Thursday, July 20, 2006

danau tempe, masihkah sebuah danau

Letaknya pada pertemuan lempeng dua benua asia dan australia merupakan salah satu potensi yang tak boleh disia-siakan. Posisi ini membuat danau Tempe istimewa karena menyimpan banyak makanan ikan. Tak heran ketika dalam sejarah pernah menjadi penghasil ikan air tawar terbesar di Sulawesi Selatan. Luas keseluruhan danau Tempe 43.800 ha (media Indonesia) namun sekarang luas danau Tempe tinggal 10.000 ha, selebihnya telah menjadi daratan.
Ritual Maccera tappareng yang rutin diadakan setiap tahunnya oleh masyarakat. ritual yang dilaksanakan untuk mensucikan danau oleh masyarakat yang berdomisili di pinggir Danau Tempe. Biasanya ditandai dengan pemotongan kurban/sapi yang dipimpin oleh seorang ketua nelayan, dan serentetan acara lainnya. Untuk lebih meriahnya berbagai macam perlombaan diadakan seperti lomba perahu dayung .
Menikmati indahnya hari dengan perahu, kita dapat melihat matahari terbit ataupun ketika akan tenggelam meninggalkan sudut tanah wajo . Rumah terapung menjadi salah satu tempat bersantai atau ketika purnama datang menyapa, menghabiskan malam bersama nelayan yang sedang memancing ikan, mencari penghidupannya.
Namun kerusakan yang terjadi pada danau Tempe harus menjadi perenungan bersama dan tidak bisa di pandang remeh. Sekarang kerusakannya mencapai 70%. Dan jika terus dibiarkan tidak menutup kemungkinan Danau Tempe akan menjadi kenangan, begitu juga dengan beberapa kecamatan yang ada di Kab. Wajo juga akan menjadi kenangan. Segala keindahan hanya akan menjadi dongeng pengantar tidur anak cucu. Apa mungkin ini akan dibiarkan terjadi???. Kemana masyarakat dari beberapa kecamatan tersebut akan pindah ketika tempat tinggal mereka terus menerus menjadi langganan banjir.
Menurut Prof Nasri Nessa Direktur Pascasarjana Unhas (Suara Publik) mengatakan jika danau Tempe sekarang bukan sebuah danau lagi tapi telah menjadi rawa-rawa. Pernyataan yang wajar , melihat kondisinya yang makin parah. Pada kondisi normal air danau Tempe yang tidak hanya menjadi sumber panghasilan masyarakat Wajo tapi juga Soppeng dan Sidrap kedalamannya hanya sekitar 2 hingga 3 meter, namun pada musim kemarau airnya tinggal setinggi lutut dengan luas kurang lebih 1000 ha, sedangkan pada musim hujan genangan air naik mencapai 6 meter dan akan mengenangi 4000 hingga 20.000 ha daerah sekitarnya.
Keadaan tersebut sangat menyiksa penduduk sekitar. Mereka tak bisa mendapat suplai air minum yang layak, Terutama bagi masyarakat yang langsung mengkonsumsi air danau untuk kebutuhan RT termasuk untuk memasak dan diminum. Ketika musim kemarau tiba, masyarakat harus berjalan jauh untuk mendapatkan air yang keruh, sedangkan pada musim hujan dan banjir air tersebut akan menjadi tidak layak dikonsumsi karena berbau dan berwarna hitam. Penyakit water born disease juga dapat dengan mudahnya menyerang penduduk. Mereka sadar atau tidak penyakit kulit, diare, dan penyakit lainya dapat terjangkit dan bisa saja menjadi wabah.
Pada bidang pertanian juga sangat berpengaruh fungsi kab. Sidarap, Wajo dan Soppeng sebagai lumbung padi Sul Sel mengalami gagal panen ketika banjir harus merndam tanaman mereka. Juga susahnya sumber air untuk mengairi areal pertanian mereka di saat kemarau.
Menurut data yang diambil dari Buletin Suara Publik, pada tahun 1948-1969 Danau Tempe dapat memproduksi ikan sebanyak 37.000 hingga 40.000 ton pertahun, dan peningkatan terjadi antara tahun 1957-1959 sekitar 50.000 ton . Namun kemudian penurunan drastis terjadi pada tahun 1999-2000 yang hanya menghasilkan 17.077 ton. Untuk selanjutnya produksi ikan mengalami penurunan setiap tahunnya. Penurunan kualitas habitat ikan dan semakin banyaknya masyarakat yang menjadi nelayan membuat tangkapan setiap nelayan semakin berkurang. Ini mempengaruhi menurunnya tingkat pendapatan masyarakat nelayan di pesisir danau .
Selain itu kerusakan danau Tempe juga menyebabkan punahnya beberapa spesias ikan dan burung khas di Danau Tempe. Beberapa dari ikan tersebut adalah ikan biawang, ikan bungo dan bete-bete, juga burung lawalase {burung belibis}. Dan tidak akan menutup kemungkinan spesies lain akan ikut punah.
Belum lagi banjir yang terjadi setiap tahunnya menelan kerugian yang lumayan banyak. Banjir yang terjadi tahun 2002 kemarin bisa dikatakan banjir paling besar yang pernah terjadi, yang menimbulkan kerugian tidak sedikit bagi masyarakat dan pemerintah. Banjir tersebut menewaskan 9 nyawa manusia, kerugian materi hingga 43 milyar. Selain itu 5.335 rumah di sembilan kecamatan terendam banjir dan 4.000 keluarga mengungsi.
Mencari akar permasalahan, kerusakan yang terjadi pada Danau Tempe bukan hanya kesalahan masyarakat Wajo, tapi juga dari enam kabupaten lainnya antara lain Kab.Toraja, Enrekang, Sidrap, Soppeng, Bone dan Maros . Adanya penggundulan hutan di daerah hulu sungai Walennae, Sungai Bila, Sungai Worongnge, Sungai Batu-batu, Sungai Belokka, Wette’e yang bermuara di danau Tempe menjadi penyebab utama pendangkalan .
Menurut Syahrul, hutan di kawasan hulu Danau Tempe mengalami kerusakan seluas 308,9 ribu hektare dari luas total 830,4 ribu hektare. Kerusakan tersebut memperkecil daerah resapan sehingga memperbesar aliran permukaan (Media Indonesia) juga ketika terjadi erosi maka Danau Tempe akan menjadi tempat endapan tanah/pasir yang terbawa arus air, dan ini menjadikan Danau Tempe mengalami sedimentasi.
Menurut hasil penelitian Japan International Cooperation Agency(JICA) pada tahun 1993, pendangkalan berkisar 15 hingga 20 cm per tahun dimana angka itu cenderung meningkat. Jika ini terus menerus terjadi diperkirakan 15-20 tahun mendatang danau ini akan menjadi daratan dan daerah pesisir danau yang harus rela menampung kiriman air dari daerah hulu.
Sedangkan untuk keluarnya air dari danau tersebut hanya ada satu sungai, yaitu sungai Cenranae yang bermuara ke teluk Bone. Keadaan sungai cenranae pun sama saja sedang dalam kondisi kritis. Penyempitan yang mulai terjadi juga menjadi salah satu penghambat keluarnya air ke teluk bone. Bisa dikatakan Danau Tempe merupakan saringan partikel-partikel sisa banjir dari enam kabupaten lainnya sebelum mencapai laut.
Ketika terjadi kerusakan pada alam maka manusialah yang paling bertanggung jawab. Karena peranan tingkah laku manusia bisa menjadi titik sentral dalam hubungan manusia dengan lingkungan(Sarlito,1995). Untuk mencegah semakin parahnya kerusakan Danau Tempe langkah awal yang perlu dilakukan adalah memperbaiki keadaan di Hulu baik itu dengan menghentikan penggundulan hutan dan mengadakan peremajaan hutan atau reboisasi , sehingga terjadinya erosi dapat diminimalisir. Adapun rencana pengerukan danau Tempe tak akan mempunyai arti ketika masyarakat tidak punya kesadaran untuk menjaga terjadinya kerusakan hutan .
Masalah Danau Tempe bukan hanya masalah masyarakat Wajo tapi tanggung jawab kita bersama . Ia tidak hanya berbicara tentang kerusakan hutan di hulu tapi juga perilaku masyarakat sekitar yang harusnya bersahabat dengan alam, bukan hanya mengeksploitasi tanpa menjaga kesimbangannya.

2 comments:

.................... said...

di mana-mana air memang sedang diperkosa manusia... baik dalam bentuk danau, laut, mata air, bahkan air mata... :( (salam kenal ya...)

Anonymous said...

Salam kenal.
Danau Tempe akan tetap dikenal sebagai sebuah danau, meskipun itu hanya akan menjadi kenangan, atau lapangan sepak bola yg luas, atau daratan lumpur hidup. Boleh kunjungi saya di
http://danau-tempe.blogspot.com/ dan link2nya yg lain..
Trims.