Tuesday, October 3, 2006

sakit hati...

Kemarin malam aku ke RS Wahidin bareng penghuni UKPM plus kak rega, kak fathul n alfa. tujuannya untuk menjenguk Pak Kausan. sedih, bercampur kecewa, prihatin plus amarah yang hampir tak tertahan. aku benci rumah sakit, aku sakit hati, kenapa kehidupan ini sangat kejam. Ceritanya gini, kalo ngga salah sabtu kemarin Pak Kausan ditikam oleh sesamanya tukang becak di pintu nol (jalan poltek). Lukanya sangat parah sampai harus di operasi, tapi paling tidak nyawanya masih terselamatkan
(makasih Tuhan) miskin harus membuat semuanya berbeda dan persaudaraan kadang tak diperhitungkan lagi, kita sama-sama butuh makan. Aku bingung mo menyalahkan sang penikam, tapi disisi lain aku sadar ada kondisi tertentu ketika lapar menyerang dan membuat kita lupa segalanya.

Aku sadar sang pelaku juga butuh makan, dan ia sedang memperjuangkan hidupnya, walau harus mengorbankan orang lain, lantas....gimana ini.

Ada sakit yang sangat menyayat melihat istrinya yang buta dengan setia menemani sang suami yang tak berdaya. tubuh yang membengkak, alat kateter, jarum infus dan tubuh yang gemetaran menahan dingin, aku ingat ruangan ini sangat mewah untuk orang miskin dengan AC yang hampir membunuh.

Rumah sakit sebuah gedung yang seharusnya penyelamat kehidupan setiap manusia, tetapi kemudian harus dikomodir untuk tujuan bisnis. Gimana tidak, masuk ruang parkir harus membayar uang parkir sekian rupiah perjamnya (apa bedanya dengan mall). Rumah sakit bukan hanya untuk orang kaya pak. Aku ingin menangis melihat istrinya yang belum makan padahal jarum jam sudah menunjukkan angka 9, dari pengakuanya ia hanya memakan sisa bubur sang suami.

Tangannya dengan lembut membelai sang suami, sambil bercerita pada kami tentang perlakuan yang diterima di rumah sakit. Tentang dokter yang berkata "andai aku tahu kamu tidak punya uang, maka tak akan ada besi dalam rahang suamimu, atau petugas administrasi yang terus menerus menagih uang 2,5 juta itu, sementara harga obat yang harus ditebus setiap hari seratusan, tentang isi rumahnya yang telah habis terjual untuk membeli obat. Suaminya yang tulang punggung keluarga.

Aku teringat senyuman yang beliau berikan setiap bertemu ketika menyapu halaman rektorat, atau ketika ia mengayuh nasibnya dengan sebuah becak tua di pintu nol.
ketika aku ke mall dengan kak akel, abang dan aco beberapa hari yang lalu, abang berkata negara baik-baik saja, masyarakat masih sibuk dengan belanjaan mereka, menikmati hidangan kaum kapitalis. Tidak ada masalah, hanya kami yang senatiasa pusing memikirkan kehidupan ini, bahaya kapitalis, pembodohan yang dilakukan, BHP yang merambah kampus. dan sebuah bukti kesakitan negara liatlah cerita Pak Kausan. atau betapa menyedihkannya hidup ketika melihat mereka suami istri itu di Rumah sakit sana.

No comments: