Pak Kausang tukang becak yang masih mengayuh becaknya sampai sekarang, harus membiarkan besi yang berada di rongga mulutnya karena tak mamou membiayai operasi untuk membukanya. Aku lupa tahunnya, saat itu ramadhan ( ini ada pada salah satu bagian dari blog ini) pak kausang kena tikam oleh sesamanya tukang becak, karena kesalahpahaman. Pak Kausang sangat baik dan mahasiswa yang sering menggunakan becak, akan lebih memilih menumpangi becak beliau dibanding yang lain. Ini masalahnya. Mahasiswa membawanya ke rumah sakit Wahidin saat itu. beliau harus dioperasi karena rahangnya tertebas parang dan lukanya cukup parah.
Setelah operasi petugas menagih istrinya. Biaya berobatnya 2,5 juta. Istrinya yang buta tentu tak punya uang sebanyak itu. kepala keluarganya terkapar tak berdaya di rumah sakit. Bulan lalu, lewat pintu 2 UNHAS, aku bertemu dengan Pak Kausan, seperti biasa ia akan menghadiahiku senyum lebarnya. Kawat besi yang terpasang beberapa tahun lalu masih ada. Ketika menyinggungnya ia hanya tertawa. Aku tahu untuk membuka besi itu butuh jutaan rupiah. Setiap rupiah akan sangat berarti.
Kasus lain yang pernah terjadi, ketika bocah pemulung pingsan di fakultas ekonomi. Kawan-kawan pengurus Sekolah KAMI membawanya ke rumah sakit. Aku juga pernah menuliskannya di blog ini. Petugas pemerintah itu mengatakan uang 50ribu tak banyakji untuk mengurus KTP yang bisa digunakan untuk banyak hal. Hari itu aku bermaksud mengurus surat keterangan tidak mampu, agar bisa mengakses pengobatan gratis di Wahidin.
Selalu karena uang. Pilihan seseorang untuk mengakses pengobatan bukan karena tak ingin sembuh. Tapi terkadang ada hal lain yang jauh lebih penting dari sekedar kata sehat. Pilihan untuk mengisi lambung tengah keluarga, untuk membayar biaya sekolah anak, pilihan untuk bertahan hidup.
Teringat juga kasus peristiwa kematian Dg. Basse, dan anaknya karena tak mampu lagi beli beras. Ah, hidup buat sebagian besar orang sangat kejam. Harus mati karena ketidakberesan system yang ada di Negara ini. Lalu teringat seorang kawan “ kita beli saja pulau itu dan kita buat Negara sendiri”.

tubuhku telah bersahabat kembali,hanya butuh senyum...