Tuesday, June 11, 2013

Ini Kisah Pembuka Jalur


Masuk tahun ke Sembilan di Makassar, dan menuliskan sepotong ingatan tentang mereka yang telah membawaku hingga ke gerbang ini. Kali ini tentang seorang kawan yang dulu rajin menyabangi  etta tiap minggu, hanya untuk membujuk agar aku bisa kuliah di Makassar.
Ini tentang persahabatan beda angkatan, kami berbeda angkatan, tapi umur kami hanya beda setahun. Pada beberapa tulisan, ia kunamai Rian. Aku mengenalnya sejak kelas 1 SMU, awalnya aku dan seorang teman ikut kursus computer di Sengkang, Rian dan 2 temannya juga ikut. Masih menggunakan program DOS, saat itu juga belum mengenal flasdisk, hardisk internal apalagi laptop. Bahkan Pentium 1 pun mungkin belum ada. Kami masih menggunakan disket besar untuk menyimpan data.
Saat itu untuk mengisi libur ramadhan, selama sebulan. Setelah  kursus, aku dan teman serta kedua kakak kelasku menghabiskan waktu di kamar Rian. Menunggu sore, hingga matahari mulai mengurangi sengatnya.
Sebulan itu membuat kami berlima  akrab. aku mengenal keluarganya dengan baik, 3 bersaudara yang saling menyayangi.
Beberapa kegiatan extra di Sekolah pun menjadi aman, ada 3 orang yang akan menjaga aku dan temanku dengan sangat baik. Aku ingat cerpen pertama yang kutulis, berkisah tentang libur itu, tapi sayang buku yang kutempati menulis hilang di kampus. Kumpulan cerpen yang telah kuketik rapi pun dipinjam seorang senior, dan kemudian hilang. Aku tak punya salinannya, juga file hasil ketikan itu.
Itu awal kedekatakan kami. Setelah mengganti seragam, Rian bergerak ke Makassar, kuliah di Universitas Negeri Hampir Swasta di Makassar. Itu tak membuat kami kehilangan kontak. Setiap minggu kami akan berbalas surat, menanyakan kabar dan bercerita tentang banyak hal, tentang sekolahku, kegiatan extra, tentang teman-temanku.  RIan akan bercerita bagaimana kuliah di Makassar. Ia menceritakan setiap proses yang dilaluinya di kampus.
Aku menjadi mengenal dunia kampus dari cerita-cerita itu, walau RIan bukan aktivis kampus yang sibuk dengan diskusi dan aksi. Rian sibuk dengan kuliah dan sesekali pergi mendaki bersama beberapa temannya.
Menjelang kelas 3 aku mengambil keputusan penting. Harus ke Makassar untuk kuliah. Kumulai membujuk etta agar  mendapat izin. Tapi tak digubris. Aku anak perempuan dari sebuah keluarga, harus tinggal di rumah dan menunggu lamaran. Beraktivitas seperti gadis remaja di kampung. Di kampungku perempuan bekerja menenung sarung, termasuk gadis-gadisnya. Kuliah masih merupakan barang langka untuk keluargaku. Etta tak mendengar setiap bujukanku, tapi sangat mendengar sahabat-sahabatku, upiek, ani, anet.
Setelah bercerita ke Rian, akhirnya hampir setiap akhir pekan ia kembali ke sengkang. Tak meminta etta agar mengizinkanku kuliah. Ia hanya bercerita tentang kuliahnya, bagaimana hidup di Makassar, semua hal yang ia lewati. Hampir setahun mendengar cerita tentang Rian, baik dariku maupun Rian sendiri. Dan aku mendapat izin itu. aku mendapat izin kuliah di Makassar.
Aku mulai membangun mimpi, mulai merakit rencana masa depanku, walau pada akhirnya meleset dari rencana. Di sekolah aku aktif di SISPALA, mengenal beberapa mahasiswa MAPALA, aku juga pernah diskusi dengan dua dosen geografi salah satunya Pak Nur Zakaria Leo. Aku tertarik belajar lingkungan dan Sastra. Dua pilihan yang aku persiapkan di SPMB.
Selama tahun pertamaku di Makassar kuhabiskan banyak waktu dikamarnya, kadang sendirian, mengutak atik komputernya dan menunggu ia kembali dari kampus. Ia menemaniku mendaftar, belajar, mencari ruangan dan merelakan subuhnya untuk mengantarku ujian di kampus Baraya.
26 April kemarin dia ulang tahun dan  telah memiliki keluarga kecil. Ia bahagia,  dan persahabatan itu tak pernah terhenti…