Tuesday, July 25, 2006

perempuan seperti apa keberadaanmu...???

Konsep Gender, seperti apa???
Makna antara gender dan sex tidaklah sama, keduanya merupakan pembeda antara laki-laki dan perempuan. Titik bedanya adalah pada sex dilihat dari segi fisik/biologi ataupun dari jenis kelamin yang dimiliki. Sedangkan pada gender lebih menekankan pada perbedaan peran social cultural antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender, dan perbedaan gender melahirkan ketidakadilan pada perempuan.
Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses sosialisasi, penguatan dan konstruksi social cultural, keagamaan bahkan melalui kekuasaan negara lewat proses yang cukup panjang sehingga gender lambat laun menjadi seolah-olah ketentuan Tuhan “Handayani, 2002”. Perbedaan gender lahir dari sebuah kebiasaan yang berlanjut turun temurun, sehingga akhirnya menjadi hal yang kodrati bagi manusia, ia tidak lagi dianggap sebagai sebuah bentukan sosial budaya tapi sebuah ketentuan yang jika tidak dilakukan maka itu adalah sebuah dosa.
Tiga proses social dalam pembentukan realiatas perempuan ditekankan pada tiga hal, yaitu; konstruksi, dekonstruksi dan rekonstruksi. Konstruksi merupakan susunan suatu realitas objektif yang telah diterima dan menjadi kesepakatan umum, meskipun dalam proses tersebut tersirat dinamika social; dekonstruksi terjadi pada saat keabsahan realitas/objektif kehidupan perempuan dipertanyakan yang kemudian memperlihatkan praktik-praktik baru didalam kehidupan perempuan, dekonstruksi kemudian menghasilkan rekonstruksi dimana merupakan proses rekonstualisasi dan redefinisi perempuan.
Bentukan-bentukan social seperti feminis pada perempuan dan konsep maskulin pada laki-laki adalah bentukan-bentukan yang lahir dari pembedaan gender. Bentukan tersebut dipengaruhi oleh faktor sosial, geografis dan budaya yang ada pada masyarakat tertentu. Kelemah lembutan perempuan tidak terdapat pada semua daerah. Implikasi lain yang lahir dari konsep gender yang tidak seimbang adalah lahirnya pemisah antara sektor public dan domestic, dimana domestik dianggap sebagai wilayah kerja perempuan sedangkan public merupakan wilayah kerja laki-laki.

Media massa juga berperan aktif menegaskan kedudukan dan peran perempuan sebagai ibu, maupun istri yang baik, adanya iklan sabun mandi memberi bentukan tentang bagaimana kcantikan perempuan, padahal putih atau hitamnya kulit, mulus atau jerawatannya wajah bukanlah hal yang penting untuk mengukur cantik tidaknya seseorang. Kecantikan dilihat dari dalam bukan sesuatu yang dibuat-buat. Revolusi kapitalis juga ikut menegaskan dan memperkuat peran-peran perempuan dengan memberikan berbagai kemudahan teknologi yang dapat membantu kegiatan perempuan didapur.
Ketidakadilan, apakah disadari???
Adanya bias gender kemudian melahirkan ketidakadilan gender. Hal ini lahir karena adanya pandangan yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin. Misalnya, lebih berpihak pada laki-laki daripada perempuan atau sebaliknya. Sebagai contoh pandangan atau sikap yang terlihat di dalam gagasan-gagasan bahwa laki-laki itu lebih kompeten, lebih mampu, lebih superior daripada perempuan. Ia sosok yang kuat dan melindungi. Sedangkan perempuan merupakan sosok yang lemah dan harus dilindungi. Saya berpikir ketika perempuan dilahirkan pada kondisi dimana laki-laki tidak mempunyai kekuatan untuk melindungi, menafkahi maka ia akan menjadi sosok yang kuat dan mampu melidungi dirinya sendiri. Adanya pahaman perempuan sebagai sosok yang lemah kemudian melahirkan marginalisasi.
Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi “the second sex” warga kelas dua yang keberadaannya tidak begitu diperhatikan. Paham patriarki yang ada dihampir seluruh bangsa kita kecuali pada daerah minangkabau yang lebih pada marga ibu, menggambarkan dominasi laki-laki pada kaum perempuan, ini tidak hanya terjadi pada area rumah tangga saja, tapi lebih dari itu, kekuasaan laki-laki hampir ada pada semua bidang. Pembagian kerja yang menempatkan perempuan pada wilayah domistic semakin memperkuat kekuasaan tersebut, domestic yang lebih banyak berkutat pada wilayah dapur kemudian melahirkan anggapan bahwa pendidikan tidaklah penting bagi perempuan, karena wilayah domestic bisa dikerjakan tanpa pendidikan. Pahaman bahwa perempuan adalah pembantu laki-laki tetap saja ada pada sebagian besar masyarakat. Akibatnya gerak langkah perempuan menjadi terbatas.
Ketidakadilan gender disadari atau tidak merupakan proses marginalisasi atau pemiskinan pada perempuan, kurangnya pendidikan dan keterampilan pada perempuan membuatnya harus bergantung pada laki-laki, dimana perempuan tidak mempunyuai sepenuhnya atas dirinya, setiap tindakan yang dilakukan harus sepengetahuan laki-laki. Pendidikan yang tidak merata pada perempuan kemudian menyebabkan tenaga perempuan di eksplotasi oleh laki-laki yang menjadi pengambil keputusan, ada banyak perempuan yang kemudian menjadi buruh atau berada pada posisi rendah dalam dunia kerja, hal ini disebabkan karena kurangnya perempuan yang menikmati pendidikan. Banyaknya perempuan yang masuk ke dunia prostitusi juga salah alasan tidak adanya keterampilan atau pengetahuan yang mereka miliki.
Adanya pembedaan peran antara perempuan dan laki-laki telah menghambat potensi dasar yang dimiliki, ini kemudian melahirkan kekerasan-kekerasan yang banyak digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan dominasinya, menyatakan ketidakpuasannya, atau kadang hanya untuk menunjukkan bahwa ia berkuasa atas kaum perempuan. Kekerasan yang terjadi disebabkan oleh budaya patriarki yang telah mengakar pada sebagian besar masyarakat.
Dilihat dari beban kerja yang dimiliki perempuan sebenarnya mempunyai beban kerja yang lebih berat, kerja-kerja domestic yang dilakukan perempuan sesungguhnya bukanlah pekerjaan yang ringan, perempuan harus memnghabiskan waktunya lebih banyak untuk kerja-kerja tersebut, belum lagi jika perempuan membantu suaminya/keluarganya mencukupi nafkah keluarga, disini perempuan telah melakukan rangkap pekerjaan. Diperkirakan wanita merupakan pencari nafkah utama pada seperempat hingga sepertiga RT diseluruh dunia (Agarwal et.al.,1990).
Ketidakadilan gender yang dirasakan Kartini, kemudian membuat ia bangkit dan melawan lewat surat-surat pada beberapa sahabatnya di luar negeri. Kartini adalah perempuan yang merasakan ketidakadilan oleh budaya patriarki keluarganya. Pada provinsi lain muncul dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Kristina Martatiahahu. Sederatan pahlawan nasional perempuan yang sudah memiliki tingkat intelegensia tinggi, secara otodidak memahami apa itu kebebasan dan kemerdekaan serta hak asasi manusia. Mereka bangkit dan melawan serta memperlihatkan pada kita kerja-kerja melawan penjajah bukan hanya kewajiban laki-laki.
Perlu diingat bahwa konsep keadilan bukan berarti memiliki porsi yang sama, tapi bagaimana penyetaraan itu terjadi mengerjakan sesuatu sesuai kemampuan. Tidak seperti yang terjadi sekarang ini.
Kesehatan yang terabaikan
Dalam hubungan suami istri pelecahan ini lebih banyak terjadi, ketika seorang perempuan lebih ditekankan untuk menjadi seorang pelayan untuk suaminya, bukankah keberadaan wanita bukan seperti itu, tapi bagaimana kita beriringan bersama menyelesaikan permasalahan yang ada. Adanya ketidakadilan gender ini kemudian berpngaruh langsung pada rentangnya perempuan terkena penyakit, dan sangat disayangkan kepedulian perempuan pada kesehatannya kemudian hampir tidak ada karena pengaruh bahwa laki-laki harus didahulukan. Seorang istri atau ibu selalu mementingkan kepentingan suaminya kebanding dirinya sendiri.
Dua dari tiga wanita saat ini menderita penyakit yang sangat melemahkan. Penderita menunjukkan kerentanan yang tinggi terhadap infeksi traktus respiratoris dan reproduktif yang seringkali mengakibatkan kematian dini. Lebih dari 1M hidup dalam kemiskinan absolute.sedikitnya 2M yang memiliki jumlah pendapatan yang tidak mencukupi kebutuhanyang setingkat diatas kebutuhan yang paling mendasar (Durming,1989.Undisca,1997)
Wanita juga menghadapi ancaman kesehatan reproduksi yang unik. Tingginya angka penyakit yang dapat dicegah. Kematian akibat komplikasi pada kehamilan dan persalinan, aborsi yang tidak aman, serta penyakit menular seksual dan kanker reproduktif sering di jumpai pada wanita yang miskin dan tidak memiliki akses pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif . Penyakit menular seksual sering terjadi pada wanita yang hanya berhubungan dengan suaminya, ini disebabkan laki-laki yang tidak puas pada satu perempuan saja.
Menurut Blair Brooke dari Population Council, di Bangkok. Masalah reproduksi merupakan penyebab utama kesakitan dengan kematian pada wanita usia 15-49 tahun . resiko dari kerja-kerja buruh sangat berpengaruh pada kondisi kesehatan perempuan Meski demikian resiko kerja yang menjadi semakin penting oleh karena wanita muda bekerja di Industri dan mereka dipaksa kerja lembur dengan upah kecil dan kondisi yang berbahaya (Brooke,1991).
Berbicara pelecehan yang diterima oleh seorang wanita, akankah itu dapat kita sadari, seperti apa makna pelecehan itu, apakah kita akan merasa dilecehkan ketika itu terbukti nyata, tanpa sebuah bungkusan??? Aku selalu berpikir mungkinkah semua wanita pernah berpikir ia lebih sering dieksploitasi oleh lawan jenisnya, banyak hal yang membuat kita terus dilecehkan oleh laki-laki, dalam hubungan kerja sering sekali terdengar majikan memperkosa pelayannya, juga dalam keluarga dimana ayah dengan teganya menghamili anak sendiri, suami yang tidak pernah peduli pada istrinya.
Perempuan sesungguhnya adalah makhluk yang sangat tangguh, ketika laki-laki mengatakan dirinya kuat, tidakkah perempuan lebih kuat. Kekuatan fisik mungkin tidak diandalkannya tapi semangat dan kesabaran yang terus ada membuat ia mampu menjalani kehidupannya. Konsep sehat sakit bukan hanya pada masalah fisik, tapi juga psikis dan lingkungan social. Pelayanan kesehatan yang diberikan pada perempuan sangat minim, lebih banyak berkutat pada masalah reproduksi. Sementara penyakit yang ada tidak sebatas itu saja, tingginya beban kerja, kurangnya gizi yang dikonsumsi, faktor lingkungan semuanya memberi pengaruh. Pada masalah rendahnya IQ anak yang dilahirkan karena konsumsi gizi wanita hamil, sangatlah minim, tugas melayani suami dan mendahulukan kebutuhannya termasuk makanan pada beberapa daerah membuat konsumsi makanannya selalu berada di urutan kedua, demikian juga wanita hamil yang terus terbelenggu oleh tabu yang tidak memperbolehkan mereka mengkonsumsi berbagai makanan (Acsadin dan Acsadin,1990:Kamel,1983). Juga adanya anggapan anak yang dilahirkan ketika seorang suami menginginkan anak laki-laki dan kesalahan akan ditimpakan pada istrinya. Padahal dari segi medis gen penentu jenis kelamin bayi yang dilahitkan berasal dari laki-laki. Nah siapa yang patut disalahkan???

No comments: